"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.
Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.
Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia.
"Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli.
"Tidak akan!"
"Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah.
"Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ranjang sebelah Julia, lalu merogoh saku celananya. Tiga pil yang menurut Julia asing sudah berada di genggaman tangan pria itu. Selanjutnya pria itu meraih botol air mineral diatas meja. "Minum ini!" perintahnya pada Julia.
"Tidak mau!" Julia menggeleng keras. Pria itu menjambak rambut Julia erat, membuat gadis itu mendongak ke atas.
"Minum sekarang juga jalang!" perintahnya sekali lagi dengan tatapan tidak mau dibantah. Julia terus menggeleng kuat walau kulit kepalanya terasa sakit ketika digerakkan.
Pria itu masih menjambak rambut Julia. Tidak kehabisan akal, pria itu mencengkram mulut Julia kuat, membuat mulut perempuan itu sedikit terbuka, lalu tiga butir pil tadi sudah berpindah ke dalam mulut Julia. Diraihnya botol mineral tadi, "minum dan telan!" perintahnya.
Julia terus menggeleng kuat. Air matanya sudah menetes dari tadi. Julia menangis, ia sangat ketakutan sekarang. Julia tidak pernah membayangkan kejadian menjijikan seperti ini akan terjadi.
"Cepat telan!" teriak pria itu dengan satu tamparan keras pada pipi Julia, membuat gadis itu spontan menelan ketiga butir pilnya karena terkejut.
"Bagus, setelah ini kau akan menjadi gadis penurut, dan kau adalah sumber uangku," kata pria itu tertawa puas lalu pergi meninggalkan Julia yang menangis sesegukan.
***
"Bagaimana?" Arjuna menatap pria yang baru saja keluar dari kamar 505 dengan tatapan sulit diartikan.
"Sukses, sebentar lagi obatnya akan bereaksi," jawab pria itu dengan senyuman tipisnya.
Arjuna mengernyit. Menatap pria di depannya tajam. "Kau memberikannya obat itu?" tanyanya memastikan.
"Tentu saja. Apalagi?"
"Cih, seharusnya kau tidak memberikan obat itu, Bodoh!" maki Arjuna dengan tangan yang sudah mencengkram erat kerah baju pria itu. Membuat dua kancing teratasnya lepas.
"Kau gila, dia gadis keras kepala. Dia tidak akan sudi melakukan hal itu denganmu tanpa obat itu," jawab pria itu membela diri. Ia juga menepis lengan Arjuna keras. Namun Arjuna malah mencengkram lebih kuat.
"Tapi aku tidak menyuruhmu melakukan hal bodoh semacam itu kan!"
"Aku sudah terlanjur memberikan obat itu padanya, terserah kau mau apakan dia. Aku pergi, masih banyak urusan. Dan aku harap kau tidak lupa dengan kesepakatan kita," pria itu mendorong tubuh Arjuna. Cengkraman pada lehernya terlepas. Lantas pria itu pergi meninggalkan Arjuna dengan sebal setelah merapikan kemejanya yang kusut.
Arjuna menatap pintu yang bertuliskan angka 505 itu dengan datar. Membukanya, lalu melenggang masuk ke dalam. Hal pertama yang dilihatnya adalah Julia yang terlihat kacau. Tangan pria itu mengepal erat, ingatkan Arjuna nanti untuk menghajar Jonatan karena telah membuat Julia menangis. Sungguh, Arjuna tidak membayar Jonatan untuk menyiksa Julia seperti itu.
"Julia....." Arjuna berjalan mendekati ranjang. Ia mengusap pipi Julia yang memerah karena tamparan Jonatan, lalu beralih melepaskan ikatan pada tangan Julia.
"P-Pak Arjuna....." Julia menggerang menahan sesuatu.
"Kamu baik-baik saja?"
"To-tolong jangan mendekat," Julia mendorong tubuh Arjuna pelan, memberikan jarak pada mereka berdua. Mati-matian perempuan itu menahan hasratnya terhadap sentuhan Arjuna yang menggebu.
