Dan jauh sebelum Annastasia dan Isaac memanjatkan doa di Temple of The Prophet, meminta petunjuk tentang jodoh, mengalirlah hari-hari ini, hari-hari yang biasa, yang telah lama diketahui dan dijalani dengan hampa.
***
Zerubabel, North Bank, 1942 ZR.
Waktu itu pukul lima pagi, di musim gugur. Dari balik jendela kamarnya, Annastasia Kohler, perempuan cantik berusia 17 tahun, mengamati awal hari dengan sikap setengah bosan dan setengah melamun. Dedaunan orange maple yang berjatuhan menutupi hampir seluruh halaman rumahnya, juga suara dersik angin yang menyentuh ranting-ranting pepohonan, maupun suara bebek dan angsa yang berenang di kolam tak terawat di dekat pohon oak di seberang rumahnya, tidak mampu menjadi penghibur bagi mata maupun batinnya. Ia disitu saja, memandang jenuh kepada segala sesuatu yang melewatinya. Mungkin beginilah hidup takkala segala sesuatu yang buruk telah menimpa kehidupan seorang manusia.
Sebulan yang lalu, orang tua Annastasia dinyatakan meninggal dalam suatu kecelakaan tragis nan traumatis. Tak lama kemudian, Ann, demikian ia biasa disapa, harus menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan wajahnya baru ia kenal seminggu menjelang hari pernikahan. Lantas, apalagi? Sekarang, ia terjebak di sini, di balik bingkai jendela ini, menjalani rumah tangga dengan seorang pria asing. Mendadak, hidupnya berubah menjadi tanpa ambisi. Tanpa cita-cita. Tanpa motivasi. Hidup hanya untuk menunggu mati.
Pagi sesuram petang. Langit tak berawan mengguratkan warna ungu gelap, warna memar lama, kemudian terus menjadi pekat tanpa ada tanda-tanda cahaya matahari akan datang menghampiri. Annastasia tertunduk. Ia menggulir ponselnya ke bawah, melihat dunia penuh warna-warni dari postingan-postingan pencitraan orang-orang, membuatnya merasa hidupnya makin salah tujuh turunan dan ia adalah perempuan paling sial di dunia. Inferiorty complex membelenggu dirinya.
Annastasia berpikir, "Jika Tuhan Maha Baik Hati, maka matikan saja aku di usia muda, Tuhan, dan sisakan satu tempat di neraka untuk puisi-puisiku." Yah, semua orang pastinya akan mati kan? Tetapi apakah semua orang pernah 'hidup'?
"Abang," Annastasia mulai mengetik di ponselnya. Ponsel lama yang sudah ketinggalan zaman, yang sudah eror di sana sini tapi tak bisa ia ganti karena ia tak memiliki cukup uang.
"Abang," Annastasia mengetik lagi. "Abang di mana? Abang udah berangkat ke kantor?"
Dua pertanyaan dalam chat itu hanya dibaca oleh Isaac.
Annastasia menghela napas. Ia tahu bahwa ia bisa saja membuka pintu kamar lelaki yang dipanggilnya abang, lalu berjalan keluar untuk menemuinya dan memastikan bahwa suaminya itu ada di rumah atau tidak. Tapi, Ya Tuhan, Annastasia merasa sangat asing dengan pendamping hidup barunya itu, yang telah bersikap begitu dingin sejak pertama kali mereka bertemu. Annastasia ingat Isaac tidak memandang wajahnya saat ijab qabul. Barangkali Isaac memang tidak pernah benar-benar memandang wajahnya. Sekali lagi, Annastasia menghela napas berat.
***
Menunggu suami. Mungkin itu kosakata yang tepat bagi Annastasia untuk menjelaskan pekerjaannya sekarang. Suami, yang tidak ia cintai, pun tidak pernah ia dekati. Annastasia masih perawan. Isaac belum pernah menggagahinya. Mungkin tidak nafsu atau mungkin juga tidak sudi.
"Abang kok gak dibalas pesanku?", ketik Ann lagi lima belas menit semenjak chat pertamanya dilayangkan. Sebenarnya ia merasa lelah harus terus mengetik ini. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya Isaac yang ia punya saat ini. Hanya Isaac, satu-satunya manusia yang dengannya ia boleh bergantung. Tapi entahlah, jika sampai waktu ke depan, hubungan mereka terus begini. Annastasia berpikir mungkin ada baiknya ia bunuh diri.
"Abang udah berangkat kerja ya?"
Abang, abang, abang, Isaac ngedumel waktu istrinya mengirim rentetan pesan yang memanggilnya "Abang" itu.
"Kalo gue gak ada di rumah, berarti gue lagi di kantor, Ann," balas Isaac sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dia kan bisa cek di kamarku, kenapa harus repot-repot nanya? Mengapa istriku begitu bodoh? Pikir Isaac. Ya Tuhan, apakah Engkau sedang bercanda saat menciptakan gadis bernama "Ann" ini?
"Abang nanti pulang jam berapa?" Annastasia mengirim pesan lagi. Lebih tepatnya, bertanya lagi.
"Terserah gue," jawab Isaac, masih sesingkat pesan sebelumnya dan pesan kemarin-kemarinnya lagi. Tak tanggung-tanggung, ia selalu menggunakan Dirty Language. Bukannya berucap "Aku", "Kamu", ia malah berkata "Gue", "Lo", yang mana sebenarnya sangat tidak sopan.
"Ann kan cuma nanya." Annastasia berusaha memahami gaya bicara Isaac yang "Gue-Lo" itu.
"Malem."
"Oke, Abang. Ann tunggu yaa."
Read.
***
Terhadap Annastasia ini, Isaac sebalnya bukan main. Pertama, Annastasia itu cantik tapi tidak pernah cukup cantik untuk memikat hatinya. Tingkahnya yang masih kekanak-kanakan. Sifatnya yang manja dan kurang mandiri. Sedikit-sedikit mengirim pesan. Sedikit-sedikit bertanya, "Lagi di mana? Kapan pulang? Sama siapa?", Astaga! Isaac berpikir perjodohan ya perjodohan saja. Setelah menikah, hiduplah masing-masing. Tidak perlu ikut campur urusan-Ting! Nah kan, istrinya mengirim pesan lagi.
"Abang, Ann berangkat sekolah dulu yaa."
"Mh!" Isaac membuang napasnya, kasar.
"Terserah lo aja lah, Ann! Lo gak pulang pun, bukan masalah buat gue!" Isaac tidak mengatakan ini tapi kira-kira begitulah arti "Mh!"-nya.
Isaac bahkan belum selesai mengomentari Annastasia dan betapa ia dongkol harus menikah dengan gadis itu ketika Annastasia mengirim pesan lagi.
"Abang, Abang kapan pulang? Abang di mana? Kira-kira lembur atau gimana nanti?"
"Mh!" Isaac membuang napas untuk yang kesekian kalinya.
Read. Isaac malas menjawab. Biar saja, ia memang setega itu mengabaikan istrinya.
***
"Abang, Abang, tadi di sekolah ada Gestapo."
Satu pesan dari Annastasia itu sudah cukup untuk mengganggu suasana hati Isaac sepanjang hari. Lelaki itu menghentikan pekerjaannya di depan laptop. "Gestapo?" Ia keheranan.
Gestapo adalah kelompok polisi rahasia yang direkrut secara rahasia di bawah komando The Holy Lord Nathaniel Rotsfeller untuk menjalani tugas-tugas rahasia. Siapakah itu The Holy Lord Nathaniel Rotsfeller? Dia adalah penguasa sepertiga Dunia Sajada. Dialah orang nomor satu yang paling ditakuti di dunia. Dia, The One and Only God. Sesosok laki-laki bertubuh besar, berwajah menyeramkan dan bersuara berat yang segala perintahnya harus ditaati atau kalau tidak, BURN THEM ALL!!!! Ya, Raja Natahniel tak segan-segan membakar siapapun yang tidak ia sukai. Baginya, nyawa manusia hanyalah masalah angka.
"Ya, it's okay, Ann," jawab Isaac, kali ini kata-katanya agak melembut. Sebab Annastasia berbicara tentang Gestapo. Akan jadi suatu masalah juga kalau Isaac tidak menanggapinya dengan baik.
"Palingan itu cuma pemeriksaan aja," tulis Isaac, sedikit menghibur.
"Enggak, Abang. Kayaknya gak cuma tentang pemeriksaan aja. Tadi itu Ann sempat didaftar, bang. Guru dan murid yang beragama Noktah semuanya dicatat."
Deg! Hati Isaac berdegup kencang. Alarm tanda ketidakberesan bergaung di kepalanya.
Sebagai pemeluk agama Noktah, dan sebagaimana pula Kaum Noktarian lainnya, Isaac dan Annastasia tidak mau tunduk pada Raja Nathaniel, pun tidak mau menyembah dan mengakuinya sebagai Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang mempercayai bahwa Tuhan itu satu dan Kitab Suci Habel adalah seratus persen firman Tuhan. Annastasia dan Isaac sangat setia dengan agama mereka. Sayangnya, mereka, juga para Noktarian yang lain adalah minoritas di Kota Zerubabel, bahkan di seluruh penjuru negeri North Bank.
"Bagaimana ini, bang? Kenapa tiba-tiba Gestapo mendata Kaum Noktarian?" Annastasia terus bertanya dengan khawatir.
Read.
Isaac terdiam membaca pesan itu.
Annastasia membuka matanya perlahan dan langsung disambut oleh pemandangan langit-langit berlampu redup yang menggantung rendah. Awalnya pemandangan itu tampak samar-samar, sebelum akhirnya menjadi jelas. Persis seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya. Namun, Ann tidak pingsan. Ia hanya tertidur terlalu lelap. Ia merasa ia bermimpi dalam tidurnya, sepertinya ia berjalan-jalan ke masa lalunya dan mengenang kepahitan hidupnya. Tentang kecelakaan orang tuanya. Tentang pernikahannya. Tentang kebohongannya di Temple of The Prophet. Ia bahkan masih bisa mendengar sedikit bunyi gemerincing gelang kakinya di hari jadinya sebagai pengantin. Seperti sebuah suara yang mengalir di telinganya, menembus dimensi khayal. Namun, detik berikutnya ketika nyawanya benar-benar sudah pulih, semua kelebat bayangan itu lenyap. Semua bunyi menghilang dan hanya menyisakan hening. Tanpa bangkit dari tidurnya, Ann menoleh ke kanan dan melihat Isaac sedang sibuk mengetik-ngetik di balik meja ko
Mimpi itu berlangsung lama di kepala Ann. Mimpi yang kembali memutar memorinya terdahulu, dan saat ini, Ann seakan bisa mendengar bunyi gemerincing gelang kakinya memenuhi ruangan. Waktu itu adalah pertama kalinya Ann tiba di rumah ini, rumah Isaac yang besar dan luas. Langkah Ann terhenti di ruang ibadah. Ia terpukau dengan hiasan-hiasan dinding yang terukir."Abang punya ruang ibadah. Syukurlah," seru Ann. "Ternyata rumah Isaac tidak seburuk yang aku kira. Laki-laki itu pasti setidaknya cukup perhatian dengan agamanya," batinnya.Isaac tidak menjawab, ia malah pergi ke ruang tengah, tempat segalanya terlihat lebih modern. Ia duduk disana. Tanpa ekspresi. Matanya seakan menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan hal lain."Abang..." seru Ann. Gadis itu mencoba akrab dengan suaminya, yang kemudian dibalas oleh Isaac dengan muka masam.Ann menyerah. Satu penolakan ajakan bicara dari suaminya sudah cukup membuatnya berspekulasi bahwa Isaac bukanlah orang yang r
Akhir dari pertemuan antara Ann dan Isaac adalah... mereka semua menuju Temple of The Prophet untuk meminta kepada para Shalaim tanggal berapa dan hari apa pernikahan seharusnya dilaksanakan. Sementara Tuan dan Nyonya Mendeelev asyik berdiskusi dengan para Shalaim, Ann duduk di lantai di depan gapura Kuil. Ia khusyuk memandangi langit Amonmakh yang keemasan. "Lo bener-bener ngeliat?" tanya Isaac, yang tiba-tiba sudah ada disampingnya. Entah dari mana ia datang. Ann menoleh sebentar, tapi kemudian Isaac membuang muka, sehingga Ann kembali menatap kuil di depannya. "Gue gak denger jawaban lo," desak Isaac. "Enggak," jawab Ann. Lalu, ia diam. "Gue juga enggak ngeliat malaikat dari dalam diri lo," tegas Isaac. "Tapi gue bilang gue liat, karena...." kalimat Isaac tertahan sejenak. "Gue gak mau ngecewain orang tua gue aja." Hening. Dedaunan maple di teras berguguran terseret angin, menyusur masuk ke halaman kuil. Pepohon Mesquite ber
Di antara kelelahan dan tidurnya, di antara jeritan perang dan rudal-rudal yang menghancurkan satu kota, di antara pertengkaran suami istri dan nafsu birahi, Annastasia bermimpi. Dan mimpinya, membawanya ke masa lalu. Ke masa sebelum ia menikah dengan suaminya, Isaac. Berbagai kejadian terasa telah berlalu begitu jauh sekali, seakan semuanya terjadi dalam kehidupan yang sebelumnya, dan tiba-tiba saja kembali sambil membawa memori perasaan yang ganjil. *** Ada saat-saat dimana kamu kehilangan semua yang kamu punya. Ketika kamu gagal. Ketika orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu, dan kamu merasa begitu sendirian. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Kamu hilang arah. Hilang tujuan. Kamu seperti tersesat di sebuah labirin gelap. Kamu mencoba mencari-cari cahaya, tetapi kamu tidak menemukannya. Itulah yang dirasakan Annastasia ketika orang tuanya dinyatakan meninggal. Bahkan dalam mimpi, perasaan kehilangan orang tua sama saja bur
Lalu bersamaan dengan proses reproduksi yang terjadi antara suami istri, Isaac dan Ann, mimpi buruk peperangan kembali muncul menjadi background mengerikan dari kisah mereka. Dini hari, sekitar pukul tiga lewat tujuh, serangan udara meledak di wilayah terluar dari North Bank, tepatnya di Teluk Tengah. Kejadian ini tepat seminggu setelah Rotsfeller menyebarkan surat ancaman lewat udara yang menginstruksikan North Bank untuk menyerah, meletakkan senjata, angkat tangan dan mengibarkan bendera putih. Namun, Raja Armani tak pernah merespon ancaman tersebut dan Raja Nathaniel menganggap itu sebagai sebuah pertentangan. Maka. ia pun merasa bahwa North Bank halal diserbu. "Si Vis Pacem, Para Bellum," pesan The Holy Lord King Nathaniel dalam suatu pidatonya di hadapan seluruh pejabat dan bangsawan Meyhem. Artinya, "Jika Engkau menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang." Sebuah pernyataan yang cukup ironi mengingat ia sendiri yang mencetuskan pera
Ann terjatuh, tetapi ia berhasil bangkit berdiri. Dengan mata yang sama melototnya dengan Isaac, Ann mengacungkan jari tengah. "F*CK YOU!!!" Teriaknya dengan nada yang paling tinggi dan paling kasar yang pernah diteriakkan oleh seorang istri. "GUE JUGA BISA KEJAM SAMA LO, BRENGS*K!!!" Ann menjambak rambut Isaac. Keras. Kuat. Kencang. Seolah-olah seluruh kekesalannya tumpah di jambakan itu. "AARGGHH!!!" Isaac mengaduh. Ia memegangi kepalanya. Ia menginjak kaki Ann dengan kakinya sampai Ann kesakitan dan jambakannya lepas. Isaac mendorong Ann lagi. Ann terjatuh untuk ke sekian kalinya. "OKE, KALAU ITU MAU LO!!!" Seru Isaac. Ia merapihkan kerah bajunya lalu berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya nyolot, menatap tajam. Setelah mengelap keringat dengan punggung tangannya, ia menunjuk Ann, "GUE PASTIIN KALI INI GUE GAK AKAN KALAH DARI LO!!!" Ann berdiri lagi lalu menampar Isaac. PLAAKK!!! Isa
"Sepertinya pernikahan benar-benar mengerikan," gumam Jordan ketika telinganya terus digempur oleh teriakan-teriakan mengerikan dari pertengkaran Isaac dan Ann di kamar sebelah. Di kamar Ann, ia tidur berderet dengan yang lain; Pascal, Mayor dan Emerald. Mayor yang mabuk berat tak bisa menanggapi gumaman Jordan dengan baik. Pascal sudah tertidur pulas, terbang melayang ke alam mimpi. Jadi, tinggal Emerald saja yang tersisa. Emerald, pria religius yang pernah ditinggal mati istrinya. Lelaki berambut ungu itu membalik posisi tidurnya jadi menghadap Jordan, seakan bersiap untuk mendengarkan perbincangan yang panjang dan penuh makna. Alkohol di dalam dirinya sudah mulai berkurang efeknya dan itu sangat membantunya untuk bisa kembali berkonsentrasi. "Abang gak pernah ngertiin, Ann!" samar-samar suara Ann meneriaki keheningan menuju pagi itu. "Jangan bawa-bawa orang tua Ann! Ann pikir Ann mau menikah sama Abang?!" "Benar-benar mengerikan," Jordan menyimpulkan. Serbuan hawa
"Abang kenapa sih?" Ann balas bertanya. Ia merasa tidak terima tiba-tiba dibentak begitu. Pasalnya, ia telah bertanya baik-baik dan tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu kan? Isaac berbalik badan membelakangi meja dan laptopnya. "Ya udah sih lo tidur aja sana.," katanya tanpa merasa bersalah. "Gak usah ganggu gue. Ribet lo!" "Siapa juga yang ganggu!" Ann makin senewen. "Baz!" Isaac berkata dalam bahasa Khorm. Ia menghempaskan satu tangannya ke udara. "Diam!!" Ann mencak-mencak. "Abang egois!! Abang kasar!!" "BAZ!!!" Sampai di detik ini, Isaac mulai khawatir kalau bentakannya didengar oleh teman-temannya di kamar sebelah. Meski begitu, ia tetap saja tidak mampu menahan amarahnya dan makin melengking. "Lo denger gak sih apa kata gue tadi??!!" "ENGGAK!!!" Ann melotot ke suaminya, menantang. Ia berkacak pinggang. "Abang kenapa sih tiba-tiba galak begitu sama Ann?? Ann salah apa?? Abang sadar gak sih kalau selama ini
Annastasia berjalan mondar-mandir di kamar Isaac. Ia menggigiti kuku ibu jarinya, merasa gelisah oleh beberapa hal. Pertama, karena para sahabat Isaac sekarang berada di kamarnya. Kedua, karena dirinya sendiri sekarang berada di kamar suaminya, sebuah kamar yang sangat asing baginya. Apa jadinya sisa malam ini? Ann harus berdua dengan Isaac sampai pagi? Benar begitu? Meski pagi datang tinggal beberapa jam lagi, Ann tetap saja tak sanggup membayangkannya. Situasi begini membuatnya kalut sendiri. Prang! Terdengar bunyi botol pecah dan suara Isaac memarahi temannya. Entah siapa yang telah memecahkan botol, tapi pasti itu akan menambah kerepotan suaminya. Ann ingin menarik gerendel pintu dan keluar, tetapi ia ingat pesan Isaac tadi bahwa ia tidak boleh keluar dan harus tetap diam di dalam. Maka, ia pun diam. Terdengar suara teman Isaac yang lain meracau entah apa, namanya juga orang mabuk, kadang suka bicara hal yang tidak jelas. Terdengar juga suara Isaac meladeni oceh