Share

Penggoda Hati

Ana menatap ponsel di tangannya dengan tatapan menerawang. Ibu jarinya menekan tombol menu, kemudian kembali, lalu ke menu lagi dan begitu seterusnya. Sudah seminggu berlalu setelah peristiwa di tempat parkir dan sudah seminggu pula Ana harus bertahan dengan ponsel jadul milik Ally, ponsel keluaran lama yang hanya bisa dia gunakan untuk telepon dan mengirim pesan.

Ana tidak memberitahu orang tuanya tentang kejadian seminggu yang lalu. Lagi pula dia tidak apa-apa, tidak ada luka di tubuhnya. Hanya rasa terkejut, itu saja. Ana meletakkan ponselnya dan mengeluarkan kartu nama milik Davin dari tasnya. Dia masih bingung, apa dia harus menghubungi pria itu terlebih dahulu? Ana merebahkan tubuhnya di atas kasur saat tidak menemukan jawaban yang tepat. Ditatapnya lagi kartu nama yang bertuliskan nama lengkap bertinta emas itu. Entah kenapa Ana bergerak mencium kartu nama itu dan benar saja, harum.

Ana meringis dan membolak-balikan kartu nama itu dengan dahi yang berkerut. Kartu nama saja bisa elegan seperti ini. Ana tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan pria itu setiap harinya.

***

Entah kenapa gedung tinggi di hadapan Ana saat ini membuatnya gugup. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa seperti ini, padahal tujuannya hanya akan meminta ponsel baru dan selesai. Ana tidak akan berhubungan lagi dengan pria itu. Setelah berdiri cukup lama, akhirnya Ana memutuskan untuk masuk.

Dilihatnya penampilan para karyawan yang berlalu lalang dengan teliti. Mereka semua tampak elegan dan mewah. Seolah berseragam, mereka kompak mengenakan pakaian berwarna hitam, abu-abu, dan putih. Sedikit kaku, tapi setelah mengingat jika pemimpinnya sendiri juga kaku maka Ana tidak akan heran. Mungkin itu sudah peraturan yang ditetapkan. Setelah puas melihat penampilan para karyawan, Ana melihat penampilannya sendiri. Dia meringis begitu menyadari kekonyolannya. Sweatshirt maroon kebesaran sebagai atasan dan celana jeans hitam sebagai bawahan, serta sepatu converse yang sudah kotor tentu tidak menunjukan kesan formal sedikitpun. Dia tampak asing di tempat ini. Tidak terlalu memikirkan penampilannya, akhirnya Ana memilih untuk langsung ke resepsionis. Dia harus kembali fokus dengan tujuan awalnya untuk menemui Davin.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis ramah.

"Bisa bertemu dengan Pak Davinno?" Seketika ekspresi ramah resepsionis itu tergantikan dengan raut wajah bingugnya.

"Apa sudah membuat janji sebelumnya?" Perubahan itu membuat Ana mengerutkan keningnya bingung. Dia sedikit kesal dengan tingkah resepsionis yang menatapnya dengan pandangan remeh seperti itu.

"Belum, Mbak."

"Kalau belum buat janji nggak bisa ketemu, Dek. Pak Vinno juga sedang sibuk, jadi harus buat janji dulu." Ana menghembuskan napasnya kasar mendengar itu. Tanpa diberi tahu dia juga tahu jika Davin adalah orang yang sibuk.

"Tapi Pak Davinno sendiri yang minta saya buat datang."

"Tetap nggak bisa, harus buat janji dulu." Wanita itu kembali bekerja dan Ana hanya bisa diam, "Kalau sudah tidak ada keperluan, saya harus kembali bekerja."

Ana terkejut mendengar itu. Wanita itu sudah jelas mengusirnya secara halus. Dengan perasaan kesal, Ana mulai berlalu pergi, "Dasar tante medusa!" rutuknya pelan.

Ana berdiri di lobi dengan bingung. Sia-sia, percuma saja dia datang jika akan diusir seperti ini. Ana terdiam mencoba berpikir bagaimana caranya agar dia bisa bertemu dengan Davin.

Lima menit,

Sepuluh menit,

Masih tidak ada ide.

Akhirnya Ana memutuskan untuk berhenti berpikir dan menghentakkan kakinya kesal. Pasrah, mungkin besok dia akan datang lagi ke tempat ini. Dengan membuat janji terlebih dahulu tentunya. Dia akan langsung menghubungi Davin.

Saat berjalan ke tempat parkir, Ana menghnetikkan langkahnya saat melihat pria yang hampir menabraknya dulu. Terlihat orang itu sedikit terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor. Ana yang tidak ingin menyia-nyiakan waktu langsung berlari mengejarnya. Sedikit lagi dan akhirnya Ana dapat menjangkau lengan itu.

"Haduh, Pak. Jalannya cepet banget." Ana berusaha mengatur napasnya.

"Loh, kenapa Adek di sini?" tanya Edo penasaran.

"Mau minta ganti rugi, Pak." Ana mengangkat ponsel Ally cepat.

"Kenapa nggak langsung masuk aja?"

"Udah, Pak. Tapi Nggak dibolehin masuk." Ana berucap kesal.

"Kok bisa? Udah saya kasih kartu namanya Pak Vinno kan?"

"Saya belum hubungi Pak Davin, Pak." Ana menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Lagian kenapa Mbak Resepsionisnya galak banget sih, Pak?"

Edo tertawa, "Kamu ini, ya udah ayo ikut saya masuk."

Saat melewati meja resepsionis, Ana menjulurkan lidahnya bermaksud untuk mengejek wanita yang mengusirnya tadi, tapi wanita itu hanya meliriknya sebentar dan bersikap tidak peduli. Menyebalkan sekali, jika Ana mempunyai perusahaan sendiri dia tidak akan memperkerjakan orang seperti itu. Percuma saja pintar tapi tidak mempunyai kepribadian yang baik.

***

Pintu lift terbuka di lantai 28 di mana ruangan Davin berada. Suasana lantai ini sama dengan yang di bawah tadi. Masih didominasi warna hitam, abu-abu, dan putih. Terlihat sepi dan hanya terdapat 5 pintu di sini. Edo membawa Ana ke arah wanita cantik yang terlihat sibuk dengan kertas-kertas di mejanya.

"Lia?"

"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Lia sambil berdiri.

"Tolong antarkan Adek ini ke ruangan Pak Vinno ya, saya masih ada urusan sama Pak Anwar." Melihat Lia yang mengangguk, Edo beralih pada Ana, "Kamu sama Lia ya, saya masih ada urusan."

"Iya, Pak. Terima kasih sudah diantar." Edo mengangguk dan berbalik pergi.

"Ayo, Dek. Ikut saya." Ana mengangguk dan mengikuti Lia yang berjalan menuju pintu paling besar di lantai ini.

Lia mengetuk pintu itu sekali dan kemudian menunggu. Setelah terdengar sahutan dari dalam, Lia mulai masuk dan diikuti oleh Ana. Pemandangan pertama yang Ana lihat adalah punggung Davin yang berdiri membelakangi pintu, sepertinya pria itu sedang melihat pemandangan jalan raya yang hanya dibatasi oleh dinding kaca. Ana mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lagi-lagi dia salah fokus dengan desain ruangan Davin. Ruangan ini berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Ruangan ini didominasi warna merah maroon dan hitam. Terlihat menyeramkan tapi juga elegan di satu sisi.

"Permisi, Pak. Ada seseorang yang ingin menemui Bapak." Lia berbalik menatap Ana, "Siapa Namanya, Dek?" lanjutnya.

"Ana, Mbak."

Davin berbalik saat mendengar suara itu. Dia menatap Ana lekat dan beralih pada Lia, "Kamu boleh keluar."

"Baik, Pak. Permisi."

