Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
The Lombok Lodge, satu hari yang lebih gerah dari musim panas di Amerika Pendingin ruangan dinyalakan, dan jendela tinggi dengan korden tertutup tak sempurna mengelilingi penginapan mewah di Pulau Lombok itu. Suhu di luar ruangan lebih hangat, sekitar 26℃, lebih hangat daripada musim panas yang ada di Amerika Serikat tepatnya di kota New York pada bulan Mei. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri ketakutan, aroma alkohol menyengat dari mulutnya, tapi meski begitu dia tidak mabuk sepenuhnya. Punggungnya yang tinggi menghimpit pada tembok, keringat mengucur di kening dan wajahnya. Tubuhnya bergetar karena sudah siap menemui ajalnya, jika perlu. “Siapa kau sebenarnya?” Suara lelaki itu – yang bernama Elang Wibisono– terdengar sangat putus asa dan tercekat. Seperti ada penahan di tenggorokannya, atau sebuah cekikan mematikan yang membuatnya tidak bisa bicara dengan normal. Tapi itu datang dari rasa takut yang memenuhi i
Suhu menjadi turun secara drastis, seolah berniat untuk membekukan Elang yang seperti sekarat di dalam ketakutannya sendiri. Buku jarinya sudah pucat, kulitnya apalagi. Pandangan matanya seperti linglung, deru napas tersendat dan hampir musnah. “Sial! Sial!” geram Elang dalam suara yang teramat lirih. Memaksakan pandangannya yang kabur karena terbenam air mata untuk mendongak tentu bukan perkara yang mudah bagi Elang, apalagi setelah tubuhnya bergetar dan dia mulai merasakan pening yang sangat di kepalanya. Layaknya sesuatu pernah menghantam kepalanya hingga membuatnya gagar otak. Melayang dan hampir tidak sadar adalah efek yang lain. “Jika kau tidak ingin menyakitiku lalu apa yang kau inginkan?” Suara Elang terdengar seperti cicitan tikus yang tengah sekarat, bersama tenggorokannya yang sudah serasa tersumpal oleh sesuatu, yakni ketakutannya sendiri. Bukan tipikal Elang menjadi pengecut dan
“Elang, menikahlah dengan istriku!”Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, k
Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, SurabayaDengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tida