Share

06.

Author: Deeta Pratiwi
last update Huling Na-update: 2020-09-23 08:14:23

Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.


Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur.


"Maaf ...,"


"Maaf ...,"


"Maaf ...."


Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya.


"Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.


Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.


"Sudah, Nduk ... Sudah. Kasian bapak nanti malah engga tenang."


Neira, masih tergugu dalam pelukan bude Sulastri.


Nasib macam apa ini yang menimpanya? Disaat ia kehilangan keperawanan dan butuh topangan untuk menyemangati hidup. Justru, satu-satunya orang yang ia butuhkan pun meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini.


"Neira mau ikut bapak, Bude."


"Husss ... Engga boleh begitu, Nduk. Bude tahu kamu sedih, tapi kasian bapakmu kalau kamu kayak gini," bude Sulastri mendekap erat tubuh mungil itu.


"Yang sabar ... Yang ikhlas. Ini cobaan, Nduk. Tuhan engga akan kasih cobaan kalau hambanya tidak mampu."


Ia tidak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini, akan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya secepat ini. Setelah ini, ke mana ia harus pergi? Bagaimana ia harus menjalani hidup seorang diri?


Ia hanyalah anak panti asuhan, tidak jelas asal-usul orang tuanya. Ayahnya, mengadopsi Neira saat gadis itu masih berusia lima tahun. Pernikahan yang tidak direstui oleh keluarga besar di tanah Sumatra, membuat ayah Neira mengasingkan diri ke Jakarta. Kala itu semua baik-baik saja, Neira dikasihi ayah dan ibu dengan ekonomi yang berkecukupan. Sampai satu tahun setelahnya, ibunya sakit lalu meninggal. Ayah Neira depresi dan usaha mereka bangkrut. Yang tersisa hanyalah Neira dan ayahnya, dalam keterpurukan.


Kini, saat ayahnya telah menyusul ibunya. Gadis itu tinggallah seorang diri, tanpa kerabat dan sanak saudara.


***

Semalam.

"Bude, tahu bapak sekarang ada di mana?"


Sulastri meremas ujung bajunya gelisah. Menatap mata polos di hadapannya ini dengan gusar. Ia, tidak tega menyampaikan berita duka pada gadis muda di hadapannya.


"Nei ... " Sulastri menggenggam tangan kanan gadis itu.


"Iya, Bude?"


"Bapakmu semalaman nyariin kamu, katanya sampai ke rumah pacar kamu itu, tapi kamu engga ada." Sulastri membelai rambut setengah basah Neira. Gadis itu hanya tersenyum tipis.


"Terus .... " Kalimat Sulastri menggantung, ia menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memberitahu.


"Terus? Apa, Bude?" Neira memiringkan kepala, menunggu jawaban Sulastri dengan cemas.


"Mmm ... Bapak kamu ...."


"Bapak kenapa?" tanya Neira mulai panik dan tidak sabar. "Bude! Bapak kenapa?"


"Mmm ...." Sulastri bergerak-gerak, duduk dengan gelisah. "Bapak pingsan di depan toko Ayu, Nei."


"Astagfirullah!" gadis itu membekap mulutnya. Bahunya merosot seketika.


"Sama bapak-bapak lain langsung dibawa ke klinik depan."


Neira langsung meraih jaketnya, gadis itu bergegas untuk keluar. Namun, dicegah oleh Sulastri. Wanita paruh baya itu memegang kedua bahu Neira.


"Kamu mau ke mana?"


"Ya ke klinik, Bude. Lihat bapak."


Sulastri menggeleng, dan langsung memeluk erat gadis itu. Sulastri, tidak mampu menahan air matanya.


"Bapakmu udah enggak di sana. Bapakmu udah engga ada, Nduk, waktu dibawa ke sana."


Gadis itu melepas pelukan Sulastri. Wajahnya pasi memandang Sulastri dengan tatapan berkaca-kaca. Jantungnya berdebar berkali-kali lipat lebih cepat. Semoga, tidak ada hal yang tidak ingin dia dengar terucap dari bibir tetangganya itu.


"Ma ... Mak ... Maksudnya?"


Sulastri menangkup lembut pipi Neira.


"Bapak sudah engga ada, Nduk. Tadi pagi terpaksa dimakamkan tanpa menunggu kamu, soalnya kami ndak tahu kapan kamu bakal pulang."


Tubuh Neira membeku. Apa dia tidak salah dengar? Pasti dia hanya salah dengar. Mata cantik itu nanar memandang bude Sulastri yang tersedu di hadapannya.


Gadis itu menggeleng perlahan, sebelum akhirnya tumbang dalam pingsan.


***

Dua hari berlalu sejak Neira kehilangan ayahnya. Gadis itu hanya mengurung diri di kamar. Ia tidak mandi, tidak berdandan, bahkan makanan yang dikirim sehari tiga kali oleh Sulastri pun tidak disentuhnya sama sekali. Ia tidak punya semangat hidup.


Beberapa jam sekali Sulastri menjenguknya, takut jika gadis itu tiba-tiba nekat mengakhiri hidup. Seperti tadi pagi, tanpa sengaja Sulastri melihat ada bekas sayatan di pergelangan tangan gadis itu walau tidak dalam.


Seperti saat ini, Neira hanya terbaring lemas di atas kasurnya. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang telah kusam.


Menit berlalu, berganti dengan jam. Ia tetap pada posisinya. Gadis itu seperti kehilangan jiwa. Baginya, hidup telah usai. Selama ini, apapun yang ia lakukan hanya demi ayahnya, tapi kini?


Bulir itu mengalir kembali di sela-sela mata cantiknya. Hingga satu ketukan pintu memaksanya untuk bangun dan mengusap air mata.


"Assalamualaikum."


_________________________________________


FUNFACT : Aku suka Gajah. Tapi aku punya banyak kucing dan anjing di rumah :) 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    40.

    Pelukan hangat lima manusia itu hadir seolah perpisahan mereka begitu lama. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat kepada Ethan atas wisudanya, Agra memilih untuk mendorong kursi roda ayahnya dan berjalan di sisi ibunya. Seakan dirinya memberikan ruang bagi Neira dan Ethan untuk meluapkan kerinduan. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas tindakan cerobohnya tadi di dalam mobil. Dari sudut matanya, Agra bisa melihat jelas bagaimana dua manusia itu saling mendekap erat, atas nama kerinduan. Mendesah pasrah, Agra rela tak rela meninggalkan mereka Ethan dan Neira. Walau sejenak dapat hatinya terbersit sebuah tanya. Apakah mungkin secepat itu cinta hadir antara Ethan dan Neira? Wajah-wajah bahagia tampak jelas di sana. Ethan yang berbinar di sepanjang bercerita dengan Neira. Pun wanita itu yang selalu terlihat bersemu sejak dari bandara hingga kini mereka sudah akan tiba di rumah. Ayah dan ibu tak jauh berbeda, sesekali tergelak menimpali cerita Ethan dan Neira. Hanya Agra yang just

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    39.

    Langit cerah hari ini, secerah wajah Neira yang sudah tidak sabar bertemu dengan Ethan. Kini dirinya sedang berada di dapur, menyiapkan beberapa hidangan sarapan untuk diletakkan di atas piring. Entah kenapa, hatinya berbunga saat semalam Ethan mengabarkan hari ini mereka akan pulang. Mungkin karena rindu pada ibu dan bapak, atau mungkin juga dirinya merasa kembali terlindungi saat Ethan sudah berada di dekatnya. "Hari ini bapak sama ibu pulang ya, Mas?" tanya Mak Oni ketika menata sarapan di meja makan. Ada Agra di sana, duduk sendirian sedang membaca koran menanti sarapan siap. "Iya, nanti sore. Mak kok tau? Mami ngabarin?" Agra menurunkan korannya. "Bukan, Neira tadi kasih tau. Katanya semalam Mas Ethan ngabarin mau pulang.""Oh, Neira. Mak mau ikut saya jemput ke bandara?" Agra tersenyum melihat Mak Oni yang kegirangan atas penawarannya. "Duh, pengen banget Mas, tapi kerjaan Mak Oni masih banyak. Beresin kamar ibu, Mas Ethan, duh masih numpuk pokoknya. Nanti oleh-olehnya aja y

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    38.

    Agra susah payah menggendong Neira memasuki rumah. Wanita itu tertidur pulas saat perjalanan pulang. Dengan berat badan Neira yang berbadan dua, dan kondisi cidera Agra yang sebenarnya belum sepenuhnya pulih, lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak tenaga. Jarak kamar Neira yang jauh di rumah bagian belakang dan harus melewati dapur, membuat Agra enggan mengantar wanita itu ke sana. Mau tak mau ia merebahkan wanita itu di kamar miliknya. Toh, wanita itu sudah pernah tidur di kamarnya, harusnya tak masalah dan tak akan marah saat nanti ia terbangun. Berpeluh keringat dan napas ngos-ngosan. Agra menghirup oksigen banyak-banyak setelah beban di lengannya itu hilang. Sumpah demi apa pun, lengannya benar-benar kebas sekarang. Setelah mengatur suhu AC, Agra menyelimuti Neira. Entah kenapa, wajah pulas Neira yang begitu polos membuat sudut bibir Agra tertarik ke atas dengan sendirinya. Menutup pintu perlahan, Agra meninggalkan Neira. Ia butuh minum! Namun, yang tidak Agra tahu, setelah

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    37.

    Gambar layar bergerak beraturan, menunjukan sesosok bayi cantik di sana. Bahkan sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya. Baru kali ini Agra melihat langsung USG 4 dimensi kandungan Neira. Tak dapat dipungkiri, hatinya terenyuh. Bahkan saat suara detak jantung si kecil itu mulai terdengar di audio ruang periksa, jantung Agra berdetak berkali lipat kencangnya. Pelupuk matanya sempat panas dan berkaca, saat senyum si kecil mengembang jelas. Hidung, bibir, dagu, terlihat sama persis dengan milik Agra. "Wah, ini cetakan bapaknya ya. Ibunya tidak kebagian," canda dokter kandungan yang masih dengan telatennya menelusuri perut Neira dengan alat USG. Neira tersenyum kikuk, begitupun dengan Agra. Bagaimanapun mereka bukan sepasang suami istri yang sedang dengan gembira menanti si calon buah hati. Jadi jangan harap akan ada reaksi hangat dan suka cita yang berlebihan, apalagi mesra, saat melihat si kecil ada di sana. "Sehat kan, Dok?" tanya Agra, memecah kekakuan di antara mereka. "Seha

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    36.

    Pagi menyingsing. Mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Namun, sejak selesai subuh tadi Agra sudah bergegas pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Berbekal naik sepeda kayuh yang biasa Mak Oni pakai, Agra menikmati paginya dengan penuh suka cita. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak menikmati aktivitas semacam ini. Sendal jepit, celana pendek selutut, kaos putih polos presbody, tak lupa topi hitam kesayangannya dulu waktu masih berkuliah, menjadi outfit ternyaman yang ia kenakan. Agra tidak terlihat kikuk sama sekali. Beberapa pedagang justru masih mengenali Agra yang dulu acap kali ikut berbelanja bersama Ratih. Tak lupa, ia mampir ke tempat bubur kacang hijau langganannya sewaktu dulu. "Mang, sehat?" sapanya ketika baru memarkirkan sepeda di dekat gerobak bubur yang biasa mangkal di depan pasar itu. "Weh, Mas Agra. Lama tidak kelihatan." "Iya, Mang. Bubur satu ya, Mang." Agra berbegas mengambil kursi untuknya duduk. Menghirup udara pagi dalam-dalam,

  • Infinity Love (Bahasa Indonesia)    35.

    "Kamu baik-baik aja di rumah?" Suara di seberang sana tampak sedikit lesu. "Hemm ...." Neira menjawabnya dengan bergumam. Matanya lelah dan ia sedikit lagi sudah akan terlelap. "Jangan capek-capek ya. Tidak ada Mak Oni di rumah, bukan berarti kamu harus kerjain semua hal sendiri." "Iya. Engga diforsir kok, Kak." "Agra tidak bikin ulah, kan? Larasati pernah datang?" ... Ada jeda, entah mengapa Neira justru terdiam saat Ethan bertanya tentang Agra. Ulah? Neira sedikit ambigu mencerna kata itu. "Kok diam? Kalian tidak terlibat pertengkaran lagi, kan?"______"Nei?" "Ah, iya. Apa, Kak? Maaf, Nei ketiduran." Neira tergagap. Alasan klise yang sedikit geli untuk di dengarkan, bahkan oleh dirinya sendiri. "Udah mau tidur ya? Padahal aku masih kangen mau ngobrol." "Kangen?" Pertanyaan yang entah Neira lontarkan untuk dirinya sendiri atau untuk Ethan. Dan seolah Ethan sadar, bahwa ia telah kelepasan bicara. "Eh, engga. Maksud Kakak, masih mau ngobrol sama kamu tanya keadaan. Waktunya US

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status