Share

Penangkal Tipu Daya

Kata demi kata telah kurangkai sedemikian rupa agar tak menjadi salah paham antara aku dengan Arini. Tapi sepertinya masih belum cukup memberi sinyal alarm kepada kepekaan wanita yang hatinya bak peri itu.

Gemas aku dibuatnya. Aku di sini bertarung melawan jala jerat yang ditebar oleh ibu mertua, sedangkan Arini tak jua memahami apa yang sedang menjadi kegelisahanku.

"Dek, Mas nggak nyaman dengan penampilan ibu yang terlalu seronok seperti itu," protesku kemarin sore saat melihat ibu mertua yang hanya mengenakan siluet dan celana jeans pendek.

Arini mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang sedang menyirami tanaman pot di depan rumah. Dapat kudengar desah napas meski perlahan, sepertinya ia sedang menghalau perasaan yang mulai mengganggu pikiran.

Kulihat ada raut resah yang menggelayut di riak wajahnya. Mungkinkah dia mulai mengerti dengan apa yang ada dalam hatiku? 

'Tuhan, bantu Arini membuka mata bahwa ada yang salah dengan ibunya,' doaku dalam hati.

"Dek, coba tegur ibu untuk berpakaian lebih sopan. Nggak enak juga kalau dilihat tetangga." Aku mencoba memanfaatkan situasi, mengomporinya dengan atas nama tetangga.

"Iya, Mas. Nanti aku coba bicara dengan Ibu." Dengan nada lemah Arini menyahut.

Ya, hanya itu yang ia ucapkan. Setelahnya aku tak tahu apa yang ia bicarakan dengan ibunya. Yang aku tahu hanyalah mengenai apa yang kulihat beberapa hari ini, ada sedikit perubahan sikap dari mertuaku terhadap Arini.

"Arini! Mana uang untuk beli pakaian Ibu?" pinta ibu mertua sambil mengulurkan tangan ke arah Arini yang sedang sarapan.

Aku menghentikan suapan, tertegun melihat Arini yang dengan ringan mengambil beberapa lembar uang untuk ibunya, menyerahkan tanpa banyak suara.

Hubungan macam apa itu? Tak pernah kulihat mereka mesra layaknya ibu dan anak. Arini sendiri merasa canggung saat berhadapan dengan ibunya, sedangkan Bu Hera jarang mengajak Arini mengobrol.

"Uang segini paling dapat dua baju." Ada nada mencibir dari ucapan wanita itu.

"Bu, itu bisa dapat empat gamis. Sementara itu dulu cukup, nanti kalau Arini ada uang lagi ibu bisa beli lebih." Dengan lembut Arini mencoba bersabar meski ada hembus napas gusar yang ia coba tahan.

"Terus aku siapa yang antar ke mall?" tanya wanita itu seraya mengarahkan pandangan ke arahku, tentu saja membuat aku yang hendak menelan makanan tiba-tiba tersedak.

"Ibu nggak usah ke mall, beli gamisnya cukup ke toko muslimah dekat rumah. Tinggal jalan sebentar keluar gang, nanti pas belokan ke kanan ada toko pakaian yang cukup besar." Jawaban Arini membuatku lega, segera kuraih gelas berisi air putih dan menenggaknya tuntas.

"Kamu ini, beliin baju Ibu kok yang murahan. Ibu sudah biasa beli pakaian yang nyaman. Kayak stelan ini aja harganya hampir satu juta, lho." Sembari memamerkan baju yang ia kenakan, wanita itu kembali mencibir istriku.

Geram rasanya, ingin kumaki jika tak ingat ia adalah ibu dari wanita yang kunikahi. Selera makanku menguar, hanya menyisakan rasa ingin segera pergi dari hadapan wanita pengeret itu.

"Dek, Mas berangkat dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban Arini, aku melangkah pergi meninggalkan mereka.

***

"Danu, dicariin emak kamu, tuh!" seru Martin yang baru saja kembali dari luar.

Aku mendongak, mengeryitkan dahi heran kenapa ibu tiba-tiba datang dari jauh dan tidak memberi kabar. Baru saja hendak berdiri, mata ini membulat lebar melihat penampakan yang sungguh membuat setiap bola mata tercengang.

Ibu mertua genit itu tengah menjadi pusat perhatian para pria yang berada di kantor ini. Ya Tuhan ... sungguh cobaan apalagi ini?

"Gila, bro! Nggak nyangka kamu punya emak bahenol begitu," komentar Martin sembari meninju pelan lenganku.

Lemas seluruh persendian, kujatuhkan kembali tubuh ini ke kursi dan mencoba tetap bersembunyi dalam kubik. Menenggelamkan muka ke dalam rengkuhan tangan, berharap wanita itu tak dapat menemukanku di sini.

"Danu," sebuah panggilan lembut itu sudah berada tepat di belakang telingaku yang membuat aku tersentak kaget dan bangkit membalik tubuh.

"Ibu? Ibu ngapain di sini?" Aku pura-pura kaget untuk menutupi kegugupanku.

"Ibu tadi ke mall, terus mampir nganterin makanan buat kamu. Nih, dimakan biar nggak laper." Tangannya menyodorkan kardus dalam bungkusan tas plastik berwarna putih.

"Ini, terima!" paksa wanita itu seraya  meraih tanganku dan meletakkan bungkusan itu di telapak tangan yang tak mampu menolak pemberiannya.

"I-iya, Bu. Terimakasih."

"Teman-teman kamu matanya pada normal, ya?" ucapnya setengah berbisik sembari memandang para pria yang sedari tadi tak lepas memandang tubuh ibu mertuaku.

"Kenapa?" Dahiku melipat, mencoba memahami maksud ucapan wanita aneh ini.

"Mata mereka normal bisa melihat wanita menarik seperti aku. Beda dengan kamu, Danu. Mata kamu itu perlu dibawa ke dokter, siapa tahu ada masalah." Aku menangkap ada nada meledek dalam ucapannya.

"Oh, mungkin saya butuh kacamata, Bu. Makhlum, tiap hari kerja di depan laptop."

"Huff ... kamu ini, sengaja berkelit." Kulihat ia mencebik, bibir seksi itu justru makin terlihat menggoda.

"Ibu sebaiknya pulang. Tidak baik ke sini saat saya masih kerja."

"Ibu pulang bareng kamu, ya?"

"Saya masih lama, Bu. Masih tiga jam lagi."

"Tak apa, Ibu mau nunggu sekalian cuci mata lihat berondong-berondong itu." Kegenitannya benar-benar tak bisa dielakkan lagi, kerlingan nakal ia tebar sedari tadi ke pria-pria muda itu.

Sungguh aku kehilangan muka. Apalagi dia mengaku sebagai ibuku, semakin membuat harga diri ini jatuh ke jurang terdalam. Entahlah, setelah ini aku masih bisa mengangkat kepala tegak atau tidak di hadapan teman-teman di kantor.

Kubiarkan wanita bertubuh molek itu melenggang ke ruang lobi. Otakku berputar keras agar bisa menghindar darinya. Ketukan pulpen ke meja menyiratkan bahwa otak ini berpikir lebih keras dari sebelumnya.

Arini! Ya, hanya Arini yang bisa menyelamatkan aku lagi. Segera kuambil gawai yang tergeletak di sebelah laptop. 

[Dek, Ibu mampir ke kantorku. Dia ke sini pakai baju seksi. Mas nggak berani menegur, Dek. Takut Ibu tersinggung.] Dengan cepat ibu jari menekan tombol kirim.

Aku tersenyum simpul. Sudah pasti Arini akan ke sini dan membawa ibunya pulang. Sedikit demi sedikit kegelisahanku berkurang, kembali melarutkan diri dengan pekerjaan akan membuatku bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

Detik penunjuk waktu terus bergerak, namun Arini belum juga muncul untuk membawa wanita yang menitiskannya. Berkali-kali kuhela napas berharap dapat menetralisir kegelisahan yang kembali melanda.

Kucoba menghubungi Arini kembali. Tidak aktif. Pesan yang kukirim juga belum bertanda biru. Itu artinya belum dibaca.

"Arini, kemana kamu?" gumamku penuh resah sembari sesekali menilik ke halaman kantor yang dapat kulihat dari lantai tiga tempat aku bekerja.

Lima menit lagi jam kerjaku selesai. Tak bisa kubayangkan sepanjang perjalanan akan dipeluk erat oleh wanita kesepian itu. Bisa jadi nanti malam aku tak sanggup tidur lelap karena terus membayangkan rabaan tangannya.

Kukibas tangan, segera kupukul kepalaku berusaha menepis khayalan yang sempat melintas. Berkali-kali mencoba istighfar, menata hati yang mulai runyam oleh rayuan setan yang terus berbisik.

Dua puluh menit sudah jam kerja selesai, kubiarkan waktu berlalu dengan bersembunyi di toilet. Gawai yang kuharap ada panggilan dari Arini tak menyala sedikitpun.

Keadaan kantor mulai sepi membuat bulu kuduk merinding. Rumor ada penampakan yang sering muncul membuatku makin bergidik. Mau tak mau kaki ini kuayun keluar dari toilet menuju pintu lobi.

Wanita itu masih duduk tenang di sana. Dengan asyiknya berpose dan mengunggah hasil jepretan ke media sosial. Sungguh jauh berbeda dengan Arini yang tak suka selfie.

"Sudah selesai, Danu?" Dengan senyum bahagia ia menghampiriku.

Kali ini mungkin aku akan menyerah, tak bisa lagi menghindarinya. "Iya, Bu." Dengan nada lemah aku menjawab sembari tetap berjalan agak cepat menghindari tangannya yang hendak menggamitku.

"Aku tunggu di parkiran, ya, Bu. Karena harus cek bensin dulu." Sekenanya aku beralasan, tak peduli lagi dia yang berteriak memanggilku.

Dengan langkah seribu kaki ini kuayun dengan cepat. Berharap tak ada yang mendapatiku dengan wanita itu. Baru saja keluar pintu kantor, netraku seketika berbinar cerah. Malaikatku tengah berdiri menungguku.

Seolah mendapat secercah cahaya dalam gelap, aku menghambur ke istriku. "Beruntung kamu ke sini, Dek. Mas sudah khawatir nungguin kamu," ucapku sembari mengecup dahi Arini.

"Maaf, Mas. Paketan internet aku habis, posisi aku pas di lapangan. Jadi, nggak bisa bales chat kamu. Ibu mana?"

"Di belakang."

"Lho, kok ditinggal?"

Duh! Kenapa aku lupa. Pasti akan jadi tanda tanya buat Arini kenapa aku tega meninggalkan ibunya.

"Ehm ... itu, Dek. Tadi Mas buru-buru mau cek bensin dulu, terus mau pinjam helm juga." Semoga alasanku bisa ia terima.

"Ya, sudah nggak apa-apa."

"Arini?" Terdengar suara dari belakangku, suara penuh keterkejutan.

Sudah kupastikan wanita kesepian itu akan tercengang melihat putrinya sudah ada di depan mata. Ingin aku tertawa melihat wajahnya yang pias, namun sebisa mungkin aku tahan.

"Ayo, Bu. Pulang bareng aku," ajak Arini seraya menyerahkan helm kepada ibunya yang masih berwajah masam penuh kecewa.

"Mas, aku duluan dengan Ibu, ya."

"Iya, Dek. Hati-hati, nggak usah ngebut." Senyumku mengembang melepas semua sesak yang menghimpit dada.

Tatapan kesal itu masih dapat kulihat dengan jelas, diperkuat dengan isyarat kepalan tangan yang ia acungkan ke arahku. Sungguh wanita yang pantang menyerah, hahaha ....

Tawaku pecah. Untuk kesekian kalinya aku masih mampu bertahan, tapi tak tahu hingga kapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status