Share

The Twins
The Twins
Author: Suny Edelia

1. Lelaki Asing

The Lombok Lodge, satu hari yang lebih gerah dari musim panas di Amerika

Pendingin ruangan dinyalakan, dan jendela tinggi dengan korden tertutup tak sempurna mengelilingi penginapan mewah di Pulau Lombok itu. Suhu di luar ruangan lebih hangat, sekitar 26℃, lebih hangat daripada musim panas yang ada di Amerika Serikat tepatnya di kota New York pada bulan Mei.

Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri ketakutan, aroma alkohol menyengat dari mulutnya, tapi meski begitu dia tidak mabuk sepenuhnya. Punggungnya yang tinggi menghimpit pada tembok, keringat mengucur di kening dan wajahnya. Tubuhnya bergetar karena sudah siap menemui ajalnya, jika perlu.

“Siapa kau sebenarnya?” Suara lelaki itu – yang bernama Elang Wibisono– terdengar sangat putus asa dan tercekat. Seperti ada penahan di tenggorokannya, atau sebuah cekikan mematikan yang membuatnya tidak bisa bicara dengan normal. Tapi itu datang dari rasa takut yang memenuhi isi kepalanya sendiri.

Keadaan di sekeliling hampir gelap gulita. Lampu dimatikan, satu ritual yang selalu Elang lakukan saat akan pergi tidur. Meskipun dia adalah lelaki kaya dan menjabat menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya, Elang sangat tau bahwa tidak ada orang yang berani mengusiknya atau berani membahayakan nyawanya. Setidaknya itu yang selalu dia yakini selama ini.

Jadi meskipun di tempat asing ini dia tetap melakukan apa yang biasa dia lakukan, meski dalam keadaan setengah mabuk sekalipun. Jika di rumahnya, di negara di mana dia biasa tinggal, saja keamanan bisa didapat meskipun dia begitu terkenal dan mendapat banyak pesaing, lalu kenapa di sini tidak? Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Elang kini berada di ambang kematian!

“Sial!” umpatnya kala mendapati sepertinya keberuntungan tak berpihak padanya. Pelariannya di Pulau Lombok demi kabur dan menghindari ayahnya sendiri sepertinya tidak akan semulus yang Elang kira.

Padahal ini harapan satu-satunya yang dia miliki. Pulau Lombok, atau lebih tepatnya Negara Indonesia, adalah satu-satunya tempat yang tidak akan terpikirkan oleh Tuan Cakra Wibisono, ayah Elang, sebagai tempat pelarian diri dari anak lelakinya itu. Tapi kenapa? Kenapa begini jadinya?

Mata Elang yang menciut dan melebar tak pasti layaknya lensa kamera yang rusak itu semakin menggila saja. Apalagi kala melihat sosok hitam bertudung yang berdiri di tengah ruangan, menghadap pada Elang yang sudah terhimpit dan terpojok. Di tangan sosok tak dikenal itu beradalah sebuah senjata berupa pisau. Kilatannya seperti peringatan kematian, yang ditujukan untuk Elang.

“Apa yang kau inginkan? Kau ingin uang? Hah?” Sebuah negosiasi telah dijatuhkan oleh Elang. Jarang sekali orang bisa mendapatkan negosiasi dari CEO itu, karena biasanya dia akan memutuskan iya atau tidak, menolak berarti final. Siapa orang yang sangat beruntung itu? Yang mendapatkan kehormatan itu?

Karena tidak mendapatkan jawaban apa pun, Elang sepertinya tau bahwa sosok asing bertudung itu sepertinya bukan perampok, dengan kata lain dia tidak membutuhkan uang Elang. Tempat ini begitu mewah, pengamanan sangat ketat, CCTV disebar pada banyak tempat yang strategis. Kemungkinan dibobol sangat kecil, apalagi jika sampai tidak terdeteksi. Lalu bagaimana bisa orang asing itu masuk ke kamarnya? Hanya ada satu jawaban : orang asing itu pasti sangat ahli!

Tapi jika bukan perampok, lantas siapa? Pembunuh bayaran? Atas suruhan siapa?

Akan tetapi Elang mengenyahkan pikiran itu untuk sejenak. Jangan berpikiran yang aneh-aneh kala terpojok. Itu akan membuatmu kehilangan kendali dan akan sulit memenangkan pertempuran ini. Elang harus mengulur waktu agar dia bisa memiliki senjata demi bisa melawan sosok asing itu.

“Berapa uang yang kau minta? Sebutkan saja!” sembur Elang. Ada harapan di hatinya bahwa mungkin orang di luar akan mendengar teriakannya. Jika itu terjadi mungkin bantuan bisa dia dapatkan. Rasanya memang aneh ketika bepergian dan tidak mendapatkan pengawalan satu pun. Meski hal seperti ini, hal lengang dan bebas dari pengawasan, adalah hal yang diinginkan Elang. Akan tetapi jika hasilnya begini maka Elang tidak akan menyerah untuk menyalahkan dirinya.

Pelariannya di sini untuk meraih kebebasan. Dan jika dia harus mati di dalam pelariannya, ada rasa tidak terima yang mengganjal di perasaannya.

Sekarang tindakan demi tindakan diambil oleh Evan. Erangannya meninggi hingga memenuhi ruangan, layaknya sebuah gua yang sangat dalam yang baru saja memantulkan suara.

BRAK! BUGH! PRANG!

Benda terlempar dengan dasyat dan membabi buta dari tangan Elang. CEO itu memang bergerak serampangan untuk meraih barang apa pun yang bisa dia raih. Semuanya dilemparkan, tak terkecuali, dengan harapan bisa melumpuhkan sosok asing berpisau itu. Lentingan tubuh dan tangan menghempas udara, seperti sebuah turbin berkecepatan ganda, hingga pada akhirnya Elang tersungkur dan menghantam lantai karena efek mabuk.

Pening! Sial, ini pasti pengaruh alkohol. Andai saja dia tidak mabuk malam ini mungkin dia bisa menerobos udara dingin untuk menggulingkan orang asing itu. Akan tetapi satu kelemahan sudah mencoreng Elang, dia tidak akan menang malam ini. Jika begitu apa artinya dia harus menyerah? Apalagi kala melihat semua barang yang terlempar tadi sama sekali tidak mengenai sasaran?

Orang asing itu seperti ninja, setidaknya begitu kelihatannya di dalam kegelapan malam. Dia bisa melompat dengan gesit demi menghindari semua pukulan dari barang-barang yang dilemparkan oleh Elang. Tamat sudah.

Melihat sepasang sepatu mendekat dengan tipukan kaki layaknya gema kematian telah membuat Elang semakin tak berdaya. ‘Mungkin ini akhirnya. Seorang anak lelaki yang diharapkan bisa mewarisi kekayaan justru akan mati karena mencoba untuk melarikan diri. Tapi apa salahku sampai mendapatkan semua ini?

‘Aku hanya tidak bisa bertunangan dengan Anne. Aku tidak bisa membuka hati untuk para wanita, aku benci mereka.’ Di sela suara pikiran Elang, lelaki itu mengepalkan tangannya. Rasa muak menguasai dirinya, juga takdir menjijikkan yang dia dapatkan selama ini.

Dari kecil dia sudah mendapatkan nasib ketidakmujuran, atau nasib tidak adil dibandingkan dengan kembarannya sendiri.

Benar, Elang memang memiliki seorang kembaran. Kembaran Elang adalah seorang lelaki yang selalu mendapat banyak perhatian di lingkungannya dulu, dibandingkan dengan Elang. Jika bertanya kenapa, mungkin jawabannya adalah karena kembaran Elang lebih rupawan dibanding dengannya di masa lalu.

Elang begitu kurus, kurang terawat, dan sering sakit-sakitan. Sementara kembarannya, dia memang mendapat banyak keberkahan semasa kecil. Kulitnya selalu sehat, dengan rona merah di pipi. Saat semua orang lebih memilih untuk mencium dan menggendong kembaran Elang, kala itu Elang tau bahwa hidupnya memang tidak akan bisa dikatakan adil.

Dan sekarang, saat kembarannya itu bisa hidup bahagia bersama ibu kandungnya, Elang justru terpojok di sini, dalam pelarian penuh kata pengecut, dan siap untuk dibantai.

Elang meringkuk, dia menangis walau tanpa suara. ‘Akhirnya begini, aku akan mati.’ Di dalam hatinya Elang seperti sudah mempersiapkan diri. ‘Mungkin ini yang terbaik. Daripada aku harus mati karena menahan benci dengan para wanita, lebih baik aku mati mengenaskan dengan nama samaran yang tidak akan dikenali oleh orang-orang.’

Mata Elang mencoba untuk menyeimbangkan pandangannya yang mulai kabur. Itu efek dari air mata yang menggenang dan meleleh di pipi tirus lelaki itu. Di ujung sana jendela sepertinya benar-benar tertutup rapat, korden masih tertutup secara tidak sempurna. Keadaan semua itu begitu sama persis seperti ketika Elang keluar dari kamar untuk pergi ke club dan minum-minum sepuasnya.

Lalu bagaimana orang asing ini bisa masuk?

Sepasang sepatu itu semakin mendekat bersama penetrasi cahaya rembulan yang tiba-tiba jatuh dan mengenai ujung benda yang terbuat dari kulit itu. Ada bagian yang terkelupas, dan juga tergores. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang.

Di tengah semua itu, di tengah kepercayaan diri Elang akan kematiannya, sebuah suara terdengar. Sepertinya itu adalah suara dari sosok asing itu. “Bangunlah, maka aku tidak akan menyakitimu!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status