Share

1 - Burung Merak

"Pemirsa. Tercatat sepekan terakhir di Kota Jakarta, rentetan kasus kriminalitas yang didominasi pencurian cukup meningkat. Mulai dari pencurian di sebuah mini market dan beberapa percobaan pembobolan toko sembako. Dengan rentetan kejadian ini. Kombespol Adam selaku Satreskrim Polri meminta warga Kota Jakarta untuk tetap waspada."

IDN News, 2014

¤¤¤

9:23 AM

SESEORANG berjaket hitam menyusup masuk ke dalam kelas yang kosong, setelah menutup pintu kembali. Langkahnya surut perlahan, menuju ke kursi nomor empat di dekat dinding, sebelah kiri. Pemilik kursi itu, ialah Arvin Pratama, sang ketua OSIS SMU Pelangi yang terkenal pintar dan juga tampan.

Orang itu mengambil tas ransel milik Arvin sebelum mendaratkan bokongnya di atas kursi. Lalu, meletakkan tas tersebut di atas meja, dan mulai membuka ritsleting utama untuk mencari sesuatu yang berharga. Tak butuh waktu lama, netranya langsung menemukan sebuah amplop berwarna cokelat dari dalam sana. Tanpa perlu membukanya pun, ia tahu jika di dalamnya terdapat sejumlah uang yang cukup banyak. Mengingat amplop tersebut begitu berat dan juga tebal. Ia ambil amplop tersebut, dan segera memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Setelah itu, kembali meletakkan tas tersebut ke tempat semula.

Orang dengan wajah yang tertutup masker, pun iris mata berwarna merah itu beranjak dari duduknya. Lalu, membalikkan tubuh, melangkahkan kedua kakinya ke seberang kursi. Bersamaan dengan itu, terlihat jelas pada punggung jaketnya sebuah gambar seekor serigala yang tengah melolong, dan sebuah tulisan 'Wolf' di bawahnya.

Dan, orang itu menyebut dirinya, ialah ... Wolf.

Wolf mengambil tas ransel bermerk berwarna pink di atas kursi, sebelum mendaratkan bokongnya di sana. Sang pemilik tas tersebut merupakan seorang cewek. Ia pun meletakkan benda itu di atas meja, dan membuka ristleting utama. Sayangnya, tak ada apapun di sana. Ia berdecak. Lalu, memilih membuka satu persatu ritsleting, untuk menemukan sesuatu yang berharga dari dalam sana. Cukup lama ia melakukannya, hingga tak jua menemukan apa yang dicarinya.

Wolf gelisah. Was-was. Ia menilik sekilas ke arah arloji di pergelangan tangan kanannya. Sial! Ia telah melewati batas waktu yang sudah ditargetkannya. Kini, samar-samar, ia mendengar suara derap langkah kaki seseorang yang berjalan mendekat ke arah koridor kelas. Mendadak, detak jantungnya berdebar tak keruan. Ya, Tuhan, ia harus cepat menemukan barang itu sekarang!

Wolf segera membuka kembali satu persatu ritsleting pada tas milik cewek itu. Kini, ia merogoh bagian dalamnya dengan tangan kanan. Tak lama, netranya berbinar senang ketika menemukan sebuah dompet berwarna pink di bagian tengah tas. Sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia ambil dompet itu, dan langsung membukanya. Ia tersenyum, saat mendapatkan beberapa lembar uang kertas ratusan ribu rupiah dan juga kartu di sana.

Suara derap langkah kaki itu kian mendekat. Wolf celingukan. Panik. Ia segera mengambil semua uang di dalam dompet, tanpa mengikut sertakan kartu-kartu tersebut. Kemudian, menyematkan secarik kertas ke dalam dompet. Setelah itu, menutup, dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kemudian, meletakkan tas tersebut ke tempat semula.

Wolf bangkit. Tanpa buang waktu,  langsung berlari ke arah pojok belakang kelas, di dekat dinding jendela. Tak lama kemudian, Kang Maman yang hanya menampakkan kepala saja di jendela, berjalan seraya bersiul di depan koridor kelas.

Wolf berjongkok dan menekuk kedua kaki. Terduduk di atas lantai, seraya menyandarkan punggung di dinding. Ia mengembuskan napas lega, pun mengurut dada untuk menetralisir degup jantungnya supaya kembali normal.

Kang Maman yang merupakan cleaning service sekolah, bersiul seraya menyapu depan koridor kelas. Merasa bosan, ia memilih bersenandung kecil menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Wolf milik Exo.

Geurae wolf naega wolf

Aauuuu ....

Ah saranghaeyo nan neukdaego neon minyeo

Kang Maman terus bersenandung, hingga tak menyadari, jika di balik tembok nan tebal tepat di sampingnya, sesosok Wolf asli sedang mendengarkan.

Wolf berdecak kecil. Ia menggeleng. Jika boleh jujur, ia jengah. Bagaimana bisa pria itu terus menyanyikan lirik lagu yang hanya itu-itu saja? Mungkinkah hanya lirik itu yang dihafal olehnya?

Wolf mendesah pelan. Ia bosan mendengar suara sumbang milik Kang Maman dari dalam sini. Oleh sebab itu, ia memilih untuk mengeluarkan sebuah kantung plastik berwarna hitam dari saku kiri jaketnya, seraya menunggu si cleaning service itu selesai menyapu. Lalu, memasukkan uang-uang hasil curiannya itu ke dalam kantung tersebut. Sebuah kantung yang sudah terlebih dahulu digambarnya sesosok kepala doraemon dengan cat berwarna putih. Ia membungkusnya dengan rapi. Setelah itu, memasukkannya kembali ke dalam saku jaket.

Wolf tercenung, ketika suara sumbang itu sudah tak terdengar lagi olehnya. Perlahan, ia mencoba untuk mendongakkan kepala – mengintip dari balik kaca jendela – melihat keadaan di luar kelas. Kosong.

Tanpa buang waktu lagi, Wolf bergegas melangkahkan kedua kakinya keluar kelas. Tujuannya saat ini ialah toilet yang berada di samping kelas 11 IPS dua. Ia hanya perlu berjalan berjongkok melewati kelas yang pintunya tertutup rapat, untuk bisa sampai ke sana.

Wolf berjongkok di depan tempat sampah, di samping wastafel, setelah sampai di toilet. Membuka sarung tangan dan maskernya. Lalu, membuangnya di tempat sampah itu, bersama dengan kantung plastik hitam yang berisi uang curiannya. Ia sengaja meletakkan semuanya itu di bagian bawah tong sampah. Supaya benda-benda tersebut bisa tertutup oleh sampah-sampah plastik bekas makanan, yang sebelumnya telah ditukarnya dengan kantung sampah  yang ada di luar. Kantung sampah yang memiliki lebih banyak sampah dibanding dengan kantung yang ada di dalam toilet ini. Tak lupa, ia juga telah menandai kantung yang ditukarnya itu dengan sebuah gambar lingkaran supaya tak tertukar dengan kantung sampah lain nantinya.

Kini, Wolf berjalan ke arah bilik toilet yang bertuliskan ‘RUSAK’ pada depan pintu, seraya merogoh saku seragamnya untuk mengambil kunci. Bilik itu selalu terkunci rapat tanpa ada yang pernah memasukinya. Ia membuka bilik tersebut dan masuk ke dalamnya.

Wolf membuka jaket hitam, dan melipatnya dengan rapi. Kemudian, memasukkan jaket itu ke dalam ember besar berlubang yang berwarna hitam. Ia juga mengambil ember kecil di sampingnya dan menindih jaket itu.

Langkah kaki Wolf surut perlahan ke arah wastafel, setelah mengunci bilik itu kembali. Ia melepas lensa kontak dan membuangnya di wastafel. Lalu, membuka kran dan mencuci kedua tangannya di sana.

Tak lama kemudian, Kang Maman masuk dan mengambil plastik sampah yang ada di samping wastafel. Untuk kemudian dibuangnya ke pembuangan sampah yang ada di belakang sekolah. Sampah-sampah itu akan diangkut oleh truk sampah pada keesokan harinya. Dan sudah pasti, sebelum itu terjadi, Wolf akan lebih dulu mengambilnya, sepulang sekolah nanti.

“Kang, hati-hati ya bawanya.” Wolf tersenyum sembari menunjuk plastik sampah yang telah digenggam oleh Kang Maman.

“Ah, cuma sampah doang isinya, Kak. Kalo isinya uang, baru deh saya hati-hati bawanya. Hehe.”

Wolf terkekeh. Ia kembali mencuci tangannya. “Oh ya, ini kuncinya yang kemarin saya pinjam.” Wolf mengelap kedua tangannya dengan tisu yang ada di depan cermin. Kemudian, merogoh saku seragamnya, dan mengambil kunci serta memberikannya kepada kang Maman. “Terimakasih ya, Kang,” tambahnya kemudian.

“Iya sama-sama, Kak. Lain kali kalau bercanda jangan lempar-lempar HP, nanti bisa masuk lagi ke atas sana.” Kang Maman memberikan nasihat sambil menunjuk ke arah bilik toilet yang tak beratap.

Wolf hanya mengangguk, kemudian pamit kepada Kang Maman untuk kembali ke kelasnya. Di sepanjang koridor, Wolf tersenyum sambil memegangi duplikat kunci toilet yang telah berhasil dibuatnya kemarin malam.

••••

"AAAARRGGHH!"

Pekik suara teriakan Lisa melengking di ruang kelas 11 IPS satu. Membuat para penghuni kelas serentak menoleh ke arahnya.

Pak Sany yang sedang mengajar, terpaksa harus menghentikan kegiatan belajar mengajarnya. Lalu, menghampiri meja cewek itu yang  sudah tampak berantakan oleh isi dari dalam tasnya. "Kamu kenapa, Lis?" tanyanya saat berada di samping meja cewek itu.

Kedua bola manik mata Lisa bergetar, menahan gejolak deraian air mata supaya tak tumpah. "U-uang saya sebanyak satu juta hilang, Pak," akunya.

Pak Sany terperangah. Pun, para penghuni kelas. Mereka tak percaya dengan apa yang tengah terjadi saat ini di kelasnya. Kendati begitu, para penghuni kelas merasa iba saat mendengar pengakuan dari cewek yang selalu berpenampilan glamour itu. Si cewek yang selalu mengenakan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Namun, tak sedikit dari para siswa merasa bersyukur atas apa yang telah menimpa Lisa. Pasalnya, mereka tak suka dengan sifat angkuh dan arogan yang dimiliki cewek itu.

Di sisi lain, Arvin panik. Ia juga menumpahkan semua isi di dalam tasnya ke atas meja. Merasa ada sesuatu yang hilang, ia mengangkat tangan kanannya. “Pak, uang saya juga hilang.”

Kini, Pak Sany membeliak sekaligus panik. Bagaimana bisa dalam sehari ada dua siswanya yang kehilangan uangnya? “Berapa uang kamu yang hilang, Vin?”

“Dua juta, Pak.”

Semua mata kini tertuju kepada sosok cowok yang terkenal pintar dengan senyumnya yang menawan. Sosok itu saat ini tampak termenung di atas kursinya. Semua siswa pun mulai bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah mencuri uang keduanya di saat semua penghuni kelas memiliki jadwal di Laboratorium Komputer?

“Arvin, kenapa kamu membawa uang sebanyak itu?” tanya pak Sany yang mulai geram dengan tingkah siswa-siswinya itu. Bukankah sebagai seorang siswa tak seharusnya mereka membawa uang sebanyak itu ke sekolah?

“Uang itu, mau saya berikan kepada anak yatim, Pak. Niatnya, setelah pulang sekolah saya mau ke Rumah Yatim,” terang Arvin jujur.

Belum reda rasa bingung serta kepanikan yang melanda seisi kelas,  kini ditambah dengan Lisa yang menemukan secarik kertas di dalam dompetnya.

“Burung merak betina yang sangat cantik. Bulu ekornya yang indah, membuat Wolf tak kuasa menahan diri untuk memilikinya. Wolf ambil beberapa helai bulu ekornya, untuk diberikan kepada para kancil kecil. Ingat! Jika kau terus mengembangkan ekormu, Wolf akan terus datang kepadamu. Untuk merontokan satu persatu bulumu.”

Wolf

Pada akhirnya, Pak Sany selaku wali kelas 11 IPS satu, melakukan sidak dadakan kepada seluruh penghuni sekolah. Semua siswa maupun guru dilakukan pemeriksaan. Tak terkecuali, orang-orang kantin. Namun, sayangnya mereka tak bisa menemukan keberadaan uang tersebut. Raib, seperti hilang tertelan bumi. Hal itu kini menjadi sebuah misteri di SMU Pelangi. Sebuah misteri akan keberadaan seseorang yang mengaku dirinya adalah Wolf.

Sayangnya, ada satu tempat yang luput dari pemeriksaan, yaitu tempat pembuangan sampah di belakang sekolah.

••••

Arvin menatap secarik kertas yang berisi sebuah pesan untuk Lisa. Kertas itu saat ini sudah berada di tangannya, karena lantaran pak Gayandra – sang kepala sekolah – memilih untuk menutup mata akan kasus ini. Sebuah kasus yang menurut pria itu tak penting, sehingga memilih untu melimpahkan semuanya kepada para OSIS.

“Ada yang aneh. Kenapa cuma Lisa yang dapat surat ini? Sedangkan gue, nggak dapat?” Arvin yang masih mencari makna apa yang ingin disampaikan oleh si pelaku lewat surat itu, mulai angkat suara.

Saat ini, Arvin yang ditemani oleh kedua sahabatnya, Always dan Happy berada di kantin. Menunggu pesanan mereka datang, seraya membahas kasus yang telah menimpanya.

“Gue juga berpikir begitu. Mungkin saja si pelaku lupa atau mungkin saja dia suka sama lo. Jadi, dia nggak perlu ngasih surat yang berisi pesan buat lo.” Always, cowok hitam manis yang selalu disapa Awes, mulai berhipotesa sambil memakan sosis bakar kesukaannya.

Arvin menautkan kedua alisnya. “Jadi, menurut lo pelakunya itu cewek?”

May be. Tapi, menurut gue cowok pun bisa suka sama lo, dalam arti dia suka sama kepribadian lo, atau suka sama sifat lo. Salah satunya gue, yang suka sama jiwa sosial lo.”

Arvin melenggut. Menerima asumsi dari Awes. “Bisa jadi. Tapi, selain lo, siapa yang suka sama gue?”

Kini, Awes memilih mengedikkan bahu, serta menggeleng. Sedangkan Happy, si cewek berparas cantik itu memilih bergeming dan mendengarkan saja tanpa ikut berasumsi, seraya menikmati sosis bakarnya.

“Yang pasti, kalian harus bantu gue buat pecahin kasus ini, dan kita juga harus bisa ungkap siapa sebenarnya Wolf.” Arvin memiliki tanggung jawab besar akan kasus ini, meminta penuh harap kepada kedua sahabatnya.

Happy yang duduk di depan cowok itu, menepuk pelan bahu Arvin. “Kamu tenang saja, kita berdua bakalan bantu kamu, kok.”

“Ini Pop Icenya Mas ganteng dan Mbak cantik.” Mbak Wik si penjual Pop Ice datang. Mengantarkan pesanan ketiganya, sekaligus membuyarkan obrolan penting mereka. Ia juga memberikan satu persatu pop icenya di atas meja, sebelum memilih angkat kaki dari sini.

“Tunggu, Mbak Wik Wik!” Awes menghentikan langkah Mbak Wik, saat wanita yang berusia 35 tahun itu akan meninggalkan tempat mereka.

“Cukup Mbak Wik saja Mas panggilnya, jangan double apalagi triple.”

Awes dan Arvin tak kuasa menahan gelak tawanya. Mereka berdua memang hobi sekali menjahili Mbak Wik si janda cantik beranak satu tersebut. Sedangkan Happy terkekeh. Sudah terbiasa dengan candaan serta gombalan kedua cowok itu terhadap Mbak Wik.

“Tadi, sekitar jam sembilan ada orang yang mencurigakan nggak Mbak lewat di kantin ini?” tanya Awes. Berharap wanita itu melihat, atau bahkan mengenalinya.

Mbak Wik tercenung. Ia mengangkat kepalanya ke atas seraya berpikir. Namun, detik setelahnya menggeleng. "Nggak tuh, Mas," beritahunya. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan mereka bertiga dengan raut wajah yang tampak kecewa.

Awes yang menjabat sebagai ketua keamanan OSIS, termangu. Saat ini, benaknya telah menerawang jauh, entah ke mana. Hingga pada akhirnya, ia menjentikkan jarinya. Sebuah ide yang sangat brilliant baru saja terlintas di dalam kepalanya. “Gimana kalo kita bikin permohonan buat pasang CCTV?”

"Ide bagus tuh, Wes," sahut Happy setuju. Pandangannya kini beralih ke arah Arvin. Cowok itu juga melakukan hal yang sama. Hingga keduanya saling bersitatap. Lalu, tersenyum.

Akhirnya, Arvin dan Happy melenggut, menyetujui ide Awes. Harapan mereka saat ini, ialah supaya sang kepala sekolah menyetujuinya.

Namun, belum juga hilang harapan dan angan di dalam benak mereka. Tiba-tiba saja, suara bising gebrakan meja, membuat jantung mereka terasa ingin lepas dari tempatnya.

Brraaaakkk!

“Minggir!”

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status