Share

15. Tamu Tak Diundang

Hari ini, Darka sudah berangkat bekerja seperti biasa. Sementara Tiara masih berkutat sibuk dengan pekerjaan ibu rumah tangganya. Jika dibandingkan dengan pekerjaan Tiara di rumah ini dengan pekerjaan Tiara di panti asuhan jelas pekerjaan di panti asuhan lebih banyak dan lebih berat. Namun, entah kenapa Tiara merasa lebih lelah mengurus pekerjaan rumah ini daripada mengurus pekerjaan di panti. Tiara berpikir, jika mungkin ini ada kaitannya dengan masalah hubungannya dengan Darka yang bukannya semakin membaik seiring waktu berjalan, malah Darka semakin menekan dirinya seolah-olah tidak mau membuat Tiara merasa tenang hidup dengan berstatuskan istri darinya. Tiara pun menghela napas dan melangkah menuju area belakang kediaman minimalis yang terasa mewah bagi Tiara tersebut. Di sana, ad ataman kecil dan sebuah kolam renang. Kali ini, Tiara akan membersihkan kolam renang dari dedaunan kering yang jatuh ke dalamnya.

Baru saja Tiara memegang alatnya, Tiara sudah lebih dulu mendengar suara bel pintu. Tiara menoleh dan bertanya pada dirinya sendiri, “Siapa yang datang, ya? Apa Mama dan Papa?”

“Iya, tunggu sebentar,” teriak Tiara sembari melangkah menuju pintu utama.

Tiara membukakan pintu dan melihat seorang wanita cantik dengan pakaian seksinya. Tentu saja, Tiara tidak mengenali wanita tersebut. Namun, sebaliknya. Wanita itu tampaknya mengenali Tiara. “Kau Tiara, bukan?” tanyanya dengan tatapan yang agaknya terasa merendahkan bagi Tiara.

Namun, Tiara mencoba untuk tidak mempedulikan tatapan tersebut dan balik bertanya, “Iya, saya sendiri. Ada urusan apa, ya?”

“Bolehkah aku masuk? Aku di sini seorang tamu. Apa mungkin, ini caramu memperlakukan seorang tamu?” tanya wanita itu sembari tersenyum sinis.

Tiara pun tersenyum tipis dan membukakan pintu dan berkata, “Silakan.”

Wanita itu segera duduk di sofa ruang tamu tanpa dipersilakan terlebih dahulu oleh Tiara. Namun, Tiara tidak merasa tersinggung dan malah berkata, “Tunggu sebentar, biar saya buatkan minum dulu.”

Setelah menghilang beberapa saat, Tiara pun muncul dan menyajikan teh hangat. Tiara duduk berseberangan dengan wanita yang dengan anggunnya menyesap teh yang sebelumnya sudah disajikan oleh Tiara. Hal yang paling mengherankan adalah, kenapa dia mengetahui nama Tiara bahkan ingin berbicara secara pribadi dengan Tiara seperti ini. Jelas, Tiara bisa menebak hal itu dengan tepat, karena wanita ini datang di waktu jam kerja. Itu artinya, ia memang datang bukan untuk bertemu dengan Darka, melainkan untuk bertemu dengannya. “Kau pasti penasaran dengan alasanku menemuimu, dan siapakah aku sebenarnya,” ucap wanita itu setelah meletakkan cangkir dan menatap Tiara dengan senyum yang terasa mengganggu bagi Tiara.

Tiara tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Jadi, siapa Anda dan apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” tanya Tiara dengan nada sopan. Meskipun dirinya belum mengetahui alasan dan siapa orang yang berada di hadapannya ini, berbicara sopan pada tamu adalah suatu keharusan. Walaupun sejak tadi dirinya merasa jika wanita yang berada di hadapannya ini terus berusaha untuk merendahkannya, melalui ekspresi dan tatapan yang ia berikan.

“Baiklah, mari aku perkenalkan diriku. Aku Vanesa, dan hubunganku dengan Darka adalah … patner seks.”

Perkaaan yang masuk ke dalam indra pendengaran Tiara tersebut terdengar menyakitkan. Namun, Tiara berusaha untuk mengenalikan ekspresinya. “Ah, begitu.”

Benar, wanita yang datang bertamu secara tiba-tiba tersebut, tak lain adalah Vanesa. Tiara menatap Vanesa dengan riak emosi yang tidak terbaca. Jelas, Vanesa yang mendapati reaksi yang diberikan oleh Tiara tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan merasa kecewa. Ia kesal, karena usahanya membuat Tiara marah dan mengamuk ternyata gagal total. Namun Vanesa tentu saja tidak akan mundur begitu saja. Ia sudah datang jauh ke mari, dengan begitu banyak persiapan. Ia sudah bertekad untuk menghancurkan pernikahan Darka dengan Tiara. Jika Darka tidak bisa menceraikan Tiara, maka Vanesa hanya perlu membuat Tiara yang menceraikan Darka. Vanesa adalah wanita, dan ia tahu senjata apa saja yang perlu ia gunakan untuk menjatuhkan wanita lainnya.

Vanesa melipat kedua tangannya di depan dada dan berkata, “Ya, kami adalah patner seks. Setidaknya itu yang sering Darka ucapkan. Namun, aku merasakan hal lebih daripada patner seks pada Darka.”

“Kau menyukainya?” tanya Tiara sudah tidak lagi menggunakan bahasa formal pada seseorang yang sudah melewati batasan yang ada.

“Ternyata kau lebih cerdas daripada yang terlihat,” ucap Vanesa sembari menyeringai.

Tiara terkekeh pelan. “Sebuah pujian yang terdengar cukup menyenangkan,” ucap Tiara semakin membuat Vanesa jengkel.

Tiara pun pada akhirnya bertanya, “Jadi, apa kau hanya datang untuk mengatakan hal itu padaku? Rasanya, perjalanmu akan sia-sia jika memang datang hanya untuk mengatakan hal itu.”

Vanesa mengetatkan rahangnya. Rasanya, berkelahi dan menghajar para wanita yang sudah berusaha merebut Darka darinya terasa lebih mudah bagi Vanesa, daripada berhadapan dengan seseorang seperti Tiara. Meskipun memiliki wajah polos yang rasanya bisa ditindas dengan mudahnya, tetapi Tiara bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Rasanya, Vanesa ingin mencakar wajah sok polos yang saat ini tengah terpasang pada wajah Tiara. Apa dia pikir dengan statusnya sebagai istri sah dari Darka, bisa membuatnya bisa berhadapan dengan Vanesa? Kelas mereka jauh berbeda, dan Vanesa yang lebih unggul di sini. “Tentu saja tidak. Mana mungkin aku hanya datang untuk mengatakan hal itu,” ucap Vanesa.

“Jadi, apa yang ingin kau katakan lagi? Sebaiknya kau bergegas. Aku tidak bisa menjamumu lebih lama lagi. Ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus aku lakukan sebagai seorang istri,” ucap Tiara.

“Ah benarkah? Aku sampai sulit membedakan seorang istri dengan pembantu rumah tangga. Jika aku yang menjadi istri Darka, aku tidak mungkin perlu mengurus hal yang kotor semacam itu.”

Namun, Tiara tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Vanesa dan meminta Tiara untuk mengatakan apa yang sebelumnya ingin dikatakan oleh Vanesa. Tentu saja sikap Tiara tersebut benar-benar menjengkelkan bagi Vanesa. Ia menatap Tiara dengan tajam, lalu sedetik kemudian terkekeh penuh olok pada Tiara. “Aku datang untuk memberikan peringatan padamu,” ucap Vanesa.

“Peringatan? Peringatan apa yang kau maksud?” tanya Tiara.

“Aku tengah memberikan peringatan padamu, untuk menyiapkan hati. Karena aku, akan membuat pernikahanmu dengan Darka seperti neraka. Setiap malamnya, aku akan memastikan untuk mencuri Darka darimu. Aku akan menggantikan tugasmu sebagai istri yang memuaskannya di atas ranjang,” ucap Vanesa dengan wajah begitu puas saat melihat Tiara yang menyurutkan senyumannya.

Meskipun dalam beberapa detik Tiara terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Vanesa, tetapi Tiara dengan mudah bisa mengendalikan hatinya. Tiara sudah menebak, jika menghadapi wanita semacam Vanesa sama sekali tidak mudah. Vanesa rela memberikan tubuhnya dan membuat Darka puas di atas ranjang, demi tetap membuat Darka menatapnya dan menyadari kehadirannya. Tidak mengherankan rasanya jika suatu saat nanti Vanesa melakukan hal gila untuk membuat Darka meninggalkan Tiara. Jika niat sudah salah sejak awal, Tiara yakin jika hasilnya pun tidak akan pernah memuaskan atau berakhir baik. Tiara pun memasang senyuman manis yang membuat Vanesa mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Vanesa tidak mengerti mengapa Tiara bisa bersikap setenang ini. Apa mungkin, Tiara tidak peduli dengan Darka yang menghabiskan waktu dan menebar benihnya di rahim wanita lain?

“Apa mungkin, kau tengah meminta izin padaku untuk mencuri Darka setiap malamnya?” tanya Tiara. Membuat Vanesa yang mendengar hal tersebut tersedak ludahnya sendiri.

Vanesa tidak mempercayai pendengarannya. Apa mungkin Tiara ini idiot? Bagaimana bisa ia menyimpulkan perkataannya seperti itu? “Apa, meminta izin? Kau gila? Aku sama sekali tidak membutuhkan izin siapa pun,” ucap Vanesa dengan penuh percaya diri.

“Jika pun kau meminta izin, aku jelas tidak akan memberikan izin untukmu memuaskan suamiku di atas ranjang. Itu adalah tugasku sebagai seorang istri. Dia, Darka, adalah milikku. Hanya milikku. Silakan saja kau berusaha untuk menggodanya dan memuaskannya dengan seluruh kemampuanmu. Tapi jangan lupakan satu hal. Kau, bukanlah istrinya. Sampai kapan pun, selagi aku masih berstatus sebagai istrinya, aku tidak akan memberikan status ini padamu. Dan kau, akan tetap berstatus sebagai … wanita simpanan,” ucap Tiara dengan senyum tipis yang terasa menusuk.

Vanesa terlihat begitu marah dan menjerit, “Beraninya!”

“Tentu saja aku berani. Status kita jauh berbeda. Aku, istri sahnya, dan kau hanyalah wanita simpanan yang bahkan tidak berani Darka tunjukkan pada kedua orang tuanya. Seharusnya, itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bagimu untuk mundur. Jangan lagi mengganggu rumah tangga dan menggoda suami orang lain,” ucap Tiara memberikan sedikit nasihat.

Vanesa yang mendengar hal itu merasakan urat-uratnya berkedut karena menahan kemarahan. “Memangnya kau pikir kau itu siapa? Kau itu hanya terlalu beruntung terpilih menjadi menantu di keluarga Al Kharafi. Tapi, jangan terlalu senang. Aku akan mengakhiri keberuntunganmu itu,” ucap Vanesa dengan kedua mata yang menyorot tajam pada Vanesa.

Vanesa tidak memberikan kesempatan bagi Tiara untuk menjawab perkataan yang sudah ia lemparkan. Vanesa berdiri dari tempatnya dan merapikan penampilannya sebelum berkata, “Pastikan saja, jika kau tidak akan mati karena terlalu lelah menangis. Aku akan membalas semua penghinaan yang sudah kau berikan padaku.”

Setelah mengatakan hal itu, Vanesa pergi begitu saja meninggalkan Tiara yang tidak bisa berkata-kata. Sungguh, ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Vanesa padanya. “Memangnya, di sini siapa yang di hina, dan siapa yang menghina? Apakah dia kesulitan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Ah, kasian. Padahal dia masih muda,” ucap Tiara sebelum membereskan cangkir dan beranjak untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tiara tampaknya sama sekali tidak peduli dengan apa yang sudah dikatakan Vanesa padanya. Tiara melanjutkan kegiatannya, seolah-olah dirinya sama sekali tidak bertemu dengan Vanesa.

***

Darka berdecak kesal. Karena hujan deras, pesanan makanannya dibatalkan dan kini dirinya tersiksa karena rasa lapar yang membuat perutnya berteriak keras sejak tadi. Suasana hati Darka semakin memburuk, saat dirinya mencium aroma masakan Tiara yang lezat. Darka berpikir, jika Tiara sengaja melakukan hal itu untuk mengolok-oloknya. Darka melihat ke luar jendela, dan ternyata hujan benar-benar deras. Terlalu berbahaya bagi Darka untuk mengemudi di bawah hujan deras yang membatasi jarak pandang ini. Darka pun memilih untuk turun ke lantai bawah. Setidaknya, Darka bisa memasak mie instan daripada harus memakan masakan buatan Tiara yang tidak sesuai dengan seleranya. Namun, begitu sampai di dapur, Darka malah merasakan perutnya semakin keroncongan saat melihat sajian di atas meja makan.

Ada tumis kangkung, sambal ulek, sambal kentang dan goreng ikan mas yang tampak lezat. Darka menelan ludah. Ia memang belum pernah mencicipi masakan rumahan semacam ini, karena sejak awal memang bukan seleranya. Tiara yang melihat Darka berada di ambang pintu dapur segera tersenyum dan berkata, “Baru saja aku akan ke atas untuk memanggilmu dan mengatakan makanannya sudah siap.”

“Memangnya siapa yang mengatakan mau memakan masakanmu ini?” tanya Darka kesal.

“Tapi, sepertinya kamu tidak bisa memesan makanan pesan antar, kan?” tanya balik Tiara.

“Aku ingin makan mie rebus saja,” ucap Darka lalu duduk di meja makan dengan kesal.

“Sayang sekali, tidak ada persediaan mie instan,” ucap Tiara penuh penyesalan sembari menyiapkan alat makan bagi Darka.

“Hei, kenapa tidak mengisi persediaan? Mie instan itu penting!” seru Darka kesal.

Tiara yang mendengar keluhan Darka mengernyitkan keningnya. “Itu memang penting di rumah seorang bujangan yang tidak bisa memasak. Tapi, Darka kan sudah bukan bujangan lagi. Ada aku yang akan memasak untuk Darka. Nah, sekarang silakan makan,” ucap Tiara yang rupanya sudah menyendokkan nasi dan lauk untuk Darka.

Darka menatap piring yang terisi itu dengan kesal. Dengan ragu, Darka pun makan satu gigit dan cukup terkejut dengan rasa masakan tersebut. Tiara yang menyadari ekspresi tersebut, tersenyum tipis. Ia bertanya, “Apa masakannya sesuai dengan selera Darka?”

Darka menatap Tiara dengan tajam dan berkata, “Kau pikir makanan seperti ini sesuai dengan lidahku?! Tentu saja tidak! Tapi aku sangat lapar, dan tidak ada makanan selain ini. Aku tidak memiliki pilihan lain.”

Darka meyakinkan dirinya jika rasa lezat yang melingkupi lidahnya hanyalah hal yang terjadi karena rasa lapar yang ia rasakan. Jika saja dirinya tidak lapar, tentu saja masakan kampungan yang dibuat Tiara tidak akan selezat ini. Rupanya, Darka cukup lapar hingga menambah nasi dan lauknya. Rasanya, Tiara ingin tertawa saat melihat Darka yang terus mencibir masakan buatannya, tetapi tampak lahap menyantap masakan tersebut. Tiara tidak tersinggung dan tetap membantu Darka saat akan menambah lauknya. Di tengah makan malam tersebut, Tiara pun teringat kejadian tadi pagi. Tiara pun berkata, “Tadi pagi, ada tamu yang datang.”

Darka menghentikan kegiatan makannya untuk sesaat sebelum bertanya, “Siapa yang datang? Apa dia mencariku?”

Tiara menggeleng. Ia menatap Darka tepat pada matanya dan menjawab, “Dia tidak mencarimu. Dia mencariku. Dan namanya adalah, Vanesa.”

.

.

.

wah wah, tanpa tendeng aling-aling

Gimana pendapat kalian tentang Vanesa?

Ayo tinggalin jejak kalian yaaa

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Eva S
hatimu terbuat dari apa Tiara
goodnovel comment avatar
Kim Ra
suka nih karakter si Tiara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status