Share

Jodoh Dari Tuhan 1

Di antara kelelahan dan tidurnya, di antara jeritan perang dan rudal-rudal yang menghancurkan satu kota, di antara pertengkaran suami istri dan nafsu birahi, Annastasia bermimpi. Dan mimpinya, membawanya ke masa lalu. Ke masa sebelum ia menikah dengan suaminya, Isaac. Berbagai kejadian terasa telah berlalu begitu jauh sekali, seakan semuanya terjadi dalam kehidupan yang sebelumnya, dan tiba-tiba saja kembali sambil membawa memori perasaan yang ganjil.

***

Ada saat-saat dimana kamu kehilangan semua yang kamu punya. Ketika kamu gagal. Ketika orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu, dan kamu merasa begitu sendirian. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Kamu hilang arah. Hilang tujuan. Kamu seperti tersesat di sebuah labirin gelap. Kamu mencoba mencari-cari cahaya, tetapi kamu tidak menemukannya.

Itulah yang dirasakan Annastasia ketika orang tuanya dinyatakan meninggal. Bahkan dalam mimpi, perasaan kehilangan orang tua sama saja buruknya. Ketika orang tuanya meninggal, ketika itu juga Ann merasa dirinya ikut meninggal. Ketika ia melihat jasad kedua orang tuanya terkubur ke dalam tanah, saat itu juga ia merasa seluruh hidupnya ikut terkubur.

Ann menangis berhari-hari. Ia merasa tidak sanggup untuk menjalani beban ini. Ini terlalu berat. Ini terlalu— Mengapa kematian selalu datang tanpa memberi peringatan? Mengapa Tuhan mengambil semua yang dimilikinya secara mendadak? Mengapa Tuhan tidak menganugerahinya hati yang kuat untuk menghadapi musibah ini? Mengapa Tuhan— Begitu banyak keluhan di bibir Ann, yang rasanya ia ingin muntahkan di hadapan Tuhan. Tapi semuanya tak ia katakan. Keluhan itu, hanya terpendam di relung hatinya. Bagaimana ia bisa mengeluh? Shalaim melarangnya untuk mengeluh.

"Ya Tuhan..." Ann berbisik lirih, bersama dengan air matanya yang terus meleleh. Ia bersujud.

"Aku sebatang kara..." bisiknya, seraya membayangkan teman-temannya yang bergembira bersama ayah-ibunya. Entah, apakah ini bisa disebut keluhan atau bukan. Ia tak peduli lagi. Pertahanannya runtuh.

"Ya Tuhan, apakah aku kuat menghadapi ini semua?" lanjutnya, terus terisak.

"Apakah aku sanggup, Tuhan? Aku merasa tidak sanggup... hiks.. hiks... hiks... hiks..."

Annastasia, kata teman-temannya, sebenarnya adalah gadis yang periang. Ia adalah pemilik salah satu senyum termanis di sekolah. Siapapun bisa jatuh cinta hanya dengan melihat senyumnya.

Namun, sejak tragedi yang menimpa kedua orang tuanya, senyum itu menghilang. Lenyap. Seolah-olah senyum itu tak pernah terukir di bibirnya. Sebuah kehilangan memang mampu membuat seseorang berubah ke dalam bentuk yang paling tidak bisa dibayangkan sekalipun.

***

Beberapa hari berlalu ketika Ann sedang duduk di lantai rumahnya, Tuan Mendeelev datang menyapa.

"Ann..." seru Tuan Mendeleev, lembut.

Ann menoleh sebentar. Diletakannya sebuah novel yang sedang dibacanya. Membaca novel adalah salah satu usahanya untuk menghibur diri, untuk lari dari realita menyedihkan yang dideritanya.

Ann mencium tangan Tuan Mendeelev, hormat. Tuan Mendeelev tak bisa berkata-kata sepersekian detik. Ia prihatin. Tidak ada gadis periang lagi. Yang ia lihat disitu, hanyalah wajah sendu dengan mata bengkak-karena terlalu banyak menangis. Ia mengusap kepala Ann.

"Letakanlah kesedihanmu cukup sampai hari ini saja," seru Tuan Mendeelev. "Gantilah pakaian hitammu dengan gaun berwarna putih. Sebab sebentar lagi, kebahagiaan akan menyertaimu."

Ann termenung. Otaknya tidak cukup cepat untuk memahami maksud dari Tuan Mendeelev.

"Kamu masih ingat kan sama anakku yang namanya Isaac?"

Ann terkejut.

"Kamu ingat tentang perjodohan itu?"

Kedua mata Ann berkaca-kaca.

"Ya, sekarang waktunya kamu bertemu dengan dia."

Tangis Ann lepas.

Cobaan apalagi ini? Ia belum sembuh dari rasa kehilangan. Sekarang, ia harus menikah dengan lelaki yang tak ia kenal? Oke, perjodohan ini memang telah direncanakan sejak lama. Tapi apakah eksekusinya harus secepat ini? Bagaimana dengan Ori, kekasihnya? Ann masih belum siap berpisah dengan orang yang dicintainya lagi. Bagaimana kalau lelaki yang bernama Isaac itu—

"Ini permintaan dari ayahmu juga, Ann," Tuan Mendeelev berusaha tidak menyinggung hati Ann.

"Isaac bersedia menjadi suamimu. Ia bersedia menjagamu dan hidup bersamamu," lanjut Tuan Mendeleev ketika Ann hanya diam saja.

"Aku berusaha membantumu, Ann. Gak baik seorang gadis hidup sendirian di dunia ini. Harus ada seseorang yang melindungi dan menjaganya. Lagipula, sekarang sedang zaman perang." Tuan Mendeleev menegaskan alasannya.

"Pernikahannya dipercepat yaa. Demi kebaikan kamu juga."

"Iya, Tuan Mendeelev."

Ann tidak bisa menolak. Hidup memang tidak memberinya pilihan apa-apa. Pun ia sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.

Lalu, pada hari yang sudah ditentukan, di batas senja, di sebuah taman yang dipenuhi pepohonan maple, di pertengahan musim gugur, Ann dan Isaac dipertemukan.

Pertama kali Ann melihat Isaac... Ann langsung terpesona. Kedua netranya berbinar-binar, menyalakan sorotan cahaya positif. Isaac tampil sebagai pria tampan dan gagah. Dengan tinggi dan berat badan yang proporsional. Kulit putih yang tidak pucat. Lelaki itu makin elegan mengenakan mantel abu-abunya yang tampak begitu pas di badan. Mantel musim dingin yang terbuat dari bahan yang tebal dan lembut. Rambut ash-nya Oh lihat rambutnya yang tertata rapi. Sorot mata bundarnya Oh... hidung mancungnya... garis alisnya... bibir delimanya... semua tercetak dalam bentuk dan ukuran yang pas. Sesuatu pahatan sempurna alam semesta. Sebentar, Ann menarik napas untuk mengagumi Isaac.

"Malaikat?" bisik Nyonya Mendeelev kepada Ann. Ia duduk disamping Ann, sambil mengolesi selai ke roti.

Segaris angin berayun, menerbangkan dedaunan kuning. Sesekali, pohon maple yang menaungi meja makan mereka bergemirisik. Sejuk sekali.

"Tidakkah Isaac tampak seperti malaikat di matamu, Ann?" Tanya Nyoba Mendeelev.

Ann tertegun sejenak.

"Ada yang bilang, kalau kamu melihat malaikat di dalam diri seseorang, berarti dia adalah jodohmu."

Nyonya Mendeelev memegang tangan Ann, mencoba lebih dekat dengan calon menantunya.

"Aku melihat malaikat di wajah suamiku," Nyonya Mendeelev memandang Ann, syahdu. "Kalau kamu tidak bisa melihat malaikat di dalam diri Isaac, sebaiknya perjodohan ini dibatalkan saja, karena—"

"Tidak, tidak, Nyonya," Ann menyela. Ia berpikir untuk tidak akan mengecewakan almarhum kedua orang tuanya dan keluarga Mendeelev-yang sudah susah payah membantunya. Lagipula, bagaimana mungkin ia tega mengecewakan mereka? Hanya mereka yang Ann punya sekarang. Satu-satunya.

"Aku melihat malaikat dalam diri Isaac," bisik Ann, disusul senyuman tipis. Tipis sekali. Seolah senyum untuk menghormati Nyonya Mendeleev saja.

Senyum Nyonya Mendeelev mengembang, seperti roti yang diberi ragi. Langsung ia mengatakan kepada keluarga besar Mendeelev yang sedang menikmati hidangan di atas meja itu.

"Ann melihatnya!" Nyonya Mendeelev semangat.

Mereka langsung bersorak.

"Wah, bagus! Isaac juga melihatnya!" jawab Tuan Mendeelev.

Mereka makin bersorak!

"Kalian berdua memang berjodoh," seru yang lain, bahagia. Tepuk tangan mengudara.

Isaac yang duduk bersebrangan dengan Ann, tertegun. Ekor matanya memandang gadis itu, seolah tak percaya. Suatu kebohongan telah terjadi di sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status