Kini Ana sudah siap dengan kemeja putih, jeans hitam, dan sepatu converse abu-abu andalannya, tapi kali ini sepatu yang dipakainya sudah dicuci dengan bersih. Di saat seperti ini Ana sedikit kecewa dengan gaya berpakaiannya yang sulit berbaur dengan suasana kantor. Baru satu langkah keluar dari kosnya, Ana mengingat sesuatu. Dia belum menghubungi Davin terlebih dahulu. Ana tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dengan cepat dia mengambil ponsel sakti milik Ally dan kartu nama Davin yang berada di tasnya. Ibu jarinya bergerak dengan lincah mengetikkan pesan untuk pria itu.
Siang, Pak. Saya mau ke kantor sekarang. Bapak di kantor kan? Saya udah buat janji ya pak, jangan diusir lagi hehe. Makasih.
Suara notifikasi pesan terdengar dan Ana dengan cepat membukanya. Melihat betapa cepatnya pria itu membalas artinya Davin tidak terlalu sibuk bukan?
Saya di kantor. Kalau ke kantor bawakan saya makan siang.
Ana terdiam seperti orang bodoh. Dia yakin jika pria itu mempunyai cukup banyak uang untuk sekedar membeli makan siang. Ingin rasanya Ana menuliskan pesan umpatan untuk Davin. Kali ini dia benar-benar kesal. Bahkan ketampanan Davin pun tidak membuat rasa kesalnya menurun. Tuhan memang adil dalam menciptakan sesuatu.
Maaf, Pak. Saya nggak bisa masak. Pak Davin bisa makan di luar.
Hanya itu balasan yang Ana kirim dan dia berharap Davin tidak serius dengan permintaannya.
Kalau begitu kamu nggak perlu ke kantor, saya mau keluar makan siang.
Ana memukul udara dengan kepalan tangannya. Saat ini dia sangat bernafsu untuk membuat wajah Davin menjadi babak belur. Entah kenapa Ana juga merasa sangat sensitif akhir-akhir ini. Segala hal yang dilakukan Davin selalu membuatnya naik darah. Meskipun hal kecil sekalipun.
Ana membuka dompetnya lemas. Hanya tersisa uang 20 ribu di sana. Ana tidak tahu harus membeli makan siang apa untuk Davin. Bukan rahasia lagi jika akhir bulan adalah hari krisis nasional untuk para pejuang kos sepertinya. Lagipula Davin adalah seorang pengusaha, tidak mungkin jika harga makan siangnya hanya berkisar 20 ribu saja.
Akhirnya Ana memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kos dan melihat isi kulkasnya. Dia berharap masih ada sisa belanjanya kemarin yang bisa diolah. Ana terduduk di depan kulkas dengan kecewa saat hanya menemukan bakso, sosis, dan telur. Saat akan menutup pintu kulkas, matanya tidak sengaja melihat sawi segar di rak bawah. Ana mengambil sawi itu dan melihat tag nama di plastiknya.
"Mbak Amel! Aku minta sawinya dikit ya?!" teriak Ana saat mengetahui jika sawi itu adalah milik Amel, tetangga kamarnya.
"Iya!" balas Amel ikut berteriak.
Ana mengeluarkan semua bahan-bahan yang ada dan mulai memasak. Sebelum itu dia juga mengambil nasi yang ada di kamarnya. Sepertinya nasi goreng tidaklah buruk, uangnya benar-benar menipis sekarang dan mau tidak mau Ana memutuskan untuk memasak sendiri, selain itu dia juga berharap jika Davin akan merasa jera setelah mencicipi rasa makanannya.
***
Suara klakson yang saling bersahutan dan asap kendaraan yang menyesakkan dada membuat Ana mendengkus kesal. Ditepuknya punggungnya dengan pelan untuk mengurangi rasa nyeri karena terlalu lama duduk dan menunggu di tengah jalan. Seharusnya Ana sudah sampai 15 menit yang lalu, tapi karena macet akhirnya dia harus menunggu lebih lama.
Jakarta oh Jakarta...
Ana mengusap peluh yang menetes di dahinya dengan pelan. Hari ini cuaca sangat mendung tapi entah kenapa udaranya terasa begitu panas. Dia berdecak saat mobil di depannya tidak kunjung jalan. Demi Tuhan! Jika bukan karena ponsel baru, Ana tidak akan mau melakukan ini.
Rintik air hujan mulai turun. Ingin rasanya Ana menangis saat ini juga. Entah kenapa hari ini begitu menyebalkan untuknya. Ingin menepi juga sulit mengingat dia sudah terjebak macet di tengah jalan. Pada saat-saat seperti ini Ana menyesal karena sudah meninggalkan jas hujannya di kos. Seolah tidak peduli, Ana memutuskan untuk menerobos hujan. Badannya sudah mulai basah jadi tidak ada gunanya lagi untuk berteduh.
Saat akan melewati pertigaan, tiba-tiba motor Ana terasa aneh. Dia menepi di pinggir jalan dan melihat apa yang terjadi. Entah ujian apa lagi ini, tapi ban motor bagian depannya bocor. Ana mengerang dan menyandarkan kepalanya di setir motor. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan bersyukur saat menemukan bengkel di ujung jalan, tapi bengkel itu juga terlihat cukup ramai. Ditambah dengan hujan deras seperti ini, mungkin kerusakan motor bisa saja terjadi pada siapapun. Tidak ada pilihan lain, Ana pun menuntun motornya untuk sampai ke bengkel. Badannya sudah benar-benar basah sekarang. Dia hanya bisa berdoa supaya tidak sakit nanti.
"Ini bocor, Mbak. Ada paku gede gini. Bisa di tambal tapi antri, lagi rame soalnya," ucap petugas bengkel sambil memeriksa motor Ana.
"Nggak papa, Pak. Saya tunggu," putus Ana akhirnya. Dia bisa menunggu sambil berteduh dari hujan yang semakin deras ini.
***
"Ana, ngapain kamu di sini?" Ana membuyarkan lamunannya dan beralih pada pria yang ada di depannya.
"Loh, Bang Alex ngapain di sini?" tanya Ana berdiri dari duduknya.
"Kebetulan aku lewat dan liat kamu. Ada apa?" Alex bertanya sambil melirik motor Ana.
"Bocor, Bang. Jadi ditambal dulu."
"Kayanya masih lama, kamu mau ke mana? Ayo aku anter."
"Ke Rahardian Corp. Bang Alex beneran bisa anter?" tanya Ana tidak yakin.
"Ya udah ayo, tapi masih hujan ini. Jas hujannya cuma satu."
"Terobos aja, udah basah juga." Alex hanya mengangguk dan mulai menyalakan motornya.
Ana berbicara sebentar pada petugas bengkel dan setelah selesai, dia menghampiri Alex yang sudah siap di atas motor besarnya. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Sepuluh menit kemudian Ana sudah sampai di depan kantor Davin.
"Aku tunggu di sini ya?" ucap Alex sambil melepas helmnya.
"Nggak usah, Bang. Ditinggal aja. Lama juga paling nanti urusannya."
"Udah masuk sana. Aku tungguin." Akhirnya Ana hanya bisa mengangguk pasrah. Dia juga tidak punya cukup uang untuk pulang nanti.
Ana memasuki kantor Davin dengan kotak bekal di tangannya. Saat akan masuk, tiba-tiba satpam memanggilnya dan menghalangi langkahnya, "Eh Mbak, jangan masuk dulu, bajunya basah gitu, nanti lantainya kotor." Ana melirik bajunya yang basah. Benar juga, kasihan OB yang akan kerja dua kali nanti.
"Saya mau ketemu Pak Davin, Pak. Panggilin ya suruh keluar," ucap Ana begitu tidak ada pilihan lain selain menunggu di luar.
"Duh, nggak berani saya suruh-suruh Pak bos, Mbak."
"Lah terus gimana? Bapak kan nggak ngebolehin saya masuk." Satpam itu hanya menyarankan menunggu dan kembali bekerja.
Ana berdecak kesal dan berlalu pergi. Kemarin dia dilarang masuk oleh resepsionis dan sekarang dia kembali dilarang oleh satpam, besok siapa lagi? Tidak, Ana harap ini terakhir kalinya dia mengunjungi kantor Davin.
Langkah Ana membawanya untuk kembali menghampiri Alex yang masih menunggu di parkiran. Dia bercerita pada Alex bahwa satpam tidak memperbolehkannya masuk. Ana berpikir dan mencari cara lain agar bisa masuk untuk menemui Davin, kemudian pemikiran untuk menghubungi pria itu terlintas di otaknya.
Pak saya udah di bawah tapi nggak dibolehin satpam masuk. Gimana?
Tidak butuh waktu lama Davin segera membalas pesan dari Ana.
Tunggu saya.
Ana menggosok kedua tangannya yang terasa dingin. Hujan sudah mulai reda tapi angin dingin masih menerpa tubuhnya. Perlahan Alex meraih tangan Ana hingga menimbulkan rasa hangat. Ana tidak menolaknya, karena memang ini yang dia butuhkan.
"Ana!" Davin berjalan dengan cepat. Entah kenapa lagi-lagi jantung Ana berdetak dengan kencang.
Ketika sudah dekat, Ana bisa melihat mata Davin terarah pada tangannya yang digenggam oleh Alex. Dengan reflek Ana menarik tangannya gugup.
"Kenapa nggak langsung masuk?" tanya Davin saat sudah berada di depannya.
"Nggak dibolehin satpam," kata Ana jujur.
Davin beralih menatap Alex yang membuat pria itu tersenyum canggung.
"Selamat siang, Pak."
Davin hanya mengangguk dan beralih pada Ana. Dia menatapnya dari atas ke bawah dan mulai melepaskan jasnya. Ana menatap jas pemberian Davin dengan bingung.
"Nggak usah protes, kamu kedinginan,” ucap Davin menjelaskan, "Ayo masuk." Lanjutnya dan menarik tangan Ana untuk masuk ke dalam kantor.
Saat baru satu langkah berjalan, Davin kembali berhenti dan berbalik menatap Alex, "Kamu langsung pulang, nanti Ana saya yang antar."
Langkah Davin terhenti saat melewati satpam yang sempat melarang Ana masuk tadi. Satpam itu terlihat gugup melihat kedekatan Ana dengan bosnya. "Mulai besok kamu nggak perlu datang lagi, cari kerja di tempat lain.”
Ana terpaku mendegar itu semua. Apa tadi? Ana dapat mendengar nada kesombongan yang Davin gunakan. Tidak! seharusnya ini tidak terjadi. Ana ingin membantah tapi sepertinya Davin lebih menginginkannya untuk diam dan menurut saat ini.
***
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak