Senandung kecil mengalun pelan dari bibir Andin, membentuk ritme teratur yang indah dan terus berulang. Terkadang, tubuhnya ikut bergoyang pelan ke kanan dan ke kiri, mengikuti irama yang didendangkannya. Dia tak yakin lagu apa itu. Yang jelas, perasaannya sedang senang dan nada itu terputar begitu saja dalam otaknya.
Andin tengah meracik minuman latte pesanan salah satu pengunjungnya. Kondisi kafe yang lumayan ramai membuatnya turun tangan memberikan bantuan. Dia memang pernah belajar mengenai dunia perkopian lengkap dengan berbagai macam cara penyajian minuman pahit itu. Karena itulah, dia bisa menjadi barista cadangan tatkala dibutuhkan.
Kafe bertajuk Andin's Café ini adalah miliknya. Memang, dia tak sepenuhnya terjun langsung mengurus tempat ini. Ada asisten andalannya yang dia beri kepercayaan penuh menangani hidup-mati kafenya, termasuk mengatur kesejahteraan para pegawainya. Dan dia akan menerima detail laporannya setiap bulan.
Meskipun begitu, Andin lumayan sering berkunjung ke kafenya sendiri. Yah, sekadar bersantai sembari mengamati keadaan kafenya. Jika sedang ramai, dia tak segan ikut membantu pegawainya, seperti yang dilakukannya sekarang.
"Sedang menunggu Mas Desta, ya, Mbak?" tanya Nita usai membuatkan segelas ice americano pesanan pelanggan.
Andin tersenyum malu dibuatnya. Sudah bukan rahasia lagi bila kafe ini menjadi tempat biasa dirinya dan sang kekasih bertemu. Ya, Desta merupakan kekasihnya. Belum lama status itu tersemat dalam hubungan keduanya setelah lebih dari tiga tahun hanya menjalin ikatan persahabatan. Ini seperti kata orang; dari sahabat menjadi cinta.
Alasan lain mengapa kafe ini dipilih sebagai tempat favorit pertemuan keduanya adalah letaknya yang searah jalan pulang Desta dari kantor menuju rumahnya. Sebenarnya, dia bisa menyewa tempat di mall yang dikelola Desta. Hanya saja, dia tidak mau terlalu kentara menunjukkan perasaannya pada pria itu yang takutnya justru bisa merusak usahanya selama ini. Bisa dibilang dirinya menggunakan kedok persahabatan untuk mendekati Desta. Dan dia pun harus sabar menanti perasaan sukanya berbalas.
"Iya," balas Andin. Seluruh karyawannya tahu tentang jalinan kasihnya dengan Desta. Mereka bahkan mengompori dirinya untuk berani mengungkapkan perasaannya. Dia tidak melakukannya. Tentu saja. Terlalu malu baginya mengakui perasaannya secara langsung di hadapan pria itu, apa lagi meminta menjadi kekasihnya. Jadi, dia hanya menunggu hingga kepastian itu datang dari Desta sendiri.
"Janjian jam berapa, Kak?" Ayu, pegawai Andin yang lain, bertanya.
"Sebentar lagi sampai. Katanya, tadi sudah di jalan."
"Itu dia," ujar Nita bertepatan dengan suara gemerincing bel yang berbunyi. Sebuah bel kecil memang diletakkan di pintu masuk sehingga bunyinya memberi tanda tiap ada orang yang keluar dan masuk.
Andin mengikuti arah pandang Nita. Lelaki itu benar di sana, masih memakai setelan kerjanya yang sudah tak rapi lagi. Seulas senyum dia berikan kala matanya bertemu pandang dengan milik Andin. Dan dia bisa melihat gurat lelah di wajah tampan itu.
Desta mungkin bukan lelaki tertampan yang pernah Andin lihat. Oh, banyak aktor pria rupawan bertebaran di penjuru dunia yang bukan hanya dirinya saja yang terbuai oleh pesonanya, melainkan kaum hawa lain yang dia yakin juga merasakan hal yang sama. Sebut saja Chris Evans. Bagi yang pernah melihatnya dan, tentu, menonton perannya di berbagai film pasti sejutu jika aktor itu tampan. Dan ya, Andin memang mengidolakannya.
Oke. Kembali lagi pada Desta. Meski bukan yang tertampan, namun fitur wajah Desta tetap menarik. Lagipula, tampan itu relatif. Bagi Andin, Desta sudah masuk kategori tampan dengan tubuh tinggi menjulangnya. Dan pria itu semakin mempesona saat berpenampilan necis ala pekerja kantoran. Tak terbayang seberapa kerennya dia ketika sedang bekerja.
