Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok.
Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya.
Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit. Akan tetapi lemahnya tubuh hingga ke kakinya telah menuntut lelaki itu untuk memperlambat langkah selambat mungkin.
Demi menjaga keseimbangan agar bisa melewati hari ini dengan lancar dan tanpa satu masalah pun, Aru menahan dirinya sendiri untuk tidak bertindak bodoh. Dia sudah dewasa, dan dia tau mana yang harus dipiroritaskan. Jadi dia menahan dengan sekuat tenaga.
Melewati dengan susah payah akhirnya Aru bisa mencapai area lobi, sebuah ruangan sangat luas dengan deret kursi tunggu tak jauh dari ruang resepsionis dan pendaftaran. Kursi kaca didorong Aru dengan agak sempoyongan, tangannya gemetar.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya seorang pegawai berparas cantik dengan pakaian seragam motif batik berwarna biru. Tak jauh dari pegawai itu berdirilah seorang security berbadan sangat gempal, hingga mengingatkan Aru pada tokoh para hero di dalam film box office.
Menyeka keringat di dahinya Aru berkata, “Saya ingin tau di mana ruangan kantor Dokter Dimas. Apakah beliau masih berpraktik di ruang yang sama seperti sebelumnya, yakni lantai dua setelah ruang praktik Dokter Stevan?”
“Benar, Bapak. Ruangan Dokter Dimas masih sama. Silakan pergi ke meja pendaftaran untuk mendaftar agar bisa berkonsultasi dengan Dokter Dimas.”
“Baik. Tapi boleh saya bertanya lagi? Apa Dokter Dimas sudah datang? Karena jika belum saya berniat untuk keluar dan mencari makanan dulu.” Alasan yang berputar-putar dari Aru, dengan tujuan yang sangat sederhana yakni ingin menemui Dimas, sahabatnya sendiri.
Pegawai di meja resepsionis itu mulai memberikan tatapan curiga. Seorang pasien yang hanya ingin berkonsultasi tidak akan bertanya sedetail itu kan? Akan tetapi ketika mengambil sebuah kesimpulan sepihak yang ceroboh adalah usaha melanggar kode etik maka dari itu pegawai tersebut tetap menjawab seramah mungkin.
“Biasanya Dokter Dimas akan datang lima belas menit sebelum praktek dibuka. Silakan menunggu dan mendaftar di meja pendaftaran.” Senyum mengembang dengan sangat ramah dan Aru sadar apa yang sedang dia dapatkan saat ini, yakni peringatan tidak halus bahwa dia tidak diperbolehkan mencari tau lebih jauh. Biar bagaimana pun apa yang dilakukan Aru saat ini memang mencurigakan.
Aru akhirnya menyerah. Mungkin lebih baik dia menunggu saja di kursi tunggu pada koridor di mana Dimas seharusnya lewat. Semoga saja sahabatnya itu tidak akan disibukkan berbagai hal sebelum pergi ke ruangannya, jadi Dimas tidak akan mengambil rute lain yang tidak akan diketahui oleh Aru.
Beberapa langkah diambil dengan pelan, sampai akhirnya mata sayu milik Aru menemukan sosok yang dia cari. Dengan senyuman penuh syukur Aru melambai, “Dim!”
Semua orang yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu pun menoleh demi melihat siapa yang berteriak cukup keras di rumah sakit itu. Pegawai resepsionis di belakang meja tiba-tiba saja menjadi sangat cemas dengan keselamatan Dimas. Maka dari itu dia memanggil security dan memintanya untuk mengawal Dimas jika terjadi apa-apa padanya.
Security bertubuh sangat gempal itu mengangguk patuh. Berlari-lari kecil dia secepat kilat mendekati Aru dengan niatan untuk menahan lelaki bertubuh layu itu. Akan tetapi ketika melihat Dimas ikut melambai demi membalas panggilan Aru akhirnya membuat security tersebut menghentikan langkah kakinya. Matanya memandang bingung dan kemudian menoleh pada pegawai resepsionis untuk memberikan protes singkat.
“Ru? Aru? Itu kau?” Mata sipit Dimas terlihat sulit mempercayai siapa yang dia lihat. Sembari menyambar kacamata di dalam saku jas praktek miliknya, dan lalu mengenakannya, Dimas berjalan cepat untuk mendekati Aru. Sampai akhirnya dokter itu bisa tersenyum lebih sumringah kala akhirnya bisa memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar sahabatnya, bukan orang yang hanya sekedar mirip.
“Apa kabar, Dim? Apa semuanya lancar?” tanya Aru sembari menepuk bahu kurus milik Dimas yang kini memeluknya. Akhirnya Aru bisa menemui sahabatnya kembali setelah sekian lama terpisah karena Dimas melanjutkan studi sembari melakukan praktek di luar negeri. Baru dua bulan lalu Dimas pulang dan memilih untuk mengabdikan diri di rumah sakit pada kota di mana dia dilahirkan.
“Baik, Ru. Aku sangat baik. Kau sendiri bagaimana? Dan kenapa datang tapi tidak mengabariku terlebih dahulu? Padahal kamu langsung bisa datang ke rumahku.” Dimas melepas pelukannya yang agak menyesakkan napas Aru. Tubuhnya yang jangkung dan kurus itu kini seperti membayangi Aru dengan sebuah harapan yang lebih besar dari sebelumnya.
Dengan agak canggung Aru menjawab, “Aku masih belum tau alamat barumu, akan tetapi di sosial media kamu sering upload tentang lokasi tempat praktekmu yang baru, jadi…”
“Ok – ok aku paham.” Dimas kembali menepuk bahu Aru. Matanya yang sudah terbingai oleh lensa kacamata itu kini baru menemukan hal yang salah dari sahabatnya sendiri. Dimas baru menyadari betapa kurus tubuh Aru sekarang ini beserta punggung yang agak bungkuk seakan dia menahan beban tubuhnya dengan sangat keras. Dan juga kulit sangat pucat milik Aru serta sorot mata awas milik lelaki itu yang kini hilang sepenuhnya.
Entah apa tujuan Aru untuk datang menemui Dimas, akan tetapi dokter itu sepertinya tau bahwa semua itu menyangkut masalah yang sangat serius, seserius kondisi Aru yang saat ini sangat mengenaskan.
Mencoba untuk pura-pura tidak sadar Dimas mengajak Aru, “Aku memiliki jam praktek tiga puluh menit kemudian. Aku sendiri memang sengaja datang lebih awal hari ini, dan sepertinya Tuhan menggerakkan hatiku karena kau akan datang menemuiku. Jadi ayo bergegas, kau pasti ingin segera bicara kan?”
Langkah kaki panjang dan bergegas milik Dimas kini dibuat agak pelan. Sejatinya lelaki berwajah oriental itu sangat tau seberapa parah kondisi Aru untuk saat ini. Akan tetapi membicarakannya di depan umum dan meski maknanya tidak tersurat juga bukan hal yang bagus. Aru harus mendapat perlindungan mental dan meyakinkannya bahwa semuanya akan tetap berada di tempatnya dan tertutup rapat.
Menyusuri koridor demi koridor Aru akhirnya berhenti pada sebuah ruangan praktik dengan papan gantung bertuliskan Dr. Dimas Sudjojo di depan pintu. Banyaknya orang yang berlalu lalang semakin membuat kepala Aru serasa tidak nyaman. Jadi setelah mendapat celah sedikit saja dari pintu yang terbuka, Aru segera masuk ke dalam ruangan praktek milik Dimas.
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Dimas masih sibuk menata peralatan praktek miliknya. Dokter itu juga mengelurkan beberapa benda dari dalam tas kerja jinjing miliknya. Jas warna putih di tubuhnya dirapikan sekali lagi. “Apa kau ingin membahas mengenai penyakitmu atau hal yang lain? Jika memang soal yang lain maka lekas katakan padaku. Akan tetapi jika ini soal penyakitmu maka aku akan bilang bahwa kau harus cepat mendapat pengobatan!”
Lensa kaca pada kacamata milik Dimas berkilau tertimpa sinar lampu di atas mereka. Bayang-bayang mata sipit milik dokter itu telah jatuh di dalam pandangan berkabut milik Aru. Muncul napas lega dari Aru yang merasa bahwa beban di pundaknya terangkat seluruhnya. Ini mungkin akan lebih mudah dari yang Aru pikirkan.
Menggenggam kepalan tinju dengan erat seraya memompa tekadnya. “Aku akan membahas mengenai masalah lain terlebih dahulu sebelum beralih pada kondisi tubuhku.” Meskipun keduanya saling menyambung satu sama lain, Aru telah memutuskan untuk memprioritaskan Bela di atas kesehatan Aru sendiri. Berhubung tenaga Aru masih cukup banyak, maka dari itu Aru akan menjelaskan peran yang dia harapkan akan dijalankan oleh Dimas kelak.
“Aku akan pergi meninggalkan Bela. Sementara itu aku meminta Elang untuk menggantikan posisiku sebagai suami demi menjaga Bela. Dan aku butuh bantuanmu untuk melancarkan rencanaku, Dim.”
***
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
Elang memutuskan untuk memasak makan malam, sama seperti apa yang sudah dia pertimbangkan sejak pagi tadi. Kebaikan Bela yang berkenan menunggunya semalaman di kamar yang sama agak membuatnya tak berdaya, dan kemudian dia menikmati kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari.Kini sosoknya sedang sibuk di dapur, di tangannya berada wajan penggorengan. Untuk makan malam dia menyediakan menu ikan bakar, sebagai pengganti salmon bakar. Lalu dia juga membuat jus sebagai hidangan penutup.Bela tidak bisa berhenti menganga. Aru memang pandai memasak, akan tetapi dia tidak pernah ingat bahwa suaminya itu begitu mahir memasak berbagai hidangan, bahkan sampai bercita rasa seperti restoran bintang lima. Ini terlalu mendadak. Bela nyaris tidak percaya bahwa lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah suaminya.Untuk saat yang sangat singkat, dia nyaris mempertanyakan tentang identitas Elang. Namun dia segera mengurungkan niatnya.“Kenapa kau melamun?” tegur Elang, setelah melepas celemek di tubuhn
“Kau tidak bisa seenaknya untuk pergi bersama lelaki lain. Apa kau sudah lupa bahwa kau sudah menikah?” omel Elang pada Bela, masih belum mau menurunkan emosinya. Dadanya terlalu panas saat mengetahui Bela pulang bersama Randy, dengan kedekatan yang patut untuk dicurigai. Apalagi gadis itu keluar tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.Dia selalu berkilah bahwa, ‘Aku melakukan ini agar Aru tidak menuduhku tidak bertanggung jawab saat bersama istrinya.’Tapi hey, sejak kapan Elang begitu peduli dengan pendapat kembarannya? Itu hanya kecemburuan, yang ditutupi dengan sangat bodoh.Bela mengernyit heran pada Elang. Ada sejuta pertanyaan yang disimpan di dalam pandangan matanya yang jernih. “Aku tadi ingin minta izin pada Mas, tapi ternyata Mas sedang tidur. Aku tidak ingin…”“Kau bisa menghubungiku kan?”Bela menundukkan kepala, seolah sedang diadili karena sebuah kesalahan yang sangat besar. “Nomor Mas yang lama kan sudah tidak aktif. Sementara aku belum tau nomor baru milik Mas.”E