Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.
Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.
“Bagaimana keadaanmu, Al?”
“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.
Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”
Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.
Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Aku baik-baik saja! Mungkin pengaruh dari kecelakaan itu sehingga sikapku sedikit berubah. Tapi aku tidak hilang ingatan.”
“Itu pertama kalinya kau memanggilku kakak setelah sembilan tahun kita menjadi keluarga. Jujur aku merasa senang, Al,” tutur Angga.
Rara terdiam. Dia bingung harus berkata apa. Rara tidak tahu masalah keluarga Aldebaran. Jika dia salah menjawab, Angga akan berpikir ada yang salah dengan Aldebaran. Oh astaga, Rara kehabisan akal mencari alasan.
“Apa kau sudah melihat asisten pribadiku?” Rara mengalihkan topik, berharap Angga tidak lagi membahas mengenai masalah keluarga mereka.
“Aku berencana ke Rumah Sakit malam nanti. Kudengar mobilmu menabrak Jihan karena kehilangan kendali akibat rem mobil yang blong.”
“Iya, polisi sedang menyelidiki kasus itu. Namun, aku tidak mengingat apa yang terjadi saat itu.” Rara menegakkan badannya agar terlihat alami seperti Aldebaran.
“Kau tidak perlu cemas. Pelakunya pasti akan tertangkap!” Angga menepuk pelan bahu Aldebaran.
“Istirahatlah,” kata Angga lagi. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak keluar.
Rara mengembuskan napas lega. Sejak tadi jantungnya bertalu bagai gendang. Rara melempar tubuhnya dengan perasaan yang berkecamuk. Dia menggaruk-garuk kepala dengan frustasi.
“Aku bisa gila jika terus berada di dalam kamar.”
Rara kembali bangun dan melirik ke arah jam dinding. Dia harus membeli ponsel. Rara memeriksa dompet Aldebaran. Sudut bibirnya terangkat, untunglah dia masih mengingat pin dari kartu kredit Aldebaran.
Rara bergegas menuruni tangga. Dari jauh seorang wanita berkisaran usia empat puluhan baru saja masuk ke dalam rumah. Tatapannya masih meraba melihat ekspresi Aldebaran saat mata mereka bertemu.
Apa dia ibunya Kak Angga? Rara memelankan langkahnya saat jarak mereka makin dekat.
“Hai, Ibu. Aku akan keluar sebentar,” katanya dengan lembut.
Ivanka menahan langkahnya, dia tampak syok mendengar perkataan Aldebaran tadi. Angga yang tidak sengaja melihat itu menatap punggung Aldebaran dengan tatapan tidak terbaca.
Pandangan Ivanka beralih ke arah Angga dengan penuh tanda tanya. Ivanka bergegas naik dan menghampiri Angga.
“Apa kau lihat tadi? Bukankah sikapnya aneh?” Ivanka masih terkejut dan merasa bingung.
“Al pasti mengalami amnesia. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan ‘kak’!”
Angga kembali menuju kamarnya membiarkan Ivanka tenggelam dengan pikirannya.
***
Rara baru saja sampai di pusat perbelanjaan. Dia memakai topi dan masker untuk menutupi wajahnya. Rara segera turun dan berjalan masuk ke dalam.
Pengunjung tampak sangat ramai di akhir pekan. Rara bahkan kewalahan berusaha untuk terlihat tidak mencurigakan. Beberapa pasang mata memperhatikannya. Mungkin saja mereka mengenal postur tubuh Aldebaran.
Mendadak tubuh Aldebaran ditarik seseorang dan membawanya masuk ke dalam toilet wanita.
Rara membelalak, wanita itu tanpa permisi menyentuh wajah Aldebaran sesuka hatinya. Dia terus menghalangi Rara yang berusaha keluar.
“Kau tidak bisa mengelabuiku Al. Sekalipun kau menutup seluruh tubuhmu, aku tetap mengenalimu,” ucap wanita itu dengan penuh gairah.
“Siapa kau? Menjauh dariku!” sentak Rara merasa kesal.
Wanita berpakaian seksi itu menggeleng tidak mau melepaskan. Dia terus bergelayut di dada bidang Aldebaran. Rara tidak tahan lagi menghadapi wanita tidak waras itu.
“Apa yang kau lakukan?” Rara menatap bagian belahan dada yang begitu menonjol. Pakaiannya yang seksi membuat Rara bergidik ngeri.
Wanita gila ini mengira aku Aldebaran. Astaga, apa pakaiannya kekurangan bahan? Seperti inikah selera pria arogan ini? Menyusahkan sekali! Rara membatin kesal.
Dia harus mencari cara untuk melepas diri dari wanita tidak waras itu.
Wanita itu meraba bagian dada Aldebaran membuat Rara merinding. Rara bergerak cepat dan membekap kedua tangan wanita itu ke belakang pinggulnya. Rara menjambak rambutnya—menarik ke belakang membuat wanita itu mengeluarkan desahan manja.
“Apa harus aku pancing dulu baru kau bereaksi, hm?!”
Rara menarik rambutnya lebih keras. “Jangan coba-coba mendekatiku jika tidak ingin rambutmu terlepas habis dari tempatnya!”
“Wah, Al. Kau makin liar saja. Aku merindukan permainan ranjangmu, Sayang. Apa kita harus melakukannya di sini?” Wanita itu tertawa geli.
Rara menatap jijik wanita itu. Dia melepas tangannya dengan kasar.
“Aku sudah punya wanita lain. Aku bahkan tidak tertarik lagi padamu!”
Rara beranjak keluar, wanita itu mengentak kaki dengan kesal.
Rara menarik napas lega. Dia sudah berhasil lolos dari wanita tidak waras itu. Untunglah tidak ada siapa pun dalam toilet, jika tidak—mereka akan meneriakinya.
Rara memperbaiki pakaiannya dan melanjutkan langkah. Ternyata tidak mudah menjadi Aldebaran. Dia harus siap menghadapi apa pun yang terkait dengan kehidupan Aldebaran.
Rara kembali bergidik ngeri membayangkan kejadian tadi. Derap langkahnya makin cepat, memandang awas keadaan sekitar. Jangan sampai wanita seperti tadi muncul lagi.
Rara segera mendekat ke arah yang ia tuju, membeli ponsel baru dan segera keluar dari tempat ramai itu.
Baru saja Rara melempar punggungnya pada sandaran kursi mobil, suara ketukan dari luar membuatnya terlonjak.
“Sialan! Wanita gila itu lagi!” umpat Rara tidak mau menghiraukannya.
“Cepat jalan, Pak!” titah Rara melirik ke arah wanita itu yang terus mengetuk-ngetuk kaca mobil.
“Aku harus waspada mulai sekarang.”
***
Rara mengambil langkah panjang memasuki mansion megah keluarga Mahesa. Alisnya sedikit berkerut melihat orang tua Aldebaran sedang duduk santai di ruang keluarga.
“Dari mana saja kau? Bukankah kau harus istirahat?” Suara berat pria berpostur tinggi dengan perawakan yang sama persis dengan Aldebaran.
Pasti dia ayah Pak Al. Aku harus menyapa apa? Rara memperlambat langkahnya.
“Hai, Ayah.” Rara menoleh ke arah Ivanka. “Hai juga, Bu.”
Rara beranjak naik menuju kamar Aldebaran sambil bersenandung.
“Apa benar kata Angga kalau Al hilang ingatan?” tanya Ivanka menoleh kaget ke arah Mahesa.
Mahesa diam saja, tidak menanggapi. Dia tampak memikirkan sesuatu.
Rara menghempas tubuhnya di atas kasur. Benar-benar melelahkan. Dia sudah memasang SIM card dan menyimpan nomor Dion yang sempat ditulis di kertas.
Rara mengirim pesan memberitahukan nomor barunya sebagai Aldebaran. Sedetik kemudian, ponsel Rara berdering—nama Dion terpampang sebagai penelepon pertama.
“Ada apa?”
“Bisakah kau datang ke Bar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu!”
Alis Rara bertaut. “Katakan saja lewat telepon. Aku baru saja pulang.”
“Ini urgent! Tolonglah!”
Rara menatap layar ponselnya. Dia tidak paham dengan kata asing yang diucapkan Dion.
“Baiklah, aku akan segera ke sana!”
Rara memutuskan panggilan lebih dulu. Dia meraih jaket yang dilempar begitu saja di sofa dan melangkah pergi.
Dua puluh menit kemudian, mobil Ferarri Aldebaran menepi di depan Bar, Rara segera turun. Dari kejauhan Rara melihat Dion sedang melayani pelanggan.
Rara mendekat setelah Dion melambaikan tangan memintanya masuk. Senyum Rara mengembang berjalan ke arah Dion. Rara berhenti di tempat saat melihat punggung seorang wanita yang kini hanya berjarak satu meter dengannya. Orang yang dilayani Dion adalah Monika. Dia membalikkan badannya, mengulas senyum melihat wajah Rara yang sudah menegang sejak tadi.
“Hai, Al. Bagaimana keadaanmu?”
Rara melirik ke arah Dion yang menggerakkan bibirnya mengucap kata ‘sorry’.
Habislah aku, Dion sialan! batin Rara. []
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara menggeliat, dia menoleh ke arah jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia beberapa kali mengerjap masih dengan pandangan yang sama saat netra nya menatap langit kamar berukiran mewah itu. Rara segera bangkit dan duduk bersila, pandangannya mengarah ke arah cermin—melihat wajah tampan Aldebaran ketika bangun tidur. Dia tidak menampik, wajah pria arogan ini benar-benar tampan. Pahatan sempurna dari kedua alis tebal yang membingkai dua manik mata yang teduh. Hidung mancung yang sesuai dengan bentuk wajah oriental serta rambut-rambut halus menghiasi area dagu. Begitu maskulin dan sempurna bagi setiap penggemar setia seorang Aldebaran. Rara masih terpaku sejenak memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Spontan, senyumnya melengkung memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar di sebelah kiri. Rara tersentak. Sejak kapan Aldebaran punya lesung pipi? Kenapa juga dia harus tersenyum melihat wajah orang lain dari cermin?!
Rara baru saja habis mandi. Dia tengah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan ke Rumah Sakit untuk membawa ibunya pulang. Setelan kasual yang dia pakai cukup baginya. Semoga tidak menyita perhatian jika ada yang melihat Aldebaran. Rara meraih kunci mobil dan segera beranjak. Saat Rara membuka pintu, sontak membuatnya terkejut. Dia melihat Angga sudah berdiri di depan pintu hendak untuk mengetuk. “Ka ... apa yang kaulakukan?” sembur Rara begitu saja. Hampir saja dia kelepasan memanggil dengan sebutan kakak. Angga melebarkan senyum. Dia menurunkan tangannya dan sedikit menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal. “Kau mau keluar?” Rara menunjukkan mimik dingin. “Bukan urusanmu!” Rara hendak melangkah, tetapi Angga lebih dulu menghalangi jalannya. “Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat. Siapa tahu bisa mengembalikan sedikit ingatan
Saat ini tim medis disibukkan dengan Rara yang tiba-tiba saja bangun. Bagaimana tidak, jiwa Aldebaran dalam tubuh Rara telah kembali. Tim medis bergegas memeriksa keadaan Rara. Aldebaran yang berada di tubuh Rara masih setengah sadar dan belum sepenuhnya menyadari kenyataan. Dia memerintahkan beberapa perawat untuk melepaskan benda menyebalkan yang menempel di tubuhnya. “Lepaskan semua yang ada di tubuhku!” teriaknya. Beberapa perawat tidak bergeming, mereka menunggu arahan dari dokter yang menanganinya. “Anda tidak bisa melepasnya begitu saja, Nona. Anda baru saja sadar setelah koma hampir dua bulan lamanya,” jawab salah seorang dokter paruh baya. “Dua bulan aku koma? Dan kau panggil aku siapa? Nona?” Aldebaran berusaha bangun, sayangnya tubuh Rara belum pulih sepenuhnya—dia kembali terbaring. “Tunggu .... “ Aldebaran sontak menyadari sesuatu.
Aldebaran yang baru saja turun dari kamar mendadak menegang di tempat. Pijakannya hampir saja membuatnya terjatuh jika saja dia tidak berpegang dengan cepat. Rara melempar senyum manis saat melihat Aldebaran tak bergeming di tempat. Angga yang baru saja masuk dari belakang membawa beberapa paper bag milik Rara. Mereka baru saja habis belanja. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Aldebaran bergegas turun menghampiri Rara. Angga menengahi dan berdiri menghalangi Aldebaran untuk mendekati Rara. “Aku yang membawanya pulang!” sahut Angga. Aldebaran menoleh tidak suka. Apa yang ada di pikiran Angga?! “Bagaimana bisa kau membawanya ke rumah ini? Dia punya rumah dan dia juga masih punya ibu!” “Aku juga akan membawa ibunya kemari. Bukankah kau yang menabraknya hingga dia terluka? Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanm