Dia, wanita yang seharusnya kuhormati layaknya Ibu sendiri ... justru menjadi penggoda imanku. Aku lelaki normal, lelaki biasa yang tak lepas dari khilaf. Aku telah berusaha menjaga kesetiaanku, namun wanita dengan kerling mata nakal itu mengikis keteguhanku. Entah bagaimana aku akan keluar dari jerat asmaranya. Inilah kisahku, Adarga Handanu ....
Lihat lebih banyakNamaku Adarga Handanu, orang-orang biasa menyapaku Danu. Orang bilang wajahku termasuk dalam kategori tampan, kulit bersih, dan juga perawakan yang atletis. Saat kuliah saja aku bisa memacari empat cewek sekaligus.
Saat ini, wanita yang beruntung memilikiku adalah Arini. Sebenarnya, dia bukanlah wanita cantik tapi entahlah ... justru hatiku tertambat padanya.
Arini, wanita mandiri yang mampu membuatku bertekuk lutut mengemis cinta dan mengabaikan gadis-gadis cantik lainnya. Wanita berkulit kuning langsat tinggi semampai namun tak pandai merias diri. Selain itu, dia juga kaku dalam urusan ranjang.
Ah, khusus urusan satu itu aku juga baru tahu setelah delapan bulan ini menikah dengannya. Sudah aku berikan tontonan film yang mungkin bisa untuk belajar, tapi tetap saja ia menolak dengan alasan malu.
Arini memang begitu polos, ia juga tak suka neko-neko. Delapan bulan menikah denganku, tak pernah aku dengar ia menuntut hal-hal yang di luar kemampuanku. Dia juga bukanlah gadis manja yang suka bergelayut dan merengek, sungguh ia berbeda dengan gadis-gadis yang dulu dengan mudah aku pacari.
Menilik latar belakang kehidupan Arini, wajar saja ia mandiri. Sejak kecil ia ikut paman dan bibinya, sedangkan ibunya pergi entah kemana semenjak cerai dengan ayah Arini. Didikan yang keras membentuknya menjadi wanita yang begitu tegar.
"Mas, Ibu akan datang besok," ucapnya pagi ini ketika sarapan.
Aku menghentikan suapan, dengan heran kutatap ia lekat. Sejak kapan ia berhubungan dengan ibunya? Bahkan saat pernikahan pun ibunya tak datang meski kami mencoba mencari keberadaannya untuk memberi kabar.
"Kenapa? Mas keberatan kalau ibu ke sini?" Wanitaku itu kembali berkata dengan ekspresi polosnya.
"Kamu yakin ibu akan ke sini?" Dahiku mengeryit tak yakin.
"Ibu kemarin telepon ke Paman Sam, dia bilang mau pulang. Tapi Mas kan tahu, ibu sudah nggak ada rumah di sana. Jadi, Paman Sam menyarankan untuk tinggal bersama kita." Panjang lebar Arini mencoba menjelaskan.
"Ya, terserah. Ini kan rumah kamu, semua keputusan ada di tangan kamu."
"Bukan begitu, Mas. Mas suami aku, jadi aku memberitahu Mas Danu." Nada suara Arini seolah menyiratkan rasa tidak nyaman karena jawabanku.
"Sayang ... dia ibumu, itu artinya juga ibuku. Jadi, tak ada masalah jika ibu mau tinggal di sini." Aku rengkuh jemarinya, berharap rasa canggung yang sempat menyambangi segera berlalu.
"Terimakasih, Mas." Kembali senyum wanitaku menyembul dari bibir tipisnya.
***
Bel di dekat pintu berbunyi saat tubuhku masih basah oleh guyuran air dari shower. Terpaksa ritual mandi besar aku batalkan dan bergegas menyambar handuk dan kaos.
Bola mataku membeliak ketika membuka pintu bersitatap dengan makhluk seksi dengan penampilan yang sungguh menggugah naluri kelelakianku. Bibir yang penuh itu berpoles lipstik merah terang, kulit wajahnya begitu mulus dan licin.
"Maaf, ini benar rumah Arini?" tanya wanita yang menurut perkiraanku berusia 35 tahunan itu.
"I-iya, benar. Mbak ini siapa?" Aku tergagap karena berusaha menghalau perasaan aneh yang sempat hadir.
"Aku ibunya Arini. Apa kamu suaminya?"
Aku terhenyak. Bagaimana mungkin wanita itu ibunya Arini? Sangat jauh berbeda dengan Arini yang begitu bersahaja dan terkesan biasa saja.
"Arini ada?" tanya wanita itu sembari melongok ke dalam.
"Di-dia masih belanja, Bu. Mari masuk."
Tanpa menjawab ia melenggang masuk menarik koper hingga ke ruang tengah.
"Di mana kamarku?"
"Kamar?" Netra ini sedikit mendelik karena tetiba pikiran agak kacau melihat tubuh sintal nan molek di hadapanku.
"Iya, kamarku. Bukankah Arini sudah tahu aku akan tinggal di sini?"
"Oh, mungkin kamar ini, Bu. Karena Arini tidak berpesan apapun tadi. Dia kira Ibu datang agak siang."
"Baiklah." Wanita itu kembali melenggokkan tubuh seksinya, meninggalkan aku yang hanya bisa menelan ludah.
***
Semenjak kedatangan ibu mertua, ketenanganku terusik. Jujur, penampilannya lebih menarik dari Arini. Imajinasiku menjadi liar tatkala memandang tubuh sintal itu meski dari belakang.
Degub jantungku tak beraturan ketika harus makan semeja dengannya. Bagaimana tidak? Ia mengenakan siluet belahan rendah, memamerkan bulatan besar yang pastinya tak dimiliki Arini.
Hari ini genap lima bulan ibu mertuaku di sini. Ia jarang bicara dengan Arini, mungkin karena ikatan batin antara anak dan ibu itu tak terjalin kuat sejak Arini kecil. Ibu lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton TV dan gawainya.
Pernah aku berusaha stalking akun facebook yang ia penuhi dengan foto selfie dan dibanjiri like dari kaum adam yang memuji kecantikan ibu mertuaku. Wanita yang ternyata berusia 44 tahun itu makin terlihat muda dengan hasil jepretan kamera jahat.
"Danu, bisa bantu Ibu?" panggilnya dari dalam kamar.
Aku yang hendak membuka pintu lemari es menjadi urung, padahal tenggorokan sudah ingin disiram air dingin. Tak ayal langkah ini bergegas menghampiri pintu kamar.
"Ada apa, Bu?" tanyaku masih di ambang pintu.
"Bantu Ibu menggeser lemari ini. Bosan dengan tatanan kamar ini. Kamu tahu kan, Arini seleranya nggak banget." Celotehnya sembari memegang sisi lain lemari.
Sebenarnya tubuhku lelah, baru saja pulang dari kantor sudah harus mendorong lemari. Tapi tak enak juga menolak permintaan ibu mertua. Mau tak mau, akhirnya aku menggeser lemari kayu pintu dua itu.
Tak hanya lemari, tempat tidur dan meja rias tak luput dari pemindahan. Bahkan memasang beberapa figura yang menampilkan koleksi gambar pose seksi ibu mertua, pose yang membuatku menelan ludah berulangkali.
"Danu, Arini pulang jam berapa hari ini?" Suara lembut itu tiba-tiba sudah ada di dekat telinga dengan hembusan napas yang menggoda.
Aku yang hendak memasang figura terakhir langsung terpegun bagai patung. Debaran itu semakin menjadi tatkala jemari itu menyentuh pipi, bibir, kemudian leherku.
"Ka-kata dia mau mampir belanja bulanan ke supermarket dulu, Bu." Aku masih tergagap dan memejamkan mata tak berani menatap wanita yang sedang menghembuskan aroma penuh goda.
"Danu, kenapa kamu nggak buka mata. Apa kamu takut?" Kali ini aku rasakan tangan lembutnya sudah bergelayut manja di leherku.
Dengan degup jantung yang semakin memompa kencang, kuberanikan untuk membuka mata perlahan. Ya, Tuhan ... begitu dekat hembusan napas itu. Naluriku sebagai lelaki bergejolak, tetapi hati kecil ini menarikku kembali ke otak warasku.
"Assalamualaikum," terdengar suara Arini yang menyelamatkan kesetianku.
Bergegas kuhampiri Arini, menyambut wanita sederhana itu dengan hangat. Mengambil alih belanjaan berat di tangannya sembari kucuri cium pipi yang disambut tawa kecil cerianya.
Sementara itu, sekilas kulihat tatapan aneh dari pemilik netra penuh goda saat melintas depan kamar yang hampir saja meluluhlantakkan kesetiaanku.
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen