Sepuluh tahun kemudian.
Terik matahari tidak menghalangi Ana untuk datang ke kampus. Hari ini adalah hari Jumat yang berarti seharusnya ia tidak ada kelas. Namun, entah kenapa dosen mendadak mengadakan kuis yang membuat para mahasiswa mengeluh tidak suka.
Jakarta adalah kota yang dipilih Ana untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Terlalu beresiko mengingat begitu cerobohnya dia selama ini. Namun dengan tekad dan kemauan, akhirnya orang tua Ana rela melepaskan anaknya untuk hidup mandiri, jauh dari kota asalnya. Kadang kemandirian akan menumbuhkan rasa kedewasaan. Prinsip itulah yang dipegang Ana sehingga dia memilih untuk hidup sendiri. Sekarang Ana dapat merasakan sendiri bagaimana sulitnya hidup dengan uang jatah bulanannya. Kadang jika tidak bisa menahan diri, maka di akhir bulan dia akan berpuasa. Namun Ana tidak menyesal, dia malah menikmatinya. Menikmati hidup dengan menambah banyak pengalaman.
"Permisi, Pak. Maaf saya telat." Ana berdiri di depan pintu dengan senyuman polosnya
"Jam berapa ini? Saya sudah kasih waktu setengah jam buat anak-anak yang sering telat kayak kamu, tapi masih telat juga," celetuk dosen yang membuat Ana menunduk pasrah.
"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Ana ucapkan untuk saat ini.
"Ya sudah, masuk sana. Lain kali jangan seperti itu, coba hargai waktu."
Ana tersenyum dan mengangguk semangat. "Siap, Pak! Terima kasih."
"Nanti malam jangan lupa kamu kirim artikel berita buatan kamu tentang perang di Timur Tengah." Langkah Ana terhenti dan menatap dosen bingung.
"Maksudnya, Pak?"
"Kamu saya kasih tugas, buat artikel berita tentang perang di Timur Tengah. Satu saja tapi pakai bahasa inggris."
Ana mendadak lemas mendengar itu. Dia pikir dosen akan berbaik hati karena membiarkannya masuk. Namun tetap saja hukuman juga dia dapatkan. Seharusnya dia berhati-hati dengan dosen satu ini, mengingat begitu banyak kejutan yang membuat mahasiswa mendadak pusing.
***
Suasana kantin tidak terlalu sesak saat ini mengingat jika bukan lagi jam makan siang. Hari yang menjelang sore hanya menyisakan beberapa manusia yang tengah menikmati waktu luang bersama teman.
"Mbak Ida, pecel satu ya, Mbak. Lauknya telur aja, sayurnya dikit, nasi sama togenya banyakin biar subur, jangan lupa kerupuknya. Minumnya es teh ya, es-nya banyakin. Nggak pake lama dan terima kasih." Ana memesan makanannya dalam satu tarikan nafas.
"Makan modal 15 ribu aja banyak mau," protes Ally pada Ana.
"Namanya juga tanggal tua."
"Ya udah, Mbak. Aku samain ya makanannya," ucap Ally mengikuti Ana.
Ana mencibir pelan. Perasaannya masih belum membaik sejak tadi. Memang sedikit menyebalkan mempunyai sahabat seperti Ally, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya hanya gadis itu yang mau berteman dengan orang konyol seperti dirinya.
Satu suapan pertama, Ana sudah kembali tersenyum lebar. Memang makanan adalah kelemahannya. Dia begitu menyukai makanan sampai bisa melupakan harga dirinya sendiri. Makanan sederhana seperti inilah yang membuatnya teringat akan ibunya. Hanya dengan makanan, Ana merasa dekat dengan keluarganya.
