Share

5 - Sang Bangau

07.45 AM

PAGI ini. Matahari tampak malu dengan bersembunyi di balik gumpalan awan nan kelabu. Angin berembus lembut, menerpa siapa saja tanpa permisi. Kendati begitu, hawa panas tetap saja terasa membakar diri pada setiap siswa yang sedang berlari.

Itulah yang dilakukan oleh para penghuni kelas 11 IPA satu yang memiliki jadwal mata pelajaran Olahraga. Mereka berlari mengelilingi lapangan Sekolah sebanyak lima putaran. Membuat para siswi merasa kelelahan. Padahal, mereka hanya baru berlari sebanyak dua putaran saja.

Berbeda halnya dengan Awes. Cowok itu telah berhasil menyelesaikan empat putaran larinya, dengan semangat membara. Namun, mengernyit bingung saat tak menemukan sosok Happy di belakangnya. Ke mana perginya cewek itu? Pasalnya, cewek berparas cantik itu masih terlihat berlari pada putaran ke tiganya. Tapi, saat ini Happy menghilang. Entah ke mana.

Awes berniat untuk segera menyelesaikan larinya, untuk kemudian mencari Happy. Ia menoleh ke samping lapangan. Menggerutu kesal saat menemukan Pak Ronal selaku guru Olahraganya, tengah mengawasi para siswa di sana. Benaknya kini mulai mencari cara untuk bisa melarikan diri dari tempat ini.

Tak lama setelahnya, Awes menyeringai lebar saat melihat Pak Ronal tampak begitu gusar seraya mengusap-usap perut buncitnya di seberang lapangan. Awes yakin, jika pria berbadan gembul itu merasakan mulas pada perutnya dan akan segera melakukan panggilan alamnya di toilet.

 

“Cepetan dong, pergi!” gerutu Awes yang hanya terlihat mendremilkan sesuatu di sudut bibir. Pun, terus berlari untuk menyelesaikan putaran terakhirnya.

Binggo! Awes terkekeh geli. Tepat seperti dugaan sebelumnya. Jika saat ini pria itu berlari terbirit-birit, meninggalkan lapangan untuk menuju ke arah toilet yang berada di samping tangga, di bagian tengah bangunan. Tanpa buang waktu, Awes langsung berlari meninggalkan lapangan.

Kantin merupakan tujuannya saat ini. Karena, kantin merupakan satu-satunya tempat pelarian para siswa untuk membolos pada mata pelajaran yang mereka tak suka. Awes berlari menyusuri koridor yang cukup panjang menuju ke tempat itu. Namun, netranya tak menemukan siapa pun, saat sampai di ujung koridor.

Awes menundukkan tubuh dengan menopang kedua tangan pada lututnya. Mengatur deru napasnya yang memburu akibat lelah berlari. Pandangannya masih menjelajah di sekitar arena kantin. Nihil. Lalu, ke mana lagi ia harus mencari?

Awes bangkit. Ruang kelas. Itulah yang terpikirkan di dalam benaknya saat ini. Ia memilih memutar tubuh dan berlari kembali menyusuri koridor untuk menuju ke tangga utama di bagian tengah bangunan Sekolah. Namun, sebelum itu netranya melihat padatnya rapat orang tua murid dari muka pintu ruang OSIS yang terbuka lebar.

••••

07.56 AM

Wolf dengan menggunakan jaket hitam ber-hoodie andalannya, menyeringai ketika menemukan sebuah dompet berwarna gold di dalam tas ransel. Dalam sekejap, benda tersebut telah berpindah ke genggamannya.

Wolf membuka dompet tersebut, dan menemukan uang ratusan ribu rupiah dari dalam sana. Ia ambil uang itu, dan menyematkan secarik kertas di dalamnya. Setelah itu, menutup dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Dan, tak lupa meletakkan tas itu pada tempatnya.

Tanpa buang waktu, Wolf bangkit. Lalu, melangkahkan kedua kakinya ke arah pintu. Mengintip, sebelum mulai keluar dari sana. Ia tersenyum kecil saat netranya tak menemukan siapa pun di depan koridor. Ia langsung membuka pintu, dan menutupnya kembali. Lalu, berjalan berjongkok ke arah toilet dengan melewati dua ruangan kelas 11 IPS yang pintunya tertutup rapat. Hal itu sudah menjadi aturan dari pihak sekolah untuk menutup pintu kelas di saat jam mata pelajaran sedang berlangsung. Membuat Wolf dapat dengan mudah melancarkan aksinya.

Wolf bangkit saat telah melewati dua ruangan kelas tersebut. Ia memilih berjalan santai ke arah toilet yang berada di samping tangga utama dengan menundukkan kepala.

Wolf mengintip dari balik pintu toilet melalui lubang kunci, sebelum mulai masuk ke dalam sana. Tak ada siapa pun. Ia menyeringai, dan mulai menggerakkan tuas pintunya.

“HEH! SIAPA LO?”

Wolf tergemap. Seketika, ia menghentikan pergerakan tangannya untuk membuka pintu toilet. Ia menoleh ke samping kanan, dan membeliak ketika menemukan Awes di sana. "Sial! Kenapa dia harus naik ke atas?” gumamnya kesal.

Wolf panik. Kalang kabut. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pasalnya, kehadiran cowok itu yang tiba-tiba, sama sekali tak ada di dalam list rencananya. Sama halnya jika ada siswa yang tiba-tiba saja ingin pergi ke toilet atau keluar kelas saat dirinya tengah beraksi. Hal-hal tak terduga seperti itu tak bisa ia masukkan ke dalam list rencananya, walaupun sudah mengamati situasi dan kondisi ribuan kali. Mungkin, jika seorang cenayang, ia rela menghabiskan harinya untuk membaca pikiran semua orang supaya tahu kapan mereka akan ke toilet ataupun keluar kelas untuk dimasukkan ke dalam list. Namun, itu hanya imajinasi yang tak akan mungkin terjadi.

Awes segera melangkahkan kedua kakinya, menapaki anak-anak tangga lebih cepat, ketika netranya menemukan seseorang berjaket hitam yang tampak mencurigakan.

Melihat hal itu, Wolf segera berlari dengan mengambil posisi tangga yang berada di sayap kiri. Aksi saling kejar mengejar pun tak dapat dihindari. Entah kenapa, ia merasa bahwa koridor yang biasa dilalui terasa begitu panjang.

“JANGAN LARI! BERHENTI LO!” pekik Awes kencang, bersamaan dengan langkah yang kian cepat, untuk terus mengejar Wolf yang berada di depan.

Wolf mendengkus kesal, ketika melihat sekilas ke belakang dan mengetahui jika jaraknya dengan Awes sudah cukup dekat.

“Sial!” Wolf langsung menambah kecepatan pada larinya, sehingga membuat deru napasnya kian memburu. Harapannya saat ini, ialah agar rapat orang tua murid segera selesai. Namun sialnya, rapat tersebut masih akan berakhir sekitar 15 menit lagi.

Awes mengepalkan kedua tangannya, ketika melihat orang itu menuruni anak-anak tangga. Segera, ia mempercepat larinya, dan turut menuruni anak-anak tangga dengan cepat, hingga tak sadar jika telah melangkahi gundakan dua anak tangga sekaligus.

Wolf merasa kebingungan saat menemukan persimpangan koridor di depannya. Ia celingukan. Ke manakah arah yang harus ia tempuh sekarang? Namun, detik setelahnya, segera berbelok ke arah kiri, setelah sampai di lantai dasar. Ia kembali menoleh sekilas ke belakang, dan mengumpat kesal saat tahu cowok itu masih mengejarnya.

Tak lama kemudian, Wolf menyeringai lebar. Dewi fortuna masih berpihak kepadanya. Kini, kedua netranya mendapati kerumunan para orang tua murid yang baru saja keluar dari ruang OSIS. Tanpa buang waktu, ia mempercepat larinya dan langsung masuk ke dalam kerumunan para ibu-ibu di hadapannya.

Kalau jalan pakai mata, dong!”

Ia pun tak mengindahkan suara makian dari seorang Ibu yang tak sengaja ditabraknya. Fokusnya, kini hanya satu, yaitu menuju ke arah kantin, dan mencari tempat untuk bersembunyi. Hingga tak sadar, dirinya telah menjatuhkan secarik kertas dari dalam saku jaket, ketika mengeluarkan tangan untuk membenarkan letak posisi hoodie.

Awes terpegun, ketika tubuhnya langsung masuk ke dalam kerumunan para ibu-ibu saat baru sampai di lantai dasar. Ia langsung berbelok ke arah kiri dan terus berlari. Sayangnya, bahu tingginya tak sengaja menyenggol konde palsu seorang Ibu, hingga membuat benda tersebut jatuh ke atas lantai. Sudah pasti, membuat si empu pemilik benda tersebut marah dan menarik kerah tengkuk seragamnya.

Awes tergemap. Seketika, ia terlonjak ke belakang saat seorang Ibu menarik tengkuk seragamnya. Ia pun memilih untuk menghentikan larinya dan menoleh ke belakang.

"Kalau jalan hati-hati dong, Dek! Konde saya, kan, jadi jatuh," tutur si Ibu geram.

Awes terbelakak. Tanpa disangka si Ibu malah memukul bahunya bertubu-tubi. "Aduuuh ...!Ampun, Bu! Ampun! Saya nggak sengaja." Dengan cepat, ia mengangkat kedua tangannya ke samping untuk melindungi tubuh dari pukulan si Ibu.

"Tapi, ma-maaf, Bu. Saya buru-buru." Tanpa buang waktu lagi, Awes kembali memutar tubuhnya, dan berlari. Ia tak ingin kehilangan jejak orang berjaket hitam itu. Walau sejujurnya, ada rasa tak enak hati ketika menoleh ke belakang, dan mendapati si Ibu yang masih terus mengumpati dirinya, bahkan memungut kondenya sendiri. Ya Tuhan, semoga saja ia tak tercatat sebagai anak yang durhaka.

Pada akhirnya, Awes berhasil terlepas dari para kerumunan ibu-ibu. Ia pun menundukkan tubuh, menopang lutut dengan kedua tangan, untuk mengatur deru napas yang memburu. “Sial! Gue kehilangan jejak!” ucapnya geram saat orang berjaket hitam itu sudah tak terlihat di hadapannya.

Awes bangkit. Dan, memilih untuk kembali berlari menuju ke kantin. Namun, tak sengaja netranya menemukan secarik kertas yang terkapar di atas lantai. Seketika, larinya terhenti. Lalu, membungkuk untuk memungut kertas tersebut.

Awes penasaran. Ia buka kertas itu, untuk melihat isinya. Detik berikutnya, netranya membeliak ketika membaca sebuah tulisan.

MY PETS

"Hewan peliharaan? Apa maksudnya?" gumamnya kemudian, dengan menggaruk tengkuknya.

Awes mendesah pelan. Ia bergedik, karena tak paham maksudnya. Kendati begitu, ia yakin sekali jika kertas itu merupakan milik Wolf. Karena di dalamnya terdapat daftar nama-nama hewan. Di mana salah satunya ialah Burung Merak. Ia pun memilih untuk menyimpannya di dalam saku seragam, untuk kemudian mencari tahu maknanya.

Awes kembali berlari. Namun, terpegun ketika netranya langsung disambut hangat oleh sebuah goyangan pinggul eksotis milik Mbak Wik saat sampai di ujung koridor. Ia menggeleng. Berdecak kecil. Bagaimana bisa wanita itu melakukannya di ruang terbuka seperti ini?

Awes tak memedulikannya. Ia pun menghampiri janda cantik itu, berharap bisa mendapatkan secuil informasi darinya.

“Mbak, tadi ada orang yang pakai jaket hitam lari ke sini, nggak?” Awes mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin, tak ada satu pun penghuni kantin yang keluar dari stand mereka, karena asyik memasak dan menyiapkan makanan untuk jam istirahat nanti. Hanya ada Mbak Wik, dan Awes yakin jika wanita itu tahu ke mana Wolf bersembunyi.

Mendadak, Mbak Wik menghentikan aktivitasnya. Ia melepas earphone, dan tersenyum malu ke arah Awes. “Eh, ada Mas Awes. Iya Mas, tadi ada orang yang pake jaket hitam lari, dan nggak sengaja menabrak saya sampe jatuh.”

Awes terperangah. “Terus dia lari ke mana, Mbak?”

“Aduh … Saya nggak tahu, Mas. Tadi, dia larinya kencang banget. Pas saya bangun, dia sudah nggak ada. Tapi, saya rasa sih, dia ke toilet, Mas. Atau bisa jadi ke pembuangan sampah belakang sekolah.”

Thank’s, Mbak Wik Wik.”

Awes bergegas berlari menuju ke toilet umum yang berada di samping kantin. Terlalu fokus dengan apa yang sedang dicari, hingga tak sungkan untuk masuk ke dalam toilet cewek. Beruntung, tak ada siapa pun di sana.

Beralih dari sana, Awes menuju ke toilet cowok yang berada di sebelahnya. Ia membuka tuas pintu. Bersamaan dengan itu, netranya menemukan Yoga yang akan keluar dari bilik toilet.

••••

Pekik jerit Rosa menggema di ruang kelas. Membuat langkah para siswi yang akan keluar kelas untuk mengganti pakaian Olahraganya, terhenti. Mereka menatap bingung ke arah meja Rosa. Beberapa dari mereka pun ada yang memilih untuk menghampiri meja cewek itu.

Rosa membenamkan kepala dilipatan kedua tangan, di atas meja yang telah berserakan oleh isi dari dalam tasnya. Ia menangis, saat tak menemukan uangnya yang tersimpan di dalam dompet.

“Sabar ya, Ros.” Hanya kata itu yang bisa terucap oleh teman sekelasnya kepada cewek berkulit putih itu.

Awes berjalan menyusuri koridor untuk bisa sampai di kelasnya. Seperti niat awalnya, jika saat ini ia akan mencari Happy di kelas. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu kelas saat netranya mendapati Rosa yang sedang menangis. Pun, kerumunan para cewek yang sedang menenangkan cewek blasteran itu.

Mendadak Awes tercenung. Entah kenapa perasaannya tak enak. Apalagi saat melihat meja cewek itu yang tampak berserakan. Mungkinkah Rosa telah kehilangan sesuatu? Bukankah tadi ia melihat seseorang yang tampak mencurigakan?

Awes berlari menghampiri meja Rosa. "Lo kenapa, Ros?" tanyanya was-was. Sungguh, ia tak ingin mendengar jika orang berjaket hitam itu telah mengambil sesuatu milik Rosa.

Rosa mendongak. "Uang gue hilang, Wes," akunya dengan suara serak.

Mendadak Awes merasakan dadanya bergemuruh hebat. Sesuatu yang tak ingin didengarnya, pada akhirnya terdengar juga.

Pandangan Awes beralih ke arah dompet berwarna gold di samping cewek itu. “Gue boleh cek dompet lo, Ros?”pintanya kemudian.

Rosa termangu. Ia melenggut, dan menyerahkan dompet tersebut kepada Awes. Sedangkan cowok hitam manis itu, langsung membukanya. Tak lama setelahnya, tercenung saat menemukan secarik kertas di dalamnya. Ia pun mengambil kertas tersebut. Dan memberikannya kepada si empu pemilik dompet itu.

Rintik sendu Rosa usia setelah menerima kertas itu. Ia menyeka lelehan bening di kedua pipi, sebelum memulai membaca.

Seekor Angsa terluka hingga terjatuh sampai ke dasar. Membuat sayapnya patah, hingga tak bisa lagi terbang bersama kelompoknya. Mirisnya, sang Bangau berpura-pura menutup mata dan terus mengepakkan sayapnya untuk terbang, tanpa mau menolong Angsa yang terluka. Dan ... Wolf yang akan membuka lebar kedua mata Bangau. Supaya, tak terus-menerus berada dalam kepura-puraan."

Wolf

Rosa merasakan dadanya berdenyut ngilu, setelah selesai membacanya. Tanpa terasa, lelehan air bening itu kembali merebak. Rosa menggeleng. Sesenggukkan. Pasalnya, ia tahu betul apa yang ingin disampaikan oleh Wolf kepada dirinya.

Tanpa buang waktu, Rosa bangkit dan berlari menuju ke kelas 11 IPA dua yang merupakan kelas Bella. Beruntung, jam mata pelajaran telah usai, sehingga dirinya bisa langsung masuk ke dalam kelas.

Mendadak Rosa mematung di depan kelas. Pandangannya menjelajah ke seluruh kelas, mencari sesosok cewek yang tak ada di kursinya. Namun, mengernyit bingung saat tak menemukan Bella di sana.

"Kalian lihat Bella?" tanyanya kepada seluruh penghuni kelas yang saat ini tengah menatap bingung ke arahnya.

"Hari ini, Bella nggak masuk. Aneh! Kenapa kamu malah tanya Bella ke kami? Bukankah kalian berdua sahabatan?" jawab salah seorang cewek yang duduk di meja paling depan.

Bagai tersambar petir di siang bolong. Dada Rosa terasa remuk redam saat mendengarkan penuturan dari cewek itu. Benar. Seharusnya sebagai sahabatnya ia tahu jika hari ini Bella tak masuk sekolah. Namun, egonya terlalu besar, sehingga memilih untuk tak tahu menahu tentang cewek itu.

Rosa merasakan kedua kakinya terasa lemas, hingga tak kuasa menopang tubuhnya lagi. Ia merosot jatuh ke atas lantai dengan derai air mata yang kian menderas. Kini, benaknya telah berhasil mengingat akan perlakuan baik Bella yang selalu membantunya saat mengalami kesusahan. Namun, ketika Bella yang membutuhkan bantuan darinya, mendadak ia memilih pergi menjauh dan berpura-pura untuk melupakan semua masalah cewek itu.

Rosa menunduk. Menangis pilu.

Masih pantaskah dirinya disebut sebagai sahabat yang baik?

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status