Andin berjalan menghampiri Desta yang duduk si sudut cukup terpencil. Hampir seluruh bangku dekat jendela telah terisi. Biasanya mereka akan duduk di sana sambil menikmati pemandangan luar yang sebenarnya itu-itu saja. Jalanan dan lalu-lalang kendaraan bermotor yang tiada hentinya.
"Mau pesan sesuatu?" tanya Andin setelah sampai di depan Desta dan mendudukkan dirinya di kursi kosong di sana.
Hening. Tak ada tanggapan dari pria yang setahun lebih tua darinya itu. Desta justru menatap Andin dengan sebuah kebimbangan dalam matanya.
Andin menyadari itu. Desta bukanlah orang yang pandai menyembunyikan perasaannya, terutama di hadapan Andin. Matanya jauh lebih jujur dibandingkan bahasa tubuhnya. "Ada apa?" Rasa penasaran mulai merasuki hati Andin.
"Aku harus menikah."
Sebuah jawaban singkat yang sanggup memberi efek kejut bagi Andin. Jantungnya sempat berdetak tak karuan. Tetapi kemudian, dia mampu mengendalikannya. Dia membiarkan ketenangan kembali menguasai pikirannya. Dan sejujurnya, dia juga mempunyai kabar bahagia tentang pernikahan. Orang tuanya setuju dirinya merajut ikatan suci itu dengan Desta. Karena itulah, seharian ini mood-nya terasa sangat senang.
"Ada gadis yang dijodohkan denganku." Caranya berucap sungguh menunjukkan luka yang dirasakannya sehingga Andin pun serasa ikut merasakan perihnya.
Jujur, Andin tak tahu harus bereaksi apa atas pernyataan tersebut. Menghibur? Tidak mungkin. Penghiburan macam apa yang akan dia berikan untuk sang kekasih yang harus menikah karena dijodohkan. Otaknya berpikir dan menimbang-nimbang. Haruskah dirinya juga menyampaikan kabar bahagianya? Kira-kira bagaimana reaksi Desta begitu mendengarnya?
"Aku sama sekali nggak tertarik untuk mengenal dia, apalagi sampai jatuh cinta padanya. Nggak akan mungkin!" lanjut lelaki itu sinis.
Andin tersenyum miris. Dia menangkap ketidaksukaan yang teramat sangat dalam suaranya. "Kalau kamu memang nggak suka, tolak saja perjodohan itu." Dingin, dia berujar.
Desta memandang Andin. Lagi-lagi kebimbangan itu ada di sana. Kali ini ditambah dengan penyesalan dan rasa ketidakberdayaan yang tergambar di mata cokelatnya. "Nggak bisa. Kalau aku menolak, kakek nggak akan mewariskan Aksa Grup padaku."
Andin mengatupkan bibirnya rapat. Jadi, ini semua karena warisan? Memang tidak mudah melepaskan sesuatu yang sedari kecil digadang-gadang akan menjadi miliknya. Dia paham akan hal itu. Sangat paham. Tetapi, mendengarnya langsung dari bibir pria itu sungguh menyakiti hatinya.
Tiba-tiba kedua tangan Desta meraih tangan Andin. "Ayo, kita menikah. Kamu akan menjadi istri pertamaku. Biarkan saja wanita itu menjadi yang kedua. Dan tak akan kubiarkan dia merusak hubungan kita!" ujarnya dengan jemari yang menggenggam erat milik Andin penuh harap.
Andin menatap kosong Desta. Benaknya sudah tak sanggup lagi mencerna semua penuturan pria itu. Mulutnya terkunci. Benar-benar tak tahu lagi harus berkata apa. Kaget? Tentu saja. Mood bahagianya seketika rusak digantikan rasa yang entah dia sendiri tak mampu mendeskripsikannya. Kecewa? Pasti. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Desta seolah-olah membombardir dirinya dengan tumpukan kekecewaan pada pria yang baru empat bulan menjadi kekasihnya itu. Andin bahkan tak tahu harus dia apakan seluruh perasaan negatif yang menderanya. Yang paling nyata terasa adalah sakit hatinya pada ucapan terakhir lelaki itu. Desta seakan menganggap drinya dan wanita itu sebuah barang. Desta ingin memiliki yang satu, namun tak mau kehilangan satu lainnya. Sungguh ironis.
Tanpa sadar, salah satu tangan Andin yang tersembunyi di bawah meja terkepal. Ada amarah yang berusaha dia tahan sekuat mungkin. Dan dengan tekad itu, dia menyimpan dalam emosinya kemudian menatap dingin Desta. Begitu dingin seakan-akan cercah kehidupan telah pergi meninggalkannya.
"Pergilah." Satu kata tanpa ekspresi itu meluncur dari bibir Andin.
Desta sekali pun tak pernah menyetujui ide kakeknya mengenai perjodohan antara dirinya dengan cucu sahabatnya. Baginya, hidupnya seutuhnya adalah miliknya. Tak ada orang yang bisa mengaturnya, apalagi memaksanya melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.Semuanya bermula saat dia kecil. Entah orang tua atau justru kakeknya sering mengatakan bahwa ada seorang gadis yang harus dia jaga kala dirinya besar nanti. Dalam otak kecilnya langsung terbayang wajah Lana dan segala kecengengannya. Lana merupakan sepupu yang tidak hanya merepotkannya, namun seluruh keluarga besarnya dengan tingkah gadis itu yang kelewat manja. Maka jelas, dia tak mau melakukannya.Seiring berjalannya waktu, dia menyadari jika sifat perempuan tidak semuanya seperti Lana. Dia bisa melihat tingkah laku teman-teman di sekolahnya yang jauh berbeda dari sepupunya itu. Dia pun perlahan mulai mengerti tentang perjodohan yang direncanakan kakeknya serta sahabatnya. Justru karena itulah, dirinya sema
Mempersiapkan pernikahan bukanlah hal sulit bagi Andin, meski dia hanya punya waktu satu bulan melakukannya. Banyak wedding organizer profesional mampu mewujudkannya. Yang dia butuhkan cuma uang lebih untuk membayar jasa mereka yang harus bekerja di bawah deadline singkat dengan hasil maksimal. Akan ada banyak tamu penting hadir dalam pesta pernikahannya. Dan tentu, dia tak ingin momen itu menjadi ajang mempermalukan reputasi keluarganya dan Desta akibat salah pilih penyedia jasa wedding organizer.Sebenarnya, Andin tak benar-benar memerlukan jasa mereka. Pesta pernikahan sudah pasti akan digelar di ballroom hotel milik keluarganya. Itu pun termasuk katering makanan selama pesta berlangsung. Untuk dekorasi suasana pesta, para pegawai hotelnya tak kalah apik dalam merancang semuanya. Lagi pula, hotelnya menawarkan paket layanan ini bagi mereka yang ingin mengadakan apa pun jenis pesta di sana. Katakan saja dan mereka akan siap mewujudkannya.
Desta tidak pernah berniat untuk datang terlambat. Dia adalah orang yang sangat menghargai waktu sehingga dirinya anti mengingkari janji temu yang sudah dibuatnya. Pun dengan datang melebihi waktu yang dijanjikan. Dia tidak suka menunggu lama dan juga ditunggu, terlebih karena kesalahannya yang lalai memperkirakan waktu kedatangannya. Tepat waktu menjadi sebuah keharusan, kecuali memang ada keadaan mendesak yang terjadi.Namun, situasi genting benar-benar terjadi. Istri dari salah satu klien penting kakeknya berkunjung ke mall-nya secara tiba-tiba. Desta, sebagai CEO di sana, mau tak mau harus menemui sang klien dan menemaninya berkeliling mall. Tentu saja untuk berbelanja. Dan dunia tahu betapa kaum wanita amat menikmati kegiatan tersebut hingga lupa waktu. Begitu pun dengan dirinya yang terus berada di samping si klien selama beberapa jam kemudian.Dia ingin mengabarkan hal ini pada Andin sebab tak ada yang suka dibuat menunggu tanpa kejelasan. Apa
Pernikahan mereka akhirnya terjadi. Seperti yang sudah diatur, direncanakan, dan dikonsep oleh keluarga besar keduanya, Adiyaksa dan Mahardika. Persiapan yang cukup singkat untuk pesta sebesar itu tak pernah menjadi masalah karena sedianya ada kerja ekstra dari orang-orang yang terlibat dalam memuluskan acara tersebut. Profesionalisme kerja, namanya. Dan itu sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh.Sesuai rencana, pernikahan Andin dan Desta dibagi menjadi dua waktu. Akad nikah diadakan di pagi hari, lalu dilanjutkan dengan pesta kecil bersama para sahabat dan keluarga besar kedua mempelai. Malamnya, bisa disebut sebagai pesta bisnis karena sebagian besar tamu undangan berisi kolega dan rekan bisnis dua keluarga tersebut. Tentu, teman-teman si pengantin bisa hadir juga di pesta itu. Mereka tidak menuliskan ketentuan khusus dalam undangan yang disebar dan membebaskan siapa pun datang di waktu yang diinginkan.Tenang saja. Tidak ada masalah dalam prosesi membahagi