Ana masih asik memperhatikan ruangan Davin, tanpa tahu jika dia sudah menjadi pusat perhatian pria itu sekarang. Davin berjalan mendekat mencoba menyadarkan gadis yang tengah menikmati suasana ruangannya itu. Ana terkejut saat tubuh besar itu sudah berada di depannya. Mau tidak mau dia mengalihkan pandangannya dan menatap pria yang ada di depannya itu. Tinggi badan Davin membuat Ana harus mendongak.

"Ada perlu apa menemui saya?" tanya Davin.

"Itu, Pak. Saya mau— gimana ya ngomongnya. Saya mau minta HP baru," ucap Ana sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Davin hanya mengangguk dan berjalan menuju kursinya, meninggalkan Ana yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan seperti orang bodoh.

"Kenapa kamu minta HP sama saya?"

"Kan HP saya rusak waktu hampir ketabrak di kampus," ucap Ana berusaha untuk mengingatkan.

"Saya belum ada HP-nya. Besok aja kamu ke kantor saya lagi." Pria itu berucap santai yang membuat Ana kesal.

"Nggak bisa sekarang, Pak? Mentahan aja deh nggak papa, biar nanti saya beli HP-nya sendiri," jawab Ana spontan. Dia langsung menutup mulutnya saat sadar jika sudah bersikap tidak sopan sekarang.

"Saya nggak ada uang tunai." Davin bersandar pada kursinya dan menatap Ana dengan dagu yang terangkat.

Ana merutuk dalam hati. Alasan apa itu? Jaman secanggih ini tidak susah untuk mengirim uang. Tidak mungkin jika pria seperti Davin tidak mempunyai kartu debit.

"Saya nggak mau ke sini lagi, Pak. Pegawainya Bapak galak-galak." Akhirnya Ana menggunakan alasan lain. Alasan yang menurutnya cukup kekanakan.

"Galak?"

Ana menggeleng cepat, mencoba untuk kembali mengarahkan pembicaraan ke topik utama. "Pokoknya saya mau sekarang, Pak. Jadi saya nggak perlu ke sini lagi dan urusan kita selesai." Ana berucap dengan berani.

"Terserah kalau kamu nggak mau." Ana terdiam saat melihat ada senyum tipis yang muncul di bibir pria itu.

"Ayo lah, Pak. Saya mohon sekarang ya, kasian Ibu saya minta video call terus. Saya nggak bisa bohong lama-lama."

"Besok, kamu bisa datang lagi besok."

Ana terdiam tidak percaya melihat respon dingin yang dia dapat. Kenapa sesulit itu untuk meminta haknya? Seharusnya masalah ini dapat diselesaikan dengan mudah bukan? Bahkan tanpa harus bertatap muka. Ana menggerutu sambil meremas bajunya kesal. Ingin sekali dia menangis, tapi tidak mungkin jika dia menangis di hadapan kulkas mode-on ini.

"Ya udah, saya pulang, besok saya ke sini lagi. Bapak jangan ngilang kalau dicariin. Kata Mbak Resepsionis kan Bapak orangnya sibuk." Melihat Davin yang hanya mengangguk, Ana memutuskan untuk keluar, "Permisi, Pak." Pamitnya.

"Tunggu." Panggilan itu membuat Ana menghentikan langkahnya. "Siapa nama kamu?"

Ana terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab, "Ana." jawabnya singkat.

Ana terpaku saat melihat sesuatu yang jarang terjadi, dia tidak salah lihat. Davin sempat tersenyum saat dia menyebutkan namanya. Meskipun senyumnya tidak sampai mata, tapi Ana yakin dia melihat senyum itu.

"Namaku Davinno." Ana mengerutkan keningnya saat tiba-tiba dia merasa seperti deja vu, dia seperti pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.

"Saya pulang dulu." Ana bergegas keluar ruangan. Dia menyandarkan tubuhnya di balik pintu dan mengelus dadanya yang berdetak dengan kencang. Perasaan aneh itu kembali datang. Entah kenapa dia bertingkah seperti ini? Jantungnya juga kenapa bisa berdetak sekencang ini? Sepertinya Ana perlu dokter sekarang, dia tidak mau mempunyai penyakit jantung di usia muda.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status