"Maaf, karena telah salah menuduhmu. Aku pikir kamu salah satu orang dari komplotan penculik yang lagi viral. Melihat bagaimana cara kamu seperti sedang mencoba membujuk keponakan ku." kata Sofi tersenyum canggung, merasa sangat menyesal pada Wika.
Wika sebenarnya kesal mendapat tudingan seperti itu, apalagi tadi Sofi bertindak kasar dengan menepiskan tangannya kuat.
"Tidak apa-apa," jawab Wika kalem.
"Hhh, aku panik sekali tadi saat tak ada Vania di sampingku. Makanya aku langsung cari dan begitu ketemu malah melihat Vania bersama seseorang." jelas Sofi yang masih merasa tak enak pada Wika.
"Iya mbak, gak apa-apa."
"Kakak cantik, tidak marah?" tanya Vania polos.
Wika menggelengkan kepalanya, "enggak sayang." Wika kembali menyentuh lembut pipi Vania.
"Lain kali Vania jangan nekat pergi sendirian ya," titah Wika yang di angguki Vania cepat.
"Ah ya, perkenalkan namaku Sofi." ucap Sofi mengulurkan tangan kanannya.
"Wika, tetangga pak Pras sekaligus mahasiswi di kampus tempatnya mengajar." sengaja Wika memperkenalkan dirinya secara detail.
"Oh ya? Woow!" kaget Sofi. "Pantas saja kakak ku itu betah menjadi dosen disana, ternyata mahasiswinya cantik-cantik." gurau Sofi yang langsung memancing tawa Wika.
"Tante, aku mau pulang!" rengek Vania menarik-narik ujung pakaian milik Sofi.
"Lihatlah, putri kecilnya sudah merengek pulang. Padahal tadi dia yang merengek minta kemari." Sofi geleng-geleng kepala melihat Vania.
Yang bisa Wika lakukan hanya tersenyum dan kadang tertawa kecil menanggapi ucapan Sofi.
"Mau pulang bersama?" tawar Sofi.
Wika tertegun dengan ajakan Sofi, haruskah ia menerima saja tawaran dari adik pak Pras ini?
"Ayo Tante!" tanpa aba-aba Vania menarik pelan tangan Wika.
Wika berjengit kaget dengan reaksi Vania tapi ia juga tak kuasa untuk menolak keinginan gadis kecil itu.
"Kakak cantik duduk berdua sama Vania di kursi belakang ya." pinta Vania yang di angguki Wika.
Sofi tertawa kecil melihat interaksi yang terjalin antara Vania dan Wika, wanita yang mengaku sebagai tetangga dan mahasiswi kakaknya, Pras.
Vania terus menggenggam sebelah tangan Wika yang duduk di sampingnya, sepanjang perjalanan Vania terus lengket menempel pada Wika. Untungnya Wika sama sekali tak keberatan, justru sebaliknya Wika tampak senang. Hal itu pun tak luput dari pengamatan Sofi yang melirik dari kaca spion atas. Sofi memilih duduk di depan disamping pak Gito, sang sopir.
Sebelah tangan Wika bergerak membuka tasnya dan mengambil ponselnya, melihat apakah ada balasan chat dari teman-temannya. Sayangnya tak ada satu pun balasan chat dari para teman Wika, sedikit kecewa Wika memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Wika melirik Vania yang tampak diam berhenti mengoceh, kemungkinan anak itu tertidur. Dengan sayang dan perhatiannya Wika mengelus rambut Vania lembut. Mengusap-usap pelan kepala Vania, usapan sayang seperti usapan seorang ibu pada anaknya sehingga memberikan rasa nyaman tersendiri untuk Vania yang tampak damai dalam tidurnya.
*****
Wika membuka pintu mobil ketika sudah berhenti sampai di rumah Sofi, dengan sangat perlahan Wika melangkah sambil membawa tubuh Vania yang tertidur dalam gendongannya.
Sofi melihat Wika yang tampak kesusahan menggendong Vania pun membantunya dengan membuka pintu rumah.
"Langsung bawa saja ke kamar." kata Sofi menuntun Wika menuju kamar Vania yang ada di rumahnya.
Wika mengangguk dan mengikuti langkah Sofi yang menaiki anak tangga. Sofi membuka salah satu pintu kamar dan mempersilakan Wika masuk ke dalam. Sebuah kamar yang bernuansa warna pink penuh yang identik dengan gambar-gambar Hello Kitty.
Wika menaruh hati-hati tubuh Vania yang tertidur ke atas ranjang, setelahnya Wika menyelimuti tubuh Vania dengan selimut lalu mencium kening bocah itu.
Tiba-tiba saja Wika tersentak, ada apa dengan dirinya? Kenapa merasa sudah begitu sangat dekat dengan keluarga pak Pras. Bahkan ke anaknya, sebelumnya Wika tidak terlalu suka anak kecil dan tak begitu sabar menghadapi tingkah pola anak kecil. Tapi, dengan Vania? Entah kenapa Wika merasa dirinya menjadi sosok yang berbeda jika di dekat anak pak Pras ini, seperti ada sesuatu hal yang menariknya ingin semakin dekat dengan Vania.
Wika memijit pelipisnya yang mendadak kepalanya berdenyut pusing. Hal yang sering Wika lakukan ketika ia merasa bingung dan tertekan.
Wika menegakkan tubuhnya dan berbalik, tersentak saat melihat sosok Sofi yang berdiri di ambang pintu kamar Vania dengan wajah tersenyum.
Apakah wanita itu sedari tadi berdiri disana dan memperhatikanku? batin Wika bertanya-tanya.
"Dia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya," kata Wika melangkah mendekat ke arah Sofi.
Sofi mengangguk, "sepertinya anak itu kelelahan karena terus mengoceh sepanjang hari." kekeh Sofi yang membuat Wika juga ikutan tergelak.
"Vania anak yang aktif, dia sangat manis dan menggemaskan." puji Wika kagum dengan anak Pras.
Dan lagi-lagi hal itu tertangkap jelas dari pengamatan mata Sofi yang langsung menyukai Wika.
Dia berbeda! batin Sofi.
"Mbak sedang apa?" tanya Wika menghampiri Sofi yang tengah berjibaku di dapur.Sofi menoleh pada Wika dan tersenyum, "masak buat makan malam." jawabnya dan kembali fokus pada bahan-bahan masakannya."Butuh bantuan?" tanya Wika menawarkan diri."Memang kamu bisa masak?"Wika menggeleng, "ya gak terlalu sih, tapi aku bisa masak air, masak mie instan dan telur dadar. Hehe, hanya itu yang paling gampang." tukas Wika nyengir."Dasar!" Sofi geleng-geleng kepala."Ah, aku mau bantu, boleh ya?" tanya Wika yang kini sudah memegang pisau dan mengambil satu buah kentang untuk ia kupas.Sofi hanya diam membiarkan Wika yang berniat ingin membantunya, tak ada salahnya juga toh Sofi jadi lebih merasa terbantu."Mbak tinggal sendirian disini?" tanya Wika memecahkan suasana hening diantara mereka."Ya." jawab Sofi singkat.
Ini sudah dua hari berlalu semenjak Wika yang berada di rumah Sofi, sejak malam itu ketika Pras dan Wika pulang bersama dari rumah Sofi, setelahnya mereka berdua terlihat tak saling bertemu baik di rumah maupun di kampus.Selama dua hari ini pula Wika terlihat menjadi mahasiswa yang rajin di kampusnya. Tak pernah bolos lagi di mata kuliah lainnya kecuali bahasa Inggris, tak ada alasan mengapa Wika memilih bolos di mata kuliah Pras, intinya ia hanya tak suka saja dengan Pras yang semakin membuat ia membenci pria itu karena tempo hari Pras sudah membuatnya malu luar biasa.Saat jam istirahat, Wika dan teman-temannya kompak keluar dari kelas dan menuju kantin demi mengisi perut mereka yang sudah sangat lapar."Wika, kau pergi kemana saat tempo hari mengajak ketemuan di mall?" tanya Ulfa setelah mereka berempat sudah duduk manis di kantin."Hmm, aku?" tunjuk Wika pada dirinya sendiri. "Aku ada di mall kok." "Hei, kami berempat datang ke mall tapi kau tak a
Denger ya pak, sorry banget nih, bapak bukan tipe saya. Kata-kata itu terus berputar di kepala dan pikiran Pras. Rangkaian kata-kata yang di ucapkan Wika itu seharusnya membuat Pras senang. Namun anehnya tiap kali kata-kata itu terngiang di telinganya, rasanya Pras mendadak mendidih dan merasa sangat kesal. Dadanya sesak penuh amarah.BRAAAKK.Pras menggebrak meja yang berhasil mengalihkan perhatian dari para dosen-dosen lainnya yang kebetulan berada disitu. "Sialll!" umpat Pras amat sangat kesal dan lagi-lagi berhasil mencuri perhatian teman se-profesinya yang semakin bingung dengan sikap Pras.Hanya karena ucapan seorang gadis kecil yang nakal membuat Pras marah dan mencak-mencak. Lihat saja, Pras akan membalas ucapan Wika.Dan apa tadi dia bilang? Pras bukan tipenya. Hhh, lain waktu ketika Pras bertemu dengannya, maka Pras akan mengatakan hal yang sama."Kau juga bukan tipeku, ciihhhh!" gumam Pras masih belum menyadari keberadaannya
"Vania, kamu kenapa sayang?" tanya Pras pada putrinya yang beberapa hari ini terlihat manyun dan murung. Tak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria dan gembira.Vania menatap ke arah papanya dengan tatapan sedih, "kangen kakak cantik, papa.""Uhuukkk!" Pras tersedak makanan yang ada di mulutnya, luar biasa kaget dengan jawaban sang anak.Sofi yang melihat kakaknya tersedak pun buru-buru menyodorkan segelas air mineral pada Pras yang langsung di ambilnya. Pras masih batuk-batuk dan Sofi menepuk-nepuk pelan punggung Pras.Vania yang melihat itu pun semakin manyun, Vania berpikir jika karena dirinyalah sang papa tersedak makanan."Maaf, papa." ucap Vania menundukkan kepalanya tampak sangat menyesal.Sofi dan Pras saling tatap, merasa bingung dengan Vania yang tiba-tiba meminta maaf."Minta maaf untuk apa sayang?" tanya Sofi menyentuh lengan kecil Sofi.
Pras menatap heran gadis nakal yang biasanya ceria kini tampak murung dan sedih, sedari gadis itu turun dari kamar bersama putrinya, sampai sekarang Wika hanya diam saja dengan kepala yang terus menunduk ke bawah.Tak seperti biasanya gadis itu akan memasang wajah yang sangat menjengkelkan bagi Pras. Wajah tengil yang selalu bersikap berani seperti hendak menantang Pras untuk berduel.Pras terus menatap ke arah Wika, menunggu gerakan wanita itu untuk melihat ke arahnya. Tak sengaja Bu Asti menangkap jelas dari penglihatannya kalau Pras terus melihat ke arah putrinya. Bu Asti tersenyum saat ia menebak jika Pras menaruh hati pada Wika."Jangan di lihatin terus seperti itu pak Pras, nanti jatuh cinta loh." gurau Bu Asti pada Pras yang langsung salah tingkah mendengar ucapannya. Pras tersenyum kikuk kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Vania yang tampak asyik sarapan dengan roti cokelat buatan ibu Wika.
"Papa! Kakak cantik!" jerit Vania memanggil Wika dan Pras yang seketika tersadar, Pras menyentak melepaskan dekapan tangannya dari tubuh Wika.Pras berdeham menetralkan suaranya, memalingkan wajahnya menatap sang anak yang berlari ke arahnya. Pras menangkap tubuh Vania yang melompat minta di gendong."Hap! Aku berhasil menangkapmu, rawwwrrr!" kata Pras kegirangan masih sambil bersuara seperti monster menyeramkan.Tangan Vania bergerak menutup mulut Pras dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, permainannya sudah selesai papa.""Papa? Siapa itu papa?" ulang Pras yang sepertinya masih ingin berperan jadi monster."Iiihhh papa nyebelin!" rajuk Vania. "Permainan sudah selesai dan kamu adalah papaku.""Benarkah anak kecil?" kekeh Pras seraya mengecupi seluruh permukaan wajah Vania hingga basah."Iyuuh, papa jorok!" rengek Vania paling tidak suka saat d
Pras memulai kembali aktifitasnya seperti biasa, weekend telah berakhir dan berlalu begitu cepat. Rasanya Pras masih ingin bersantai-santai di rumahnya bersama sang putri tercintanya, Vania.Tidak seperti hari biasanya, kali ini Pras dibuat frustasi oleh Vania yang hari ini sedikit rewel merengek pada Pras untuk tidak di antarkan ke rumah Tante Sofi.Berulang kali Pras mengatakan pada Vania tak mungkin ia menuruti keinginan putrinya tersebut. Jika Vania tidak di titipkan pada adik kandungnya tersebut, lantas kemana Pras harus menitipkan putrinya pada orang yang tepat selama ia bekerja, aman dan yang terpenting dapat ia percayai takkan menyakitimu putrinya.Maraknya beredar berita miring yang beraneka ragam membuat Pras agak susah dan kesulitan mempercayai orang lain."Pa, Vania gak mau ke rumah Tante Sofi." ucap bocah kecil itu yang ternyata masih betah merengek pada Pras."Vania, tolong ngert
Dengan hati yang tak rela akhirnya Pras mengabulkan keinginan sang anak, pria itu memaksakan kakinya melangkah menuju ke rumah sebelah, lebih tepatnya ke rumah Wika.Pras memencet bel rumah Wika, menunggu sang pemilik rumah membukanya. Pras melirik ke bawah ke arah Vania yang tampak tersenyum gembira sembari menunggu pintu terbuka dengan sangat antusias.Pras memencet bel rumah Wika kembali sampai berulang kali hingga akhirnya pintu terbuka dan menampakkan wajah Wika yang berdiri di ambang pintu. Kekagetan jelas terlihat dari sorot mata Wika, merasa bingung dengan kedatangan tetangga sebelah rumahnya ini."Selamat pagi kakak cantik." sapa Vania tersenyum manis, melambaikan ke lima jari sebelah tangannya yang bebas dari genggaman tangan Pras.Wika turut membalas lambaian tangan Vania, "selamat pagi juga Vania."Vania menyentak melepaskan genggaman tangan Pras dan berlari masuk ke dalam rumah Wi