Jika dulu Ana merasa biasa jika tidak menghabiskan makanan, tapi untuk sekarang dia mencoba untuk merubah itu. Entah kenapa melihat sesendok nasi yang tersisa saja membuatnya sedih. Itulah yang membuat berat badannya naik 3 kilo dalam satu bulan terakhir. Setidaknya jauh dari rumah membuat Ana sangat menghargai sesuatu yang ada di hidupnya. Dia menganggapnya sebagai pelajaran berharga yang tidak akan dia dapatkan di tempat lain.
"Ana!" Ana mengangkat kepalanya dan menatap Sarah yang memanggilnya.
"Ada apa, Kak?" tanya Ana memakan suapan terakhir.
"Kamu hari senin ada kelas nggak?"
"Ada, tapi pagi. Kenapa, kak?"
"Kamu besok senin gantiin mas Adit buat liputan acara seminar di Fakultas Bisnis ya?"
Ana terdiam dengan bingung, sebenarnya dia sedikit malas karena minggu kemarin dia sudah menjadi tim kreatif di acara program musik. "Kan minggu kemarin aku udah ngisi program, Kak. Yang lain deh ya," ucap Ana memohon. Selain karena malas, tugas yang menumpuk harus segera dia selesaikan.
"Nggak ada yang bisa, Na. Kakak-kakak semester 5 juga pada PKL besok. Udah kamu aja ya, lumayan loh bisa masuk seminar gratis, nambah ilmu juga. Mau ya?" Ana terdiam sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia juga tidak enak jika menolak Sarah yang merupakan seniornya di Lab TV.
"Aku jadi apa? Terus pembicaranya siapa?" tanya Ana pada akhirnya.
"Kamu jadi campers, nggak susah kan? Pembicaranya pembisnis sukses, masih muda, ganteng lagi. Seneng deh kamu liat yang bening-bening."
Ana mengangguk mengerti. "Ya udah aku mau. Kabarin aja besok waktunya. Oke."
"Oh siap, makasih ya, Na." Ana hanya mengangguk dan menatap Ally yang menatapnya lekat.
"Tugasmu apa kabar nanti?" tanya Ally.
Ana mengangkat bahunya acuh, "Gampang lah, aku kan pinter kalau udah kepepet.”
"Yakin banget kamu, tugas lagi banyak-banyaknya nih."
"Biarin, lagian enak besok nggak masuk kelas." Ana tertawa dan mulai berlari meninggalkan Ally ke tempat parkir. Dia harus pulang sekarang. Mengerjakan semua tugasnya sebelum tugas lainnya mulai berdatangan. Saat sedang memasang helm, Ally datang dengan banyak camilan di kantong plastik yang dia bawa.
"Aku ikut ke kos kamu ya? Males pulang aku." Tanpa menunggu jawaban, Ally langsung duduk di atas sepeda membuat Ana menggelengkan kepalanya pasrah.
Ally adalah satu-satunya teman yang dekat dengannya sejak pertama kali masuk kampus. Sebenarnya Ana mempunyai banyak teman, tapi hanya Ally yang selalu ada di sampingnya. Percayalah, setelah kuliah dan hidup sendiri, Ana menyangkal habis-habisan tentang kehidupan anak kuliahan di FTV. Dia tidak merasakan kebahagiaan yang sama dengan apa yang mereka rasakan. Mungkin Ana belum merasakan padatnya jadwal karena belum semester akhir tapi dia yakin suatu saat nanti perpustakaan akan menjadi destinasi favoritnya.
***
Ana membuka pintu aula Fakultas Bisnis dengan cepat. Dia melirik jam tangan sebentar dan kembali berjalan. Dia terlambat, lebih tepatnya kesiangan. Terlihat sudah banyak kru TV kampus yang sedang menyiapkan alat untuk liputan nanti.
"Pagi, Kak Sarah," sapa Ana memperlihatkan senyum polosnya.
Sarah hanya melirik sebentar dan mendengkus, "Udah sana ke Bang Alex," ketusnya.
"Maaf deh, belum mulai juga kan? Semalem aku habis begadang nonton film. Film itu tuh yang lagi rame, bagus banget kak sumpah! Masa ya si-"
"Udah! Nggak usah spoiler kamu ya!" Ana hanya terkekeh mendengarnya. Dia dan Sarah memang termasuk movie addict, mereka selalu sharing tentang film-film terbaru.
"Katanya mau briefing dulu? Ayo, aku udah siap nih."
Tarikan pelan pada rambutnya membuat Ana menoleh ke belakang, "Briefing-nya udah selesai dari tadi. Nggak liat jam kamu? Udah jam setengah 9 juga baru dateng." Ana meringis saat melihat ketua TV Kampus yang sudah berada di belakangnya.
"Hai, Bang. Udah sarapan?" tanya Ana mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa baru dateng?" tanya Alex santai.
"Begadang, Bang. Nonton Film katanya. Padahal semalem aku juga begadang melototin rundown tapi nggak telat juga," sahut Sarah ketus.
"Udah-udah, jangan ribut terus. Ana, kamu pegang Cam 1 ya, sana cek kameramu dulu." perintah Alex.
"Siap, Bos!"
***
Ana memfokuskan kamera pada MC yang sedang berbicara di panggung. Acara sudah dimulai dan aula terlihat seperti pelangi dengan warna almamater dari berbagai universitas yang berbeda-beda, tapi tetap yang paling mendominasi adalah almamater kampusnya sendiri.
"Mari kita sambut Bapak Davinno Rahardian!"
Suara tepuk tangan langsung memenuhi aula, terdengar juga suara teriakan wanita dan siulan. Ana sempat bingung dengan kehebohan yang terjadi tapi setelah melihat pria berjas yang naik ke atas panggung, dia mulai mengerti kenapa para mahasiswi terlihat sangat bersemangat. Ana menatap pria yang berdiri di atas panggung itu dengan mata yang tak berkedip. Jika ketampanan Alex termasuk di atas rata-rata maka ketampanan pria yang berdiri dengan gagah di atas sana sudah mencapai di level tertinggi, setinggi langit.
"Sungguh dahsyat ciptaanmu, Tuhan!" ucap Ana cukup keras, sedetik kemudian dia merasakan gulungan kertas yang mendarat di kepalanya. Siapa lagi jika bukan Sarah, dia mengingatkan Ana untuk diam. Bisa saja suaranya akan bocor ke dalam rekaman video nanti.
Benar apa yang dikatakan Sarah, pembicara kali ini benar-benar sangat istimewa. Tidak heran jika tiket terjual habis dengan sangat cepat. Ana terdiam memerhatikan pria yang sedang berbicara itu. Setelah dipikir-pikir, Ana akan sedikit menurunkan tingkat ketampanannya karena pria itu terlihat sangat serius dan tidak menunjukkan senyumnya sedikitpun.
***
Seminar telah selesai sejak 15 menit yang lalu. Kru TV kampus juga sudah mengangkut alat-alat untuk dikembalikan ke studio. Ana dan kru lainnya sedang makan sekarang. Mereka mendapatkan jatah nasi kotak dari pihak penyelenggara.
"Eh, Pak Davinno tadi pidatonya keren banget!"
"Pidatonya yang keren apa orangnya?"
"Ya orangnya lah."
"Emang Pak Davinno ganteng banget tadi, wibawanya dapet. Jadi pingin culik ke kamar."
Ana terbatuk saat mendengar ucapan sekelompok wanita di belakangnya. Memang benar, kesan pertama yang dia lihat dari seorang Davinno Rahardian adalah tampan, bahkan sangat tampan tapi ketampanan itu sedikit berkurang karena wajah datarnya.
"Aku udah selesai, pulang dulu ya, Kak."
"Aku antar ya, Na." Tiba-tiba Alex menawarkan diri.
Ana menggeleng cepat, "Nggak usah, Bang. Habisin aja makannya."
"Aku juga udah selesai kok, dianter aja ya?"
"Kosku deket, Bang. Aku juga bawa motor kok. Duluan ya."
Ana berjalan ke arah tempat parkir sambil memainkan ponselnya. Saat akan akan menyeberang jalan, tanpa dia sadari sebuah mobil muncul dari tikungan dan akan menabraknya, tapi itu tidak terjadi karena mobil berhenti secara mendadak dan membuatnya terkejut. Jantung Ana berdetak mulai dengan kencang. Dilihat kakinya sendiri yang gemetar. Bagaimana tidak gemetar jika bagian depan mobil bahkan sudah menyentuh kakinya. Ana merasa bersyukur saat mobil itu tidak menabraknya.
Aku belum mati kan?
"Dek? Adek nggak papa?" Ana masih diam. Dia terlalu terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
"Aku masih hidup kan, Pak?"
"Iya Dek, masih hidup. Lain kali kalau nyeberang hati-hati ya, jangan main HP terus. Bahaya, jadi rusak kan HP-nya." Ana hanya bisa terdiam sambil menatap ponselnya yang sudah hancur terlindas ban.
"Edo! Kasih kartu namaku. Kita harus ke kantor sekarang!" ucap seseorang dari dalam mobil.
"Ini kartu nama bos saya, nanti HP-nya diganti. Lain kali hati-hati ya." Pria bernama Edo itu kembali masuk ke dalam mobil.
Ana melangkah mundur, bermaksud untuk memberi jalan pada mobil itu untuk lewat. Sebelum itu dia mengambil ponselnya yang sudah tergeletak mengenaskan di atas aspal. Saat mobil mulai melewatinya, Ana bisa melihat pria yang menjadi pembicara seminar tadi sedang duduk dengan gaya angkuhnya di dalam mobil. Pria itu menatap Ana dengan lekat dan begitupun sebaliknya. Ana tidak tahu kenapa waktu seolah berhenti berputar. Mereka saling bertatapan sampai mobil itu mulai menjauh dari pandangannya.
Ana menyentuh dadanya yang berdetak dengan cepat. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak. Debarannya berbeda dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Saat menatap mata tajam itu, Ana seperti merasa bahwa hatinya yang kosong telah terisi kembali.
***
Ana menatap ponsel di tangannya dengan tatapan menerawang. Ibu jarinya menekan tombol menu, kemudian kembali, lalu ke menu lagi dan begitu seterusnya. Sudah seminggu berlalu setelah peristiwa di tempat parkir dan sudah seminggu pula Ana harus bertahan dengan ponsel jadul milik Ally, ponsel keluaran lama yang hanya bisa dia gunakan untuk telepon dan mengirim pesan.Ana tidak memberitahu orang tuanya tentang kejadian seminggu yang lalu. Lagi pula dia tidak apa-apa, tidak ada luka di tubuhnya. Hanya rasa terkejut, itu saja. Ana meletakkan ponselnya dan mengeluarkan kartu nama milik Davin dari tasnya. Dia masih bingung, apa dia harus menghubungi pria itu terlebih dahulu? Ana merebahkan tubuhnya di atas kasur saat tidak mene
Kini Ana sudah siap dengan kemeja putih, jeanshitam, dan sepatuconverseabu-abu andalannya, tapi kali ini sepatu yang dipakainya sudah dicuci dengan bersih. Di saat seperti ini Ana sedikit kecewa dengan gaya berpakaiannya yang sulit berbaur dengan suasana kantor. Baru satu langkah keluar dari kosnya, Ana mengingat sesuatu. Dia belum menghubungi Davin terlebih dahulu. Ana tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dengan cepat dia mengambil ponsel sakti milik Ally dan kartu nama Davin yang berada di tasnya. Ibu jarinya bergerak dengan lincah mengetikkan pesan untuk pria itu.
Ana menatap lekat wajah pria di hadapannya dengan bingung. Setelah adegan tarik-menarik yang mengundang banyak pasang mata untuk melirik, akhirnya Ana memilih untuk menyerah. Dia pasrah dengan apa yang dilakukan Davin. Protes pun percuma karena sepertinya pria itu terlihat tidak ingin mencabut ucapannya untuk memecat satpam kantor. Davin memilih diam dan terus menggosok rambut Ana yang basah dengan handuk. Banyak pertanyaan yang berkumpul di otak Ana saat ini. Belum selesai dengan tragedi pemecatan tadi, sekarang Davin kembali melakukan hal yang di luar dugaan. Ana bisa menggosok rambutnya sendiri. Davin tidak perlu melakukan ini untuknya. Jas milik pria itu juga masih membungkus tubuhnya dengan rapi."Ganti pakaianmu,"
Bagi Ana, pemandangan luar mobil saat ini jauh lebih menarik dari pada pria di sampingnya. Davin sendiri masih fokus pada jalanan yang cukup padat. Sesekali matanya melirik gadis di sampingnya yang memilih untuk terus diam. Davin sadar jika dia sudah keterlaluan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membuat Ana tetap berada di sisinya.Sejak menjadi pemateri seminar bisnis dulu, Davin mulai memperhatikan Ana. Melihat setiap gerak-geriknya yang tidak berubah sejak dulu. Perbedaannya, Ana sekarang tumbuh menjadi gadis yang cantik tapi tetap ceroboh. Setelah berjumpa beberapa kali, dapat Davin simpulkan jika Ana tidak mengingatnya sama sekali. Dia merasa konyol pada dirinya sendiri yang sabar mencari Ana hingga
Ana menatap keadaan sekitar dengan was-was. Dia sedang bersembunyi sekarang, menghindar dari pria yang selalu menjemputnya akhir-akhir ini. Bukannya apa, tapi Ana juga membutuhkan waktu untuk sendiri. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ana bergegas masuk ke dalam dan menatap Ally dengan tatapan penuh terima kasih. Untung saja sahabatnya datang di waktu yang tepat, jika tidak maka dapat Ana pastikan jika dia akan berakhir dengan kecanggungan di dalam mobil Davin lagi."Ayo, cepet jalan!" Ana menoleh ke belakang dan menemukan Edo yang masih berdiri di samping mobilnya.
Ana berhenti berlari saat kakinya sudah tidak kuat lagi untuk memutari lapangan tenis. Dia terduduk di atas tanah dan bersandar pada jaring yang menjadi pembatas lapangan. Napasnya terdengar memburu dan reflek tangannya terangkat untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya."Cuma 4 kali putaran?" tanya Davin dengan nada mengejek."Capek, Mas!""Ayo, satu kali dan setelah itu selesai." Davin menarik tangan Ana untuk berdiri tapi gadis itu me
Ana masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Ibu Davin. Dia tahu jika pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Dia berada di posisi yang tidak menguntungkan sehingga membuat wanita itu berpikiran yang tidak-tidak. Meskipun Ibu Davin tidak berkata apa-apa setelahnya, tapi siapa yang tahu jika dia memendam amarahnya pada Ana dan mengundangnya sekarang agar bisa memojokkannya bersama dengan keluarga besar."Sampai kapan kayak gini?" Davin melirik Ana yang hanya memainkan jari-jarinya sejak tadi, "Sudah hampir 30 menit, Bunda udah nunggu di dalam.""Bentar, Mas. Aku belum si
Hari sudah mulai berganti tapi tidak dengan suasana di rumah Davin. Pagi hari yang seharusnya bisa menjadi awal yang indah untuk semua orang tidak akan terjadi kali ini. Sejak semalam, suasana kelam itu masih terasa hingga saat ini. Itu semua karena Lucy yang memilih untuk tinggal."Vin, aku sama Laila pulang dulu ya," ucap Kevin setelah selesai sarapan.Ana tiba-tiba berdiri dan menatap Kevin penuh harap, "Aku ikut ya? Kalian bisa anter aku pulang?"