Langkah Andin perlahan memasuki sebuah rumah berlantai dua di kawasan perumahan elite di Barat ibukota. Rumah dengan kombinasi warna putih, broken white, dan cokelat adalah rumahnya. Maksudnya, rumah mereka, Andin dan Desta.Pagi tadi, Desta tiba-tiba mengetuk kamar hotelnya. Dia yang masih setengah sadar akibat acara pernikahannya sehari sebelumnya hanya bisa melongo saat pria itu menyerahkan sebuah kunci, lalu tanpa basa-basi langsung pergi meninggalkannya yang membuatnya mau tak mau meneleponnya kala kesadarannya sudah kembali sepenuhnya."Itu kunci rumah kita. Aku akan mengirimkan alamatnya nanti." Begitu jawaban Desta ketika dia menanyakan perihal kunci yang didapatnya.Dan karena itu, di sinilah dia sekarang. Memasuki rumah bernomor tiga puluh dua yang ternyata telah terisi furnitur cukup lengkap.Rumah ini luas, namun tidak seluas rumah yang selama ini dia tinggali bersama keluarganya. Tapi, dia memang tidak menginginkan
Kontrak Pernikahan1. Tidak ada kontak fisik, kecuali terpaksa dan maksimal hanya sebatas pelukan.2. Tidak tidur sekamar!3. Urusan rumah tangga dilakukan bersama-sama.4. Saling menghargai privasi masing-masing.5. Kedua pihak wajib menjaga kelangsungan hubungan pernikahan semaksimal mungkin.6. Hal-hal di atas bisa ditambah, dikurangi, atau dibatalkan dengan persetujuan dari kedua belah pihak.TertandaAndin dan DestaDesta tersenyum sendiri membaca screenshot tulisan tangan Andin mengenai apa yang disebutnya sebagai kontrak pernikahan. Jarinya bergulir untuk memperbesar gambar itu hingga terlihat sangat jelas. Sejelas obrolan mereka sebelum makan malam tadi. Memang, dirinya-lah yang mengajukan ide tentang membicarakan hubungan mereka ke depannya yang tak tahunya justru berakhir dengan kontrak pernikahan.
"Dia bilang apa?""Mau menciumku.""Memangnya kalian belum pernah berciuman?"Pertanyaan yang dilontarkan Dewi seolah membungkam Andin dan membuatnya membisu tanpa kata di sana. Bukan. Ini bukan tentang pertanyaan yang menohok telak dirinya karena dia tahu betul jawabannya. Pernah. Begitu panas, dalam, dan memabukkan.Hal terliar yang pernah dia lakukan bersama Desta adalah ciuman itu. Terkadang hanya berupa kecupan ringan yang tak jarang bisa berubah liar dan penuh gairah. Namun, cuma sebatas itu. Dia dan Desta masih berusaha mempertahankan logika mereka dan tak membiarkannya kalah dari hasrat yang mulai menguasai.Ya, sepenggal memori akan hal tersebut-lah yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Terlalu malu baginya mengakui bahwa tak hanya sekali ciuman panas itu terjadi, meski pada sahabatnya sendiri."Melihat reaksimu, jelas sekali kalian sering melakukannya," tebak Dewi sembari mengangguk-anggukan kepala paham.Dewi
- Aku akan masak spaghetti untuk makan malam. -Pesan itu datang saat Desta disibukkan dengan laporan salah satu anak perusahaan kakeknya yang berada di bawah kendali pria itu. Dari Andin. Siapa lagi? Dia sampai harus mengecek berkali-kali demi memastikan bahwa pengirimnya memang adalah Andin.Sebaris kalimat itu berhasil membuat senyum lebar terkembang di wajahnya. Sudah cukup lama dia tak bertukar pesan dengan Andin. Wanita itu jelas tak mau repot-repot melakukannya dan memilih asistennya untuk menggantikannya melakukan hal tersebut. Itu pun jarang karena, ya, memang tak ada yang benar-benar mereka bicarakan.Dan pesan itu bagai oase di padang pasir. Di tengah kecanggungan di antara mereka dan sikap dingin yang masih betah Andin perjuangkan, kehadiran pesan itu menjadi tanda bahwa istrinya mulai melunak. Baru sepuluh hari mereka menikah. Dan Andin telah menunjukkan perubahan itu. Sungguh mengejutkan.Cepat-cepat dirinya mengetikka