Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u
Pukul 06:00"Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang - barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang - barangnya dengan baik."Iya, dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang - barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha
Hari ini pertama kalinya Julia bekerja di toko Dewa. Pagi sekali Julia sudah sangat sibuk. Julia mulai menyiapkan sarapan berdua untuk dirinya dan Vino, juga mempersiapkan diri untuk tampil kerja secara maksimal. Rencananya Julia akan memesan ojek online, tetapi ketika ia dan Vino hendak sarapan tiba-tiba Arjuna muncul dan menawarkan untuk mengantar mereka. Lalu dengan terpaksa Julia mengiyakan ajakkan dari Arjuna. Di perjalanan mereka hampir tidak bersuara sama sekali. Hanya Vino yang sesekali mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu canggung. Julia akan menjawab pendek, sedangkan Arjuna akan berbicara seperlunya saja. Setelah Vino turun dari mobil dan melangkah menuju kelasnya, Julia dan Arjuna kembali dirundung sepi di dalam mobil. Arjuna melirik Julia yang duduk di sampingnya, samping kursi pengemudi. Julia memakai kaos seragam bewarna merah dengan kerah di leher, dan dipadu celana chinos bewarna kream. Santai sekali. Menurut Arjuna itu agak aneh, karena Arjuna terbiasa m
Seorang perempuan berjas putih tampak berjalan anggun dengan pandangan lurus ke depan. Rambutnya pendek seleher berjuntai lurus. Kulitnya putih bersih. Bibirnya bewarna merah dengan senyuman yang merekah. Perempuan itu tampak berbicara dengan salah satu karyawan De Wallin Bakery. Lalu sesekali ia tampak melirik ke arah Julia. Di tengah kesibukannya menata beberapa roti, Julia tahu kalau ada yang memperhatikannya dari tadi. Dia melirik perempuan itu dengan cuek. Julia tidak mengenalnya. Jadi biarkan saja. Beberapa menit kemudian perempuan tadi berjalan lurus menghampiri Julia. Ia berhenti dan menatap Julia dengan tatapan menilai. Julia menghentikan kegiatannya. Berdiam mematung, menatap perempuan itu bingung. "Kamu siapa?" tanya perempuan itu. Merasa terpanggil, Julia berusaha memberikan senyuman ramahnya. "Saya Julia, Mbak. Karyawan baru di sini," jawabnya. "Kamu sudah interview?" tanya perempuan itu. "Sudah, Mbak." "Kapan kamu interview?" Julia hendak menjawab. Tetap
"Dewa, aku masih penasaran sama kamu. Apa yang udah ngebuat kamu menerima dia jadi karyawan kamu?" Cellin baru saja masuk ke ruangan Dewa, tetapi perempuan itu sudah memberondong dengan segelintir pertanyaan panjang. Pertanyaan beberapa hari lalu yang belum sempat dijawab Dewa dengan jelas. "Kamu masih mau bahas itu lagi?" Dewa hanya menoleh cuek. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Cellin berdiri sambil bersedekap di depan Dewa yang tengah berkutat pada pekerjaannya. "Kan kemarin kamu ngehindar terus, Wa. Aku cuma nanya," sungut Cellin. "Dia lagi nganggur. Dan lagi butuh pekerjaan banget. Kebetulan kitakan lagi butuh karyawan, jadi ya aku terima dia jadi karyawan kita." Jelas Dewa dengan sabar. "Bener? Kamu nggak ada tujuan lainkan?" Dewa menghela nafas beratnya. Sebelumnya, Cellin bukanlah perempuan pecemburu. Dia tidak mudah terpedaya. Tetapi ini baru pertama kalinya Cellin terlalu repot mengusutnya sampai sejauh ini. Dewa tertawa dalam hati, mungkin karena Julia itu s
"Bagaimana keadaan Papa?" Tanya lelaki itu seraya duduk di hadapan lelaki yang lebih berumur. "Aku baik-baik saja. Kali ini lebih mendingan daripada beberapa hari lalu," sahutnya. Keduanya diam membisu. Kencanggungan masih melingkupi mereka. Ini untuk yang ketiga kalinya Arjuna menjenguk Ridwan papa Julia di rumah sakit. Beberapa waktu lalu mata-mata yang dikirim Arjuna mengabarkan bahwa Ridwan terlibat kecelakaan tragis di jalan tol yang melibatkan banyak korban. Beberapa korban tidak sempat diselamatkan. Beruntung Ridwan masih bisa diselamatkan. Namun sangat disayangkan, kaki kanan dan dan tangan kiri Ridwan mengalami patah tulang. Bahkan Ridwan sempat koma selama seminggu. "Jadi, bagaimana? Apakah Julia sudah siap untuk kamu nikahi?" tanya Ridwan berharap cemas. Pria paruh baya itu sudah tahu semua hal tentang Julia. Karena sebenarnya saat Ridwan belum mengalami kecelakaan tragis tersebut, Arjuna telah memberitahukan semua hal yang terjadi pada Julia. Bisa dikatakan hal terse
Arjuna memastikan kalau Julia akan baik-baik saja setelah jejaknya menghilang di balik etalase pembatas antara penjual dan pembeli. Sebenarnya Arjuna berniat mengantar sampai ke dapur, mengingat mereka tadi datang terlalu pagi dan tentu saja toko roti De Wallin masih sepi. Tetapi Julia menolak dan memaksa Arjuna untuk segera pergi dari sana. Mau tak mau Arjuna pun terpaksa harus pergi. Baru saja Arjuna ingin menggapai gagang pintu mobilnya, namun seorang perempuan dengan gaya modis yang tengah memakai kacamata hitam menariknya masuk ke dalam toko roti, dan memaksa untuk masuk ke suatu ruangan yang bisa ditebak itu adalah ruangan atasan. Ia mendorong Arjuna dengan keras hingga jatuh terduduk di sofa. "Ada Apa ini? Kamu siapa?" tanya Arjuna bingung. Perempuan itu menyilangkan tanganya di dada. Menatap Arjuna angkuh. "Aku Cellin, atasan Julia." Jawabnya sambil mengamati Arjuna dari atas sampai bawah. "Atasannya Julia? Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Arjuna sekali lagi. Ti