Entah dilihat dari segi apanya hingga kedua orangtuanya itu sangat menyukai gadis kecil itu. Bahkan mereka tak henti membicarakan hal-hal baik tentang Kamea di depannya hingga ia merasa muak. Sesuai permintaan kedua orangtuanya, Alif pulang lebih cepat dari kantor karena gadis yang akan dijodohkan dengannya sedang dalam perjalanan menuju ke rumahnya. Tak ada pilihan lain selain menuruti semua keinginan papanya itu dari pada membangkang akan berakibat buruk bagi perusahaan yang baru setahun ini ia bangun.
“Pa, lihat siapa yang datang?”
Alif yang sedang berbicara dengan papanya itu sontak ikut menolehkan wajahnya ke arah wanita paruh baya yang sedang berjalan dengan menggandeng seorang gadis belia. Pendar iris mata cokelatnya tajam menatap wajah gadis belia itu yang belum ia ketahui namanya.
“Tunggu. Apa jangan-jangan gadis kecil itu yang akan dijodohkan denganku?” gumamnya pelan.
Alif kembali memerhatikan gadis belia yang saat ini sedang bercengkrama dengan kedua orangtuanya. “Masa iya aku akan menikahi gadis kecil sepertinya? Oh, yang benar saja Mama dan Papa ini,” guerutu Alif dalam hati.
Alif melihat gadis belia itu tersenyum padanya. Namun Dia enggan membalas senyum itu. Dia tidak ingin berpura-pura baik dengan orang asing. Apa lagi dengan gadis belia itu yang terlihat, entah … menyebalkan baginya.
Belum apa-apa saja, dia sudah berfikir bahwa belia itu akan sangat merepotkannya. Dan Alif tidak suka direpotkan siapapun.
“Alif, ini Kamea yang mama ceritain kemarin. Dan Kamea … ini Alif.”
Lagi-lagi Alif melihat gadis yang baru saja ia ketahui namanya “Kamea” itu tersenyum ramah kepadanya. Namun Alif berpura-pura tak melihatnya. Memang tak ada yang salah dengan senyum itu, tetapi tetap saja Alif tak suka.
“Hallo … mmp-“ gadis itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dia terlihat kebingungan. “Aku manggilnya apa, ya? Om, kakak, Mas, atau … apa?” tanyanya polos.
“Panggil om juga gakpapa. Terserah kamu enaknya manggil Alif apa,” sahut papanya ambil tertawa dan menatap ke arahnya dengan pendar mengejek.
Lelaki beralis tebal itu membulatkan matanya. Dia tak suka dengan becandaan papanya. Alif merasa belum setua itu hingga harus dipanggil “Om”. Dan gadis itu, dengan tanpa rasa bersalah menuruti perkataan papanya yang sedang becanda.
Gadis itu turut tertawa pelan. “Hallo, Om Alif. Aku Kamea Jovita Tasanee, senang bisa kenalan dan ketemu om yang ganteng ini,” ujarnya tanpa merasa berdosa.
“Oh Tuhan … gadis ini benar-benar menyebalkan!” gerutu Alif sambil mengeraskan rahangnya.
Apa yang akan dipikirkan orang-orang jika mereka tahu dia akan menikahi seorang gadis kecil. Mereka akan menganggapnya seperti pedofil yang menyukai anak kecil. Oh tidak!
Masih ada waktu. Alif akan memikirkan cara lain agar tidak melanjutkan perjodohan ini tetapi perusahaannya tetap dalam kondisi aman. Dia akan mencoba membujuk papanya, berharap lelaki paruh baya itu mau mendengarkan permohonan putranya sendiri.
“Ma, Pa. Alif cape, mau istirahat,” ucapnya setelah cukup lama hanya diam saja sambil memerhatikan Kamea yang sedang bercengkrama bersama orangtuanya.
“Eh, sekalian kamu antarkan Kamea ke kamar yang ada di sebelah kamarmu,” ucap mama Anita.
“Hah?”
Alif mendecakkan mulutnya. Iris mata tajam itu menoleh ke arah Kamea yang sedang tersenyum padanya. Sangat menyebalkan!Dia melenggang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang keluarga tanpa berbasa-basi. Baru beberapa jam saja gadis itu ada di rumahnya, tetapi sudah membuat Alif merasa direpotkan. Bagaimana jika harus selamanya hidup bersama gadis kecil itu?Alif memijit-mijit pangkal hidungnya, kepalanya mendadak berdenyut sakit.“Kamea, kamu istirahat dulu di kamarmu, ya. Kamarnya ada di sebelah kamar Alif. Kamu ikuti dia saja.”Alif mendengar mama Anita meminta Kamea mengikutinya. Ia tak peduli. Alif terus melanjutkan langkahnya tanpa merasa terganggu.“Om, tunggu.”Lelaki beralis tebal itu memejamkan mata. Kepalanya semakin terasa sakit saat mendengar suara Kamea memanggilnya seperti itu. Ia menghela napas kasar, kemudian mengerask
Satu bulan yang lalu, Kamea mendapatkan pesan terakhir dari ayahnya. Sebuah kabar yang … entah, kabar ini baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, kabar tersebut berhasil membuat pikirannya terganggu.“Mia. Ayah rasa, ayah sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Untuk itu …,”“Ayah bicara apa, sih? Udah ah, lebih baik ayah istirahat aja.” Kamea sengaja memotong perkataan yang hendak disampaikan oleh ayahnya.Gadis belia yang baru berusia sembilan belas tahun itu menatap sendu wajah sang ayah yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bahkan suara lelaki paruh baya itu sudah tidak terdengar jelas karena di mulutnya terpasang alat bantu pernapasan.Kamea menghela napas panjang. Melihat ayahnya sakit seperti ini, membuat jantungnya terasa sesak dan sakit. Ia tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini kecuali ayahnya setelah tiga tahun yang lalu ibu Kam
Kamea baru saja ke luar dari kamarnya. Karena terlalu lelah, ia bangun agak siang tak seperti biasanya. Saat ia baru saja menutup pintu kamarnya, bersamaan dengan Alif yang baru saja ke luar dari kamar di sebelah Kamea. “Eh. Selamat pagi om ganteng,” sapa Kamea sambil memerlihatkan senyum termanisnya. Alif mengerlingkan matanya jengah. Merasa risih dan geli mendengar Kamea masih memanggilnya “Om”. Lelaki berkulit putih itu tak berniat untuk membalas sapaan Kamea. Jangankan membalas, melirik saja enggan. Kamea sedikit berlari mengejar langkah Alif agar bisa turun bersama-sama. Dia tak peduli meski Alif seperti tak menganggapnya ada. “Om, mau pergi ke kantor, ya?” tanya Kamea lagi. Bibir tipis berwarna merah bagaikan buah ceri itu tak berhenti mengembangkan senyumnya. Tak peduli walau orang yang sedang coba ia ajak bicara mengabaikannya. Alif memper
“Papa gak mau dengar penolakan lagi. Menikah, atau papa ambil semua saham di perusahaan kamu dan terpaksa kamu akan papa coret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana penuh penekanan di setiap katanya. Mengingatkan kembali bahwa ancamannya tidak main-main.Setelah pagi tadi, pembicaraan soal pernikahan Alif dan Kamea berlanjut malam hari setelah dua lelaki berbeda usia itu pulang dari kantor masing-masing. Mereka berbicara di ruang kerja papa Pradana, jadi tidak akan ada yang mendengar kecuali mereka berdua.Alif mendecakkan mulutnya. Mendesah kasar, geram dengan ancaman sang papa. Namun ia tidak bisa bertindak apapun saat ini, karena sadar baik dirinya juga perusahaan yang baru satu tahun ia bengun itu masih membutuhkan bantuan dari papanya.“Semua keputusan ada ditanganmu. Menikah atau dicoret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana lagi.“Aaaaargh!&rdq
Kamea menundukan kepalanya saat Alif ikut bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Gadis itu masih mengingat kejadian semalam. Ia takut Alif akan mengadu kepada mama Anita dan papa Pradana, dan mereka akan memarahinya.“Pagi Ma, Pa,” sapanya.Alif melirik sekilas pada Kamea yang sedari tadi hanya menundukan kepalanya. Diam-diam belia itu mencuri-curi pandang, sekedar ingin memastikan bahwa Alif sudah tidak marah lagi.“Pagi,” sahut papa Pradana tak acuh.“Pagi, sayang.” Sahut mama Anita dengan senyum manisnya.Kamea kembali melirik Alif dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh lelaki itu. Belia itu menyeringai canggung saat mengetahui ternyata Alif sedang memerhatikannya juga sambil mengunyah makanannya.“Pagi, Om ganteng,” tuturnya dengan nada dibuat seramah mungkin.Alif tak menjawa
Hari yang ditunggu pun telah tiba. Mama Anita tak berhenti mengembangkan senyum manisnya saat melihat pantulan tubuh Kamea di depan cermin. Gadis belia itu sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih tulang yang pas di tubuh rampingnya.Wajah belianya semakin terlihat cantik hanya dengan memakai sedikit polesan makeup. Ia tak pernah menyangka, pernikahannya akan terjadi di usianya yang terbilang masih sangat muda. Demi sebuah amanat, Kamea mau menjalani semuanya. Tanpa paksaan.“Putri mama cantik banget,” tutur mama Anita saat Kamea membalikan tubuhnya berhadapan dengan mama Anita.Bibir tipis yang dipoles dengan lipstick berwarna merah muda itu tertarik mengukir sebuah senyum manis. Mama Anita memeluk tubuh Kamea dengan hati-hati agar tidak merusak riasan yang sudah dikenakan oleh gadis itu.“Selamat ya, sayang. Mama sangat senang kamu menjadi menantu di rumah ini. Mama sena
“Saya terima nikah dan kawinnya ananda Kamea Jovita Tasanee ….”Kamea tidak fokus mendengar kelanjutan kalimat yang ucapkan Alif dengan nada tegas dan serius di hadapan penghulu dan para saksi. Gadis itu terhanyut dalam pikirannya yang bercampur aduk antara bahagia dan juga sedih menjadi satu.Tetesan cairan bening merembes ke luar dari mata indahnya ketika semua orang menyerukan kata “Sah” secara bersamaan dan dilanjutkan dengan doa. Ada rasa yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang jelas Kamea sadar, saat ini ia sudah resmi menjadi istri dari seorang Reval Alif Pradana yang dikaguminya secara diam-diam.“Selamat sayang, akhirnya kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” ucap mama Anita sambil memeluk Kamea.“Sekarang, salaman dulu sama suamimu,” titahnya.Kamea menghela napas panjang, gugup. Ia menatap wajah Ali
Kamea menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak mau menyerah. "Ya udah, kalau aku gak boleh tidur di sini, aku mau ke luar," ucapnya."Keluarlah!" titah Alif datar.Gadis itu memiringkan bibirnya sambil mengangguk-anggukan kepala. "Aku sih gakpapa tidur di manapun. Tapi kalau sampai mama dan papa melihat aku tidur di luar, apa jadinya?" ucapnya sambil berpura-pura sedang berpikir."Hm, mereka pasti akan memarahi om Alif," ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan.Alif membulatkan matanya sempurna. Rahangnya mengeras, kedua tangan kekar itu mengepal kuat. Geram pada gadis belia itu yang sudah berani mengancamnya."Kau-"Belum saja Alif menyelesaikan ucapannya. Belia itu tersenyum penuh kemenangan, sepersekian detik kemudian ia berlari menuju ke arah tempat tidur. Tak memedulikan teriakan dan kekesalan suaminya itu.Kamea naik ke atas