"Aku hanya mengambil miliknya yang berharga."
-Wolf-
••••
“JANGAN LARI! BERHENTI LO!” pekik Always kencang, bersamaan dengan langkah yang kian cepat, untuk terus mengejar orang berjaket hitam di depannya.
“Sial!” Orang berjaket hitam itu langsung menambah kecepatan pada larinya, sehingga membuat deru napasnya kian memburu. Harapannya saat ini, ialah agar rapat orang tua murid segera selesai. Namun sialnya, rapat tersebut masih akan berakhir sekitar 15 menit lagi.
Always mengepalkan kedua tangannya, ketika melihat orang itu menuruni anak-anak tangga. Segera, ia menambah kecepatan pada larinya, dan turut menuruni anak-anak tangga dengan cepat, hingga tak sadar jika telah melangkahi gundakan dua anak tangga sekaligus.
Orang itu merasa kebingungan saat menemukan persimpangan jalan di koridor depannya. Ke manakah arah yang harus ia tempuh sekarang? Ia celingukan. Namun, detik setelahnya, segera berbelok ke arah kiri, setelah sampai di lantai dasar. Ia kembali menoleh sekilas ke belakang, dan mengumpat kesal saat tahu Always masih mengejarnya.
Namun, tak lama kemudian, orang dengan iris mata berwarna merah itu menyeringai lebar. Dewi fortuna masih berpihak kepadanya. Kini, kedua netranya mendapati kerumunan para orang tua murid yang baru saja keluar dari ruang OSIS. Tanpa buang waktu, ia mempercepat larinya dan langsung masuk ke dalam kerumunan para ibu-ibu di hadapannya.
“Kalau jalan pakai mata, dong!”
Orang itu tak mengindahkan suara makian dari seorang Ibu yang tak sengaja ditabraknya. Fokusnya, kini hanya satu, yaitu menuju ke arah kantin, dan mencari tempat untuk bersembunyi. Hingga tak sadar, dirinya telah menjatuhkan secarik kertas dari dalam saku jaket, ketika mengeluarkan tangan untuk membenarkan letak posisi hoodie.
Always terpegun, ketika tubuhnya langsung masuk ke dalam kerumunan para ibu-ibu saat baru sampai di lantai dasar. Ia langsung berbelok ke arah kiri dan terus berlari. Sayangnya, bahu tingginya tak sengaja menyenggol konde palsu seorang ibu, hingga membuat benda tersebut jatuh ke atas lantai. Sudah pasti, membuat si empu pemilik benda tersebut marah dan menarik kerah tengkuk seragam Always.
Always tergemap. Seketika, ia terlonjak ke belakang saat seorang Ibu menarik tengkuk seragamnya. Ia pun memilih untuk menghentikan larinya dan menoleh ke belakang.
"Kalau jalan hati-hati dong, Dek! Konde saya, kan, jadi jatuh," tutur si Ibu geram.
Always terbelakak. Tanpa disangka si Ibu malah memukul bahunya bertubu-tubi. "Aduuuh ...!Ampun, Bu! Ampun! Saya nggak sengaja." Dengan cepat, ia mengangkat kedua tangannya ke samping untuk melindungi tubuh dari pukulan si Ibu.
"Ta-tapi, maaf, Bu. Saya buru-buru." Tanpa buang waktu lagi, Always kembali memutar tubuhnya, dan berlari. Ia tak ingin kehilangan jejak orang berjaket hitam itu. Walau sejujurnya, ada rasa tak enak hati ketika menoleh ke belakang, dan mendapati si Ibu yang masih terus mengumpati dirinya, bahkan memungut kondenya sendiri. Ya Tuhan, semoga saja ia tak tercatat sebagai anak yang durhaka.
Pada akhirnya, Always berhasil terlepas dari para kerumunan ibu-ibu. Ia pun menundukkan tubuh, menopang lutut dengan kedua tangan, untuk mengatur deru napas yang memburu. “Sial! Gue kehilangan jejak!” ucapnya geram saat orang berjaket hitam itu sudah tak terlihat di hadapannya.
Always bangkit. Dan, memilih untuk kembali berlari menuju ke kantin. Namun, tak sengaja netranya menemukan secarik kertas yang terkapar di atas lantai. Seketika, larinya terhenti. Lalu, membungkuk untuk memungut kertas tersebut.
Always penasaran. Ia buka kertas itu, untuk melihat isinya. Detik berikutnya, netranya membeliak ketika membaca sebuah tulisan.
MY PETS
Dua Tahun Kemudian“Hai, mata raishuu.” (Ya, sampai bertemu minggu depan)“Hai, arigatou gozaimasu,” (Ya, terimakasih banyak) sahut seluruh mahasiswa kepada sensei yang telah memberikan ilmunya kepada mereka. Setelah itu, para mahasiswa pun segera merapikan buku-buku mereka, dan memasukkannya ke dalam tas.Begitu pula Arvin, cowok itu memasukkan semua buku-buku yang bertuliskan huruf campuran antara Kanji dan Hiragana pada sampul, yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Setelah itu, segera beranjak dari duduknya dan melangkahkan kedua kakinya keluar kelas.Setengah berlari, Arvin menyusuri koridor Kampus yang masih ramai oleh para Mahasiswanya. Sekilas, ia menilik ke arah arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam untuk b
DI TERAS sebuah rumah mewah bak istana. Berjejer tiga buah motor sport ninja dengan bermacam-macam warna, seperti: merah, hitam dan biru. Pun, sebuah nomor plat unik tertempel pada motor ninja berwarna biru. Sebuah plat nomor yang bertuliskan B 390 LU.Beralih dari sana, di sebuah kamar nan luas. Puluhan miniatur sepeda motor balap tampak tersimpan rapi pada dua rak lemari dengan kaca yang melapisi. Pun, sebuah jaket berwarna hitam dengan lambang Wolf tergantung pada lemari pakaian yang terletak di sebelah kanannya. Sedangkan, sang pemilik benda-benda tersebut terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet rasfur berbulu tebal, sembari menonton tayangan berita di TV.“Sungguh, sekarang saya menyesal. Akibat perbuatan saya pula, kini karir Mamah berada
“Tuhan tengah menghukummu dengan kacaunya perasaan. Tuhan juga tengah menghukummu, dengan berbagai cobaan. Dan, mungkin ini adalah hukuman yang pantas untukmu jadikan perubahan.”¤¤¤¤
RAJA mematut diri di depan cermin. Menyisir rambut hitam pekat, lalu memberikannya sedikit pomade. Ia tersenyum, melihat tatanan rambutnya yang saat ini telah tampak rapi. Kemudian, ia langsung mengambil jaket berwarna biru bertuliskan ‘Ojolali’ yang disangkutkan pada dinding, dan juga tas selempang hitam kecil. Setelah itu, melangkahkan kedua kakinya keluar kamar. Untuk mengawali minggu pagi, dengan mengais rezeki.“Ja! Jangan lupa matikan TV kalau mau berangkat! Mamah masih di dapur. Kemarin, mamah jenguk papah di penjara. Papah minta dimasakkan ayam goreng,” beritahu Renata dengan setengah berteriak, seraya menggoreng ayam yang telah dibumbuinya.Raja menutup pintu kamarnya. Ia menggeleng, ketika melihat TV di ruang tamu yang masih menyala tanpa ada seseorang yang menontonnya. Pemborosan. Itulah yang terpikirkan di benaknya saat ini. Ditambah lagi, acara tentang gosip selebriti yang sedang tayang, membuatnya berdecak keci
Satu bulan sebelum penangkapanDi depan meja belajarnya, jari-jemari Arvin tengah menari-nari indah di atas secarik kertas. Sebuah pesan akan rahasia besar yang selama ini ditutupi, akhirnya akan disampaikannya melalui surat yang akan diberikan oleh sang Burung Surga.Hai, apa kabarnya Burung Surgaku?Burung surga atau burung cendrawasih adalah julukan yang pantas untuk
HARI ini mendung, sedikit berangin. Awes terduduk di kursi terdepan yang merupakan milik Yoga. Satu-satunya kursi yang sudah lama tak berpenghuni, semenjak ditinggal pergi oleh sang pemiliknya.Awes menopang kepala dengan tangan kiri, seraya menatap gumpalan awan berwarna kelabu. Tak ada rasa sedih, amarah, maupun sebuah letupan emosi. Hanya rasa hampa yang saat ini menemani. Ia merenung dan mengingat kembali kebersamaan dengan kedua sahabatnya. Hingga, tak sadar jika sebuah senyum telah terbit di sudut bibir, ketika mengingat kenangan indah itu.Berbeda halnya dengan Happy yang berada di seberang kiri Awes, cewek itu tampak begitu gusar. Hampir beberapa menit ia menunggu panggilannya terangkat. Sayangnya, sama sekali tak ada tanda suara dari Arvin yang mengangkat panggilannya. Apakah sesuatu telah terjadi kepada Arvin, hingga cowok itu tak mengangkat panggilan darinya? Mendadak, Happy merasa takut sendiri.P
Lima bulan sebelumnyaDi dalam kamar nun luas, dengan dominasi cat berwarna putih, Wolf duduk di depan meja belajar, seraya memainkan sebuah bolpen yang terselip di antara jari-jemarinya. Ia tengah menatap selembar kertas yang berisikan tiga nama korban, yang sengaja diberi nama ‘My Pets’. Pasalnya, memang seluruh korbannya adalah seorang manusia yang memiliki sifat yang sama seperti binatang, yang saat ini telah dianggapnya sebagai hewan peliharaan.Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka tak sedikit pun mau saling menghargai atau berbagi dengan satu sama lainnya. Bukankah, binatang saja yang tak memiliki akal dan pikiran, mau saling berbagi? Lantas, kenapa mereka para manusia yang dikarunia akal sehat malah tak memiliki hati nurani?Wolf tersenyum. Sudah ada dua nama yang ditandai dengan ceklis di samping nama para korbannya. “Arvin? Kenapa aku bisa lupa untuk memberikanmu sebuah julukan dan pesan? K
“Orang munafik selalu ingin tampak tak bersalah, selalu suka memutar balikkan keadaan, selalu ingin tampak seolah-olah bermaksud baik. Dan tak pernah ingin menghadapinya ketika berurusan dengan s
“Kamu Always, kan?”Awes menoleh ke arah tangga yang ada di samping kanan, ketika kedua telinganya mendengar suara seorang wanita yang memanggil namanya. Kini, netranya mendapati wanita itu yang sedang menuruni anak-anak tangga dengan cukup hati-hati.Wanita itu tersenyum, dan berjalan ke arah Awes saat telah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Sedangkan Awes, mengerutkan keningnya samar. Ia merasa pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Tapi … siapa dan di mana?Kini, Awes berusaha untuk mengingat, hingga benaknya berhasil menembus batas waktu beberapa bulan yang lalu, di mana dirinya tengah menjemput salah seorang customer-nya yang sedang hamil.“Dengan Mbak Shasa?” tanya Awes kepada seorang wanita yang sedang hamil di depannya.