Mempersiapkan pernikahan bukanlah hal sulit bagi Andin, meski dia hanya punya waktu satu bulan melakukannya. Banyak wedding organizer profesional mampu mewujudkannya. Yang dia butuhkan cuma uang lebih untuk membayar jasa mereka yang harus bekerja di bawah deadline singkat dengan hasil maksimal. Akan ada banyak tamu penting hadir dalam pesta pernikahannya. Dan tentu, dia tak ingin momen itu menjadi ajang mempermalukan reputasi keluarganya dan Desta akibat salah pilih penyedia jasa wedding organizer.
Sebenarnya, Andin tak benar-benar memerlukan jasa mereka. Pesta pernikahan sudah pasti akan digelar di ballroom hotel milik keluarganya. Itu pun termasuk katering makanan selama pesta berlangsung. Untuk dekorasi suasana pesta, para pegawai hotelnya tak kalah apik dalam merancang semuanya. Lagi pula, hotelnya menawarkan paket layanan ini bagi mereka yang ingin mengadakan apa pun jenis pesta di sana. Katakan saja dan mereka akan siap mewujudkannya.
Meskipun demikian, tetap ada beberapa persiapan yang membutuhkan campur tangan langsung pihak mempelai. Misalnya, soal pemilihan menu makanan dan minuman yang disajikan selama pesta. Pihak keluarga pengantin harus memilih sendiri menunya, setelah sebelumnya mencoba rasanya melalui sampel yang diberikan. Ada pula daftar tamu undangan yang tak ada yang bisa membuatnya selain yang memiliki hajatan. Dan yang paling tak bisa diwakilkan adalah sesi fitting baju pengantin. Mau tak mau kedua calon pengantin harus hadir secara langsung.
Itulah yang Andin lakukan sekarang. Mengunjungi salah satu butik langganannya dan mencoba gaun pengantin yang sudah cukup lama dia pesan. Jauh sebelum pertemuan keluarga tempo hari, dia memang sudah mempersiapkan hal ini. Dirinya tahu cepat atau lambat perjodohan tetap terjadi dan pernikahan akan terlaksana sesuai rencana kakeknya. Maka, sudah dari jauh-jauh hari pula dia meminta sang pemiliki butik untuk membuatkan busana pernikahan untuknya. Dan juga Desta, tentunya.
Andin mematut dirinya lewat pantulan cermin besar di hadapannya. Ini merupakan baju kedua yang dia coba. Sebuah gaun panjang berhias renda bunga. Rencananya pakaian tersebut akan dia kenakan saat resepsi di malam hari. Sedangkan, kebaya putih menjadi pilihannya untuk prosesi akah nikah di siang harinya.
Sebuah helaan napas pelan dia keluarkan. Wajahnya berubah muram mengingat Desta dan masa depannya. Apa yang akan terjadi pada pernikahannya? Bagaimana hubungannya dengan Desta kelak? Akankah ikatan suci itu mampu bertahan lama? Andin sama sekali tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Kosong.
Tentu, dia mencintai Desta. Jika bukan karena rasa itu, dia bisa saja menolak keinginan kakeknya. Sang kakek mungkin mengabulkan permintaannya, meski peluang untuk ditolak tetap ada. Tetapi, bila dia teguh pada pendiriannya, Andin yakin kakeknya akan luluh juga. Tidak mungkin kakeknya menukar kebahagiaan cucunya begitu saja demi sebuah janji persahabatan yang belum menjamin kesejahteraan dirinya.
Namun, dia tidak pernah menolak perjodohan itu. Alih-alih marah mendengar masa depannya sudah ditentukan oleh sang kakek, Andin justru penasaran pada laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Lalu, dia mencari tahu. Dan rasa tertarik itu muncul saat melihatnya tengah sibuk dengan tumpukan laporan performa perusahaan yang berusaha dia pahami. Ketika itu, Desta baru bekerja di salah satu cabang perusahan keluarganya. Jadi, banyak hal yang harus dia pelajari.
Selanjutnya, dia mencari cara untuk mendekati Desta. Dia harus tahu sifat pria itu sebelum benar-benar memutuskan nasib perjodohannya. Jelas, dia tak mau tertipu pada pesona Desta yang dia lihat masih sebatas fisik. Dia ingin tahu perilaku Desta dalam kesehariannya, bagaimana dia memperlakukan orang lain, dan masih banyak lagi. Tapi di sisi lain, Andin tak mau membongkar identitasnya karena takut mendapat penolakan bahkan sebelum dia mencoba. Dan ide itu muncul. Berpura-pura men-survey konsumen kafe dengan dalih mencari tahu kepuasan konsumen. Andin pun bekerja sama dengan pemilik kafe agar tak terjadi salah paham nantinya.
Di pertemuan pertama, tidak ada yang bisa Andin dapatkan selain jawaban atas kuesioner dan pertanyaan palsunya. Pertemuan kedua, Andin hanya memberi senyum sekilas saat keduanya dipertemukan kembali. Ketiga kalinya masih sama. Kali ini dengan sedikit tambahan obrolan ringan yang masih berputar pada kegiatan fiktifnya. Barulah di pertemuan keempat, kesempatan itu muncul. Mungkin, karena seringnya mereka bertemu--Andin tahu betul jika Desta merupakan pengunjung tetap di sana yang hampir setiap hari meluangkan waktunya usai pulang kerja--kedekatan keduanya pun terjalin. Obrolan mereka mulai terdengar natural dan otomatis membuka ikatan pertemanan baru di antara dua orang itu.
Saat itulah, Andin mengutarakan keinginannya untuk membuka usaha kafe sendiri. Desta jelas mendukung ide tersebut dan mengatakan akan membantunya mengelola bisnis barunya itu. Namun, dia tahu Desta sangat sibuk dengan pekerjaan kantornya. "Kalau ingin membantu, sering-sering saja datang ke kafeku nanti," ujarnya saat itu. Dan ya, Desta setuju dan mengganti tempat bersantainya ke kafe yang didirikan Andin satu bulan kemudian. Karena itulah, hubungan mereka semakin dekat dan berujung pada kisah kasih romantis antara keduanya.
"Mbak Andin cantik sekali," puji Sissy, pemilik butik sekaligus perancang busana pengantin Andin yang sedari tadi menemaninya mencoba gaun-gaun yang sudah wanita itu pesan.
Andin menyunggingkan senyum di wajahnya. Ditatapnya wanita tiga puluh delapan tahun itu. Dia sungguh berterima kasih karena baju rancangan Sissy tidak pernah mengecewakannya. "Makasih, Mbak. Bajunya memang bagus. Makanya, yang pakai jadi terlihat cantik." Dia melontarkan candaannya.
Sissy tertawa kecil. Tangannya masih sibuk merapikan gaun yang dikenakan Andin dan memastikannya pas di tubuh wanita itu. "Bajunya bagus. Mbak Andin juga cantik. Jadi, semakin keluar aura cantiknya," balasnya dengan gurauan lain.
Andin tersenyum. Memang apa lagi yang diharapkan dari seseorang yang sudah merancang baju untuknya? Pastilah pujian yang didapat karena secara tidak langsung hal itu menunjukkan kinerjanya yang memuaskan.
"Sudah selesai." Sissy berkata sambil menatap puas pada Andin. Kemudian, disibakannya tirai ruang ganti untuk memperlihatkan kecantikan Andin pada orang-orang yang menunggunya di luar.
"Cantik, Mbak."
Seketika, Andin mendapat pujian dari Vira, wanita muda yang menjadi makeup artist-nya. Selain melakukan fitting gaun pengantin, dia juga menggunakan kesempatan ini untuk melakukan tes riasan makeup untuk acara pernikahannya. Lebih menghemat waktu dan tenaga. Setuju?
"Cantik, Mbak." Wida memberikan pujian yang sama pada Andin. Wanita itu adalah asisten pribadi Andin sejak empat tahun lalu dan setia mendampingi segala aktivitasnya.
Andin melemparkan senyum pada mereka berdua sebagai balasannya. Dia lalu mendudukkan diri di sofa besar yang juga tengah mereka duduki. "Untuk riasannya, bagusnya seperti apa, Mbak?" tanyanya pada Vira yang berada persis di sampingnya.
"Dibuat look romantis saja, Mbak. Pink sepertinya cocok dengan gaunnya. Nanti bisa dibuat lebih bold di lipstiknya supaya tetap terlihat glamour," jelas Vira panjang lebar.
Andin hanya bisa mengangguk mendengarnya. Dia cukup banyak tahu tentang makeup dan bagaimanya menggunakannya. Namun, di acara spesial seperti ini, dia harus menyerahkan keputusan atas riasan wajahnya pada seseorang yang memang profesional di bidangnya. Tentunya, dia tak mau coba-coba dan berakhir mengecewakan dan menjadi bahan pembicaraan tamu-tamunya nanti. "Oke. Dicoba dulu look-nya, Mbak."
Vira pun memulai pekerjaannya. Dia menghapus seluruh makeup di wajah Andin dan kembali meriasnya dari awal. Seperti yang sudah diutarakannya, dia menggunakan kombinasi pink di riasannya kali ini. Dimulai dari bagian mata dengan warna rosepink, blush on warna senada, dan pink lebih bold di bibir Andin.
Saat sedang asyik didandani oleh Vira, telinga Andin menangkap kedatangan seseorang dan suara yang amat sangat dikenalinya. Desta. Ya, pria itu baru saja datang, yang artinya Desta terlambat hampir tiga jam dari waktu yang dijanjikan. Keterlaluan. "Baru datang?" tanyanya sinis saat lelaki itu berada dalam jarak pandangnya.
Desta tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana dengan mata yang menatap lekat Andin dan penampilannya yang ... mempesona.
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan nyonya baru Adiyaksa," komentar seorang lelaki muda saat melihat kehadiran Andin di sisi Desta.Ya, ini merupakan acara makan malam yang Andin setujui siang tadi. Karena itulah, dia langsung mengenali sepasang pria dan wanita yang dihampirinya. Rizky dan Ulya. Mereka berdua masih tampak muda. Dia perkirakan, usianya tak terpaut sangat jauh darinya. Mungkin, sekitar lima sampai tujuh tahun.Itu artinya, mereka berusia di sekitar pertengahan tiga puluh."Makasih, Pak Rizky." Andin mengulas senyum lebarnya kepada lawan bicaranya. "Saya juga senang bisa bertemu Bapak dan istri Bapak. Makasih atas undangan makan malamnya," lanjutnya. Sopan santun dan basa-basi agak berlebihan, sepertinya, dibutuhkan dalam situasi ini. Semua itu demi menjaga keharmonisan relasi di antara mereka. Bukan hanya urusan pekerjaan, melainkan hubungan mereka selayaknya manusia biasa.Ah, terlalu bijaksana sekali kalimatnya. Intinya,
Apa yang kamu lakukan di sini?Rasa-rasanya, Andin ingin meneriakkan pertanyaan tersebut sekeras mungkin. Hal itu selaras dengan keterkejutan yang menderanya. Bagaimana tidak? Dia melihat wanita itu di sini, di hadapannya dengan koper berukuran sedang berada di sampingnya."Kenapa kamu di sini?"Untungnya, Desta telah menggantikannya mengujarkan kebingungannya. Oh, Andin yakin suaminya pun dilanda rasa yang sama. Apa yang dilakukan Raya di sini?"Saya menggantikan Pak Lukman untuk ikut Bapak ke Bali." Jawaban itu mengalun lancar dari bibir Raya seolah-olah memang seharusnya dirinya berada di sini, di terminal keberangkatan bandara Soekarno-Hatta di Kamis pagi yang cerah.Andin tak mampu berkata-kata. Raya benar-benar wanita yang tangguh. Kehadirannya mau tak mau telah mengusik rencana indah bulan madunya dengan Desta.Dia kini tak yakin apakah perjalanannya masih bisa disebut bulan madu dengan kemunculan Raya di antar
"Wow.""Apa yang wow?" Andin merespons cepat dengan bibir agak mengerucut. Dia sangat tahu kenapa reaksi itu muncul di layar laptopnya yang menampilkan wajah Dewi. Hanya saja, dia ingin berpura-pura tidak tahu demi menyelamatkan rasa malunya."Kamu." Singkat dan tegas Dewi menjawab. "Aku nggak menyangka kamu seberani itu," komentarnya di akhir kalimat. Semua perkataannya itu merujuk ke satu hal. Adegan di dalam kantor Desta. Itu setelah Andin dengan malu-malu menceritakannya. Sahabatnya benar-benar tak tertebak."Aku nggak melakukan kesalahan." Andin membalas masih dengan cara yang sama."Memang nggak. Nggak ada yang salah dengan bermesraan dengan suami sendiri." Dewi mempertegas pembahasan mereka. Dia tahu Andin sengaja untuk tak lagi menyebutkan kejadian tersebut. Namun, dia tidak akan membiarkannya karena yah, ini merupakan sesuatu yang langka terjadi. "Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana di Indonesia. Raya pasti syok melihatnya."
"Oh, maaf, Raya, kamu harus melihat kami begini."Anding sungguh-sungguh ingin menyembunyikan wajahnya saat ini juga. Dia jelas tertangkap basah dalam posisi yang memalukan!Meskipun semua adegan ini ada dalam rencana yang tersusun sesaat setelah Raya membalas sapaannya tadi, tetapi itu sama sekali tak menghilangkan rasa malunya. Walaupun orang yang melihatnya tak lain adalah musuh besarnya, tetap saja dia... malu."Kamu letakkan saja minumannya di meja," ujarnya lagi dengan usaha maksimal mempertahankan keyakinan dalam suaranya. Dia tidak boleh gentar maupun gugup. Dia harus bisa menegakkan egonya di puncak tertinggi. Sekali ini saja.Dari sudut matanya, dilihatnya sang sekretaris berjalan memasuki ruangan Desta. Langkahnya terkesan ragu, terkejut, dan diburu-buru. Sedangkan wajahnya memperlihatkan ekspresi serupa ditambah gurat ketidaksukaan di kerutan yang muncul di keningnya. Tentu saja. Wanita itu tak mampu berkutik di hadapan pemanda
Sesuai janji yang telah diucapkannya, siang ini Andin mengunjungi kantor Desta dengan menenteng satu tas cukup besar berisi makan siang mereka. Andin yang membuatnya, tentu saja. Masih dengan percobaan masakan Meksiko yang dia harap sesuai dengan selera lidah suaminya.Andin melangkahkan kakinya dengan bersemangat. Entah kenapa hatinya terasa begitu gembira. Otaknya tak berhenti memutar irama menyenangkan yang tak jarang berubah menjadi senandung kecil di bibirnya. Bahkan sampai sekarang pun, nada itu masih menari-nari di sana dan membuat kedua pipinya serasa naik menahan senyum."Selamat siang, Bu Andin," sapa salah satu petugas keamanan yang berjaga dekat dengan eskalator."Selamat siang," balas Andin dengan senyum ramah di wajahnya."Mau bertemu Pak Desta, ya, Bu?"Andin mengangguk. Pertanyaan tersebut mengingatkannya pada kunjungan pertamanya ke tempat ini. Mereka saja tahu dan bisa menebak tujuan kedatangannya, bagaimana mu
Pagi ini, Desta terbangun dalam keadaan yang tak biasa.Jangan senang dulu. Semua tidak terjadi seperti apa yang kalian harapkan. Tapi, kalian bolehlah sedikit bersukacita karena progres hubungan mereka semakin meningkat.Mata Desta terpuaskan oleh pemandangan yang tersaji indah di dalam kamarnya. Sebuah visi langka yang sebelumnya hanya menjadi keinginannya semata. Andin. Tentu saja. Wanita itulah yang membuat paginya terasa menyenangkan hingga satu senyum lebar tercetak di wajah sumringahnya.Oh, percintaan mereka tidak terjadi--jika itu yang kalian harapkan. Andin dan Desta hanya tidur bersama dan dalam satu ranjang yang sama. Hanya itu. Namun rupanya, kenyataan itu telah sanggup menghadirkan desiran hangat di dada Desta. Melihat wanitanya tertidur lelap di sampingnya sungguh membuat hatinya lega.Dia melirik sejenak jam dinding di kamarnya sebelum mulai merapatkan tubuhnya ke arah sang istri. Masih ada cukup waktu baginya untuk menikmati situasi ini.
Jari-jari Andin menari dengan indah di atas tuts keyboard, mencurahkan seluruh isi pikirannya menjadi deretan kata yang berbaris rapi di layar laptop di hadapannya. Sesekali dia menekan tombol backspace dan mengulang kembali kalimatnya. Tak jarang dia juga berhenti sebentar untuk mencari rangkaian kata yang pas untuk dimasukkan ke dalam tulisannya.Cukup lama Andin berkutat dengan laptopnya. Sudah lumayan lama dia tak menulis. Sudah lama pula dia tak menengok keadaan blognya. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Apakah semakin ramai pembaca, atau justru berubah sepi karena terlalu lama dibiarkan?Dia menuliskan resep masakan yang akan di masukkan ke dalam blognya. Agar lebih menarik, dia juga menambahkan cerita dibalik pembuatan makanan tersebut, serta cerita saat proses memasaknya. Tak kalah penting, ulasan dari sang suami pun dia tuliskan di sana supaya bumbu dramanya lebih terasa.Andin menutup lembar pekerjaannya ketika merasa cukup dan tak ada yang ingin dita
"Bagaimana?" Andin bertanya dengan mata yang menatap penuh harap Desta. Saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan menikmati makan malam di meja dapur minimalis mereka.Desta menutup mata, berusaha merasai makanan di dalam mulutnya, setelah sebelumnya tergiur akan bau yang menguar dari masakan yang tersaji di depannya. "Hmm," gumamnya seraya mengunyah pelan potongan daging berwarna gelap kaya akan rasa tersebut. "Kamu pernah gagal membuat masakan?" Dia bertanya usai menelan makanannya."Pernah, walaupun nggak sering," jawab Andin masih memperlihatkan tatapan yang sama saat memandang Desta. "Rasanya nggak sesuai seleramu, ya?" tanyanya ragu dan khawatir.Desta menoleh ke arah Andin dan memandang istrinya cukup lama. Lalu, sebuah senyum terukir di wajahnya. "Ini enak. Aku belum pernah memakan makanan ini. Apa namanya?" Rentetan kalimat itu dia ucapkan. Dia kembali menyendokkan suapan lain ke mulutnya.Helaan napas pelan keluar dari bibir Andin. Dia lega k
"Dia melakukan apa?" tanya Dewi tampak begitu terkejut."Datang ke rumahku tanpa diundang." Andin mengulang informasi yang baru saja disampaikannya.Seperti biasa, kegiatan rutin dalam persahabatan jarak jauh Andin dan Dewi adalah saling berhubungan melalui panggilan video setidaknya seminggu sekali. Harinya bebas. Tergantung waktu senggang yang dimiliki masing-masing dari mereka. Dan berhubung Andin merupakan seorang pekerja lepas, waktu luangnya pun tak terbatas. Ditambah Dewi yang sedang mengambil cuti panjangnya dalam rangka mempersiapkan kelahiran Blue, putri pertama mereka, waktu bercengkerama keduanya pun menjadi lebih sering. Praktis, di hari-hari kerja saat Andin sendirian di rumah, sama halnya dengan Dewi, mereka akan menyempatkan untuk bicara, entah itu lewat sambungan telepon atau bertatap muka menggunakan video call."Berani sekali dia!" seru Dewi kesal. Hanya mendengar cerita sahabatnya saja sudah membuatnya geram, bagaimana jika mengalaminya langs