Share

5. Kegelapan Untuk Julia.

"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.

Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.

Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia.

"Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli.

"Tidak akan!"

"Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah.

"Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ranjang sebelah Julia, lalu merogoh saku celananya. Tiga pil yang menurut Julia asing sudah berada di genggaman tangan pria itu. Selanjutnya pria itu meraih botol air mineral diatas meja. "Minum ini!" perintahnya pada Julia.

"Tidak mau!" Julia menggeleng keras. Pria itu menjambak rambut Julia erat, membuat gadis itu mendongak ke atas.

"Minum sekarang juga jalang!" perintahnya sekali lagi dengan tatapan tidak mau dibantah. Julia terus menggeleng kuat walau kulit kepalanya terasa sakit ketika digerakkan.

Pria itu masih menjambak rambut Julia. Tidak kehabisan akal, pria itu mencengkram mulut Julia kuat, membuat mulut perempuan itu sedikit terbuka, lalu tiga butir pil tadi sudah berpindah ke dalam mulut Julia. Diraihnya botol mineral tadi, "minum dan telan!" perintahnya.

Julia terus menggeleng kuat. Air matanya sudah menetes dari tadi. Julia menangis, ia sangat ketakutan sekarang. Julia tidak pernah membayangkan kejadian menjijikan seperti ini akan terjadi.

"Cepat telan!" teriak pria itu dengan satu tamparan keras pada pipi Julia, membuat gadis itu spontan menelan ketiga butir pilnya karena terkejut.

"Bagus, setelah ini kau akan menjadi gadis penurut, dan kau adalah sumber uangku," kata pria itu tertawa puas lalu pergi meninggalkan Julia yang menangis sesegukan.

***

"Bagaimana?" Arjuna menatap pria yang baru saja keluar dari kamar 505 dengan tatapan sulit diartikan.

"Sukses, sebentar lagi obatnya akan bereaksi," jawab pria itu dengan senyuman tipisnya.

Arjuna mengernyit. Menatap pria di depannya tajam. "Kau memberikannya obat itu?" tanyanya memastikan.

"Tentu saja. Apalagi?"

"Cih, seharusnya kau tidak memberikan obat itu, Bodoh!" maki Arjuna dengan tangan yang sudah mencengkram erat kerah baju pria itu. Membuat dua kancing teratasnya lepas.

"Kau gila, dia gadis keras kepala. Dia tidak akan sudi melakukan hal itu denganmu tanpa obat itu," jawab pria itu membela diri. Ia juga menepis lengan Arjuna keras. Namun Arjuna malah mencengkram lebih kuat.

"Tapi aku tidak menyuruhmu melakukan hal bodoh semacam itu kan!"

"Aku sudah terlanjur memberikan obat itu padanya, terserah kau mau apakan dia. Aku pergi, masih banyak urusan. Dan aku harap kau tidak lupa dengan kesepakatan kita," pria itu mendorong tubuh Arjuna. Cengkraman pada lehernya terlepas. Lantas pria itu pergi meninggalkan Arjuna dengan sebal setelah merapikan kemejanya yang kusut.

Arjuna menatap pintu yang bertuliskan angka 505 itu dengan datar. Membukanya, lalu melenggang masuk ke dalam. Hal pertama yang dilihatnya adalah Julia yang terlihat kacau. Tangan pria itu mengepal erat, ingatkan Arjuna nanti untuk menghajar Jonatan karena telah membuat Julia menangis. Sungguh, Arjuna tidak membayar Jonatan untuk menyiksa Julia seperti itu.

"Julia....." Arjuna berjalan mendekati ranjang. Ia mengusap pipi Julia yang memerah karena tamparan Jonatan, lalu beralih melepaskan ikatan pada tangan Julia.

"P-Pak Arjuna....." Julia menggerang menahan sesuatu.

"Kamu baik-baik saja?"

"To-tolong jangan mendekat," Julia mendorong tubuh Arjuna pelan, memberikan jarak pada mereka berdua. Mati-matian perempuan itu menahan hasratnya terhadap sentuhan Arjuna yang menggebu.

Tetapi tentu saja Arjuna pria normal. Sesungguhnya dialah dalang atas kejadian semua ini. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bagaimanapun juga Arjuna telah membayar mahal kepada Jonatan.

Dalam gelapnya malam, Arjuna tersenyum sinis menatap gadis di depannya yang tak berdaya itu. Tak ada rasa simpati sama sekali. Dan tak mungkin waktu bisa diundur. Seandainya Julia tak pernah menantang Arjuna, mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi.

***

Arjuna terbangun dari tidurnya dan mendapati Julia sudah tidak ada di sampingnya. Kamar yang di tempati mereka tadi malam berantakan parah. Ah, tiba-tiba Arjuna mengingat kejadian panas semalam. Sangat menyenangkan.

Arjuna kemudian mencari ponselnya yang berbunyi. Panggilan dari Ruben membuat jantungnya berpacu cepat. Semoga ada berita baik yang akan disampaikan Ruben untuk hari ini.

***

Arjuna langsung menghampiri Ruben. Bahkan ia masih mengenakan pakaian tadi pagi, yang berati pakaiannya semalam ketika menginap di hotel. Ia duduk di sofa apartemen milik Ruben dengan tidak sabaran. Ruben masih mandi. Sialan. Padahal tadi ia buru - buru sekali.

"Maaf, karena sudah membuatmu menunggu lama." Ruben datang dengan rambut yang masih basah. Ia memakai kaos dan celana pendek berwarna putih. Dia terlihat sangat santai dan segar. Menaruh satu kaleng soda untuk Arjuna, dan satu kaleng soda diteguknya sendiri. "Uhmm, bagaimana kabarmu. Kenapa kau terlihat acak-acakkan seperti itu, Arjuna?"

Arjuna mendengus. Ia datang ke sini sepagi ini, bahkan tanpa mandi bukan untuk basa - basi tidak penting seperti ini. Arjuna sudah terlalu lama menunggu. Bahkan hampir setahun pencariannya. Ditambah sahabat gilanya ini ketika mandi tadi sangat lama.

"Apa yang ingin kau sampaikan. Kuharap ini kabar baik," ucap Arjuna tegas.

"Ya, ini memang kabar baik untukmu."

"Bisa kau serahkan berkasnya sekarang?"

Ruben mengambil ponselnya.

"Tidak ada berkas. Tapi aku akan memberi tahumu secara langsung. Dan beberapa catatan penting aku taruh di sini," ia menunjukkan ponselnya. Arjuna menyuruhnya untuk cepat-cepat, karena ia sudah tak sabar menunggu. Sedangkan Ruben hanya cengar - cengir membuat semuanya semakin lama.

"Jadi sebenarnya selama ini kita mengenal orang yang merawat Vino Mahardika Putra, adikmu." Ruben menatap ekspresi Arjuna yang masih datar. Ruben lalu membuka berkas foto yang baru saja dikirimkan oleh mata - matanya. Dua orang manusia yang berbeda umur dan jenis kelamin. Ia memperlihatkannya pada Arjuna. "Dia adalah perempuan yang merawat adikmu, namanya Rayya Julia Putri. Kabar baiknya dia bekerja di perusahaan kita," jelas Ruben panjang lebar. Lelaki berkaos putih itu mengharapkan reaksi senang dari sahabatnya, tetapi Arjuna tak kunjung bereaksi. Arjuna malah terdiam dengan pikiran kosong. Ia menatap Ruben tanpa ekspresi. Nafasnya sesak. Hatinya berharap cemas kalau Julia yang semalam bukanlah adik tiri yang sekarang tengah ia bicarakan. Tapi memorinya masih ingat betul kalau beberap waktu lalu ia meminta data tentang Julia pada sekretarisnya. Tapi faktanya memang benar. Mereka sedang membicarakan Julia yang 'itu'.

"Ruben..." Arjuna menatap luar jendela dengan datar, "ini kabar buruk," lanjutnya dengan suara setengah berbisik.

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status