Tetapi tentu saja Arjuna pria normal. Sesungguhnya dialah dalang atas kejadian semua ini. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bagaimanapun juga Arjuna telah membayar mahal kepada Jonatan.
Dalam gelapnya malam, Arjuna tersenyum sinis menatap gadis di depannya yang tak berdaya itu. Tak ada rasa simpati sama sekali. Dan tak mungkin waktu bisa diundur. Seandainya Julia tak pernah menantang Arjuna, mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi.
***
Arjuna terbangun dari tidurnya dan mendapati Julia sudah tidak ada di sampingnya. Kamar yang di tempati mereka tadi malam berantakan parah. Ah, tiba-tiba Arjuna mengingat kejadian panas semalam. Sangat menyenangkan.
Arjuna kemudian mencari ponselnya yang berbunyi. Panggilan dari Ruben membuat jantungnya berpacu cepat. Semoga ada berita baik yang akan disampaikan Ruben untuk hari ini.
***
Arjuna langsung menghampiri Ruben. Bahkan ia masih mengenakan pakaian tadi pagi, yang berati pakaiannya semalam ketika menginap di hotel. Ia duduk di sofa apartemen milik Ruben dengan tidak sabaran. Ruben masih mandi. Sialan. Padahal tadi ia buru - buru sekali.
"Maaf, karena sudah membuatmu menunggu lama." Ruben datang dengan rambut yang masih basah. Ia memakai kaos dan celana pendek berwarna putih. Dia terlihat sangat santai dan segar. Menaruh satu kaleng soda untuk Arjuna, dan satu kaleng soda diteguknya sendiri. "Uhmm, bagaimana kabarmu. Kenapa kau terlihat acak-acakkan seperti itu, Arjuna?"
Arjuna mendengus. Ia datang ke sini sepagi ini, bahkan tanpa mandi bukan untuk basa - basi tidak penting seperti ini. Arjuna sudah terlalu lama menunggu. Bahkan hampir setahun pencariannya. Ditambah sahabat gilanya ini ketika mandi tadi sangat lama.
"Apa yang ingin kau sampaikan. Kuharap ini kabar baik," ucap Arjuna tegas.
"Ya, ini memang kabar baik untukmu."
"Bisa kau serahkan berkasnya sekarang?"
Ruben mengambil ponselnya.
"Tidak ada berkas. Tapi aku akan memberi tahumu secara langsung. Dan beberapa catatan penting aku taruh di sini," ia menunjukkan ponselnya. Arjuna menyuruhnya untuk cepat-cepat, karena ia sudah tak sabar menunggu. Sedangkan Ruben hanya cengar - cengir membuat semuanya semakin lama.
"Jadi sebenarnya selama ini kita mengenal orang yang merawat Vino Mahardika Putra, adikmu." Ruben menatap ekspresi Arjuna yang masih datar. Ruben lalu membuka berkas foto yang baru saja dikirimkan oleh mata - matanya. Dua orang manusia yang berbeda umur dan jenis kelamin. Ia memperlihatkannya pada Arjuna. "Dia adalah perempuan yang merawat adikmu, namanya Rayya Julia Putri. Kabar baiknya dia bekerja di perusahaan kita," jelas Ruben panjang lebar. Lelaki berkaos putih itu mengharapkan reaksi senang dari sahabatnya, tetapi Arjuna tak kunjung bereaksi. Arjuna malah terdiam dengan pikiran kosong. Ia menatap Ruben tanpa ekspresi. Nafasnya sesak. Hatinya berharap cemas kalau Julia yang semalam bukanlah adik tiri yang sekarang tengah ia bicarakan. Tapi memorinya masih ingat betul kalau beberap waktu lalu ia meminta data tentang Julia pada sekretarisnya. Tapi faktanya memang benar. Mereka sedang membicarakan Julia yang 'itu'.
"Ruben..." Arjuna menatap luar jendela dengan datar, "ini kabar buruk," lanjutnya dengan suara setengah berbisik.
Tbc...
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya."Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Be
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya