Share

15 || Kehidupan Baru

Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.  

“Bagaimana keadaanmu, Al?”

“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.

Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”

Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.

Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Aku baik-baik saja! Mungkin pengaruh dari kecelakaan itu sehingga sikapku sedikit berubah. Tapi aku tidak hilang ingatan.”

“Itu pertama kalinya kau memanggilku kakak setelah sembilan tahun kita menjadi keluarga. Jujur aku merasa senang, Al,” tutur Angga.

Rara terdiam. Dia bingung harus berkata apa. Rara tidak tahu masalah keluarga Aldebaran. Jika dia salah menjawab, Angga akan berpikir ada yang salah dengan Aldebaran. Oh astaga, Rara kehabisan akal mencari alasan.

“Apa kau sudah melihat asisten pribadiku?” Rara mengalihkan topik, berharap Angga tidak lagi membahas mengenai masalah keluarga mereka.

“Aku berencana ke Rumah Sakit malam nanti. Kudengar mobilmu menabrak Jihan karena kehilangan kendali akibat rem mobil yang blong.”

“Iya, polisi sedang menyelidiki kasus itu. Namun, aku tidak mengingat apa yang terjadi saat itu.” Rara menegakkan badannya agar terlihat alami seperti Aldebaran.

“Kau tidak perlu cemas. Pelakunya pasti akan tertangkap!” Angga menepuk pelan bahu Aldebaran.

“Istirahatlah,” kata Angga lagi. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak keluar.

Rara mengembuskan napas lega. Sejak tadi jantungnya bertalu bagai gendang. Rara melempar tubuhnya dengan perasaan yang berkecamuk. Dia menggaruk-garuk kepala dengan frustasi.

“Aku bisa gila jika terus berada di dalam kamar.”

Rara kembali bangun dan melirik ke arah jam dinding. Dia harus membeli ponsel. Rara memeriksa dompet Aldebaran. Sudut bibirnya terangkat, untunglah dia masih mengingat pin dari kartu kredit Aldebaran.

Rara bergegas menuruni tangga. Dari jauh seorang wanita berkisaran usia empat puluhan baru saja masuk ke dalam rumah. Tatapannya masih meraba melihat ekspresi Aldebaran saat mata mereka bertemu.

Apa dia ibunya Kak Angga? Rara memelankan langkahnya saat jarak mereka makin dekat.

“Hai, Ibu. Aku akan keluar sebentar,” katanya dengan lembut.

Ivanka menahan langkahnya, dia tampak syok mendengar perkataan Aldebaran tadi. Angga yang tidak sengaja melihat itu menatap punggung Aldebaran dengan tatapan tidak terbaca.

Pandangan Ivanka beralih ke arah Angga dengan penuh tanda tanya. Ivanka bergegas naik dan menghampiri Angga.

“Apa kau lihat tadi? Bukankah sikapnya aneh?” Ivanka masih terkejut dan merasa bingung.

“Al pasti mengalami amnesia. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan ‘kak’!”

Angga kembali menuju kamarnya membiarkan Ivanka tenggelam dengan pikirannya.

***

Rara baru saja sampai di pusat perbelanjaan. Dia memakai topi dan masker untuk menutupi wajahnya. Rara segera turun dan berjalan masuk ke dalam.

Pengunjung tampak sangat ramai di akhir pekan. Rara bahkan kewalahan berusaha untuk terlihat tidak mencurigakan. Beberapa pasang mata memperhatikannya. Mungkin saja mereka mengenal postur tubuh Aldebaran.

Mendadak tubuh Aldebaran ditarik seseorang dan membawanya masuk ke dalam toilet wanita.

Rara membelalak, wanita itu tanpa permisi menyentuh wajah Aldebaran sesuka hatinya. Dia terus menghalangi Rara yang berusaha keluar.

“Kau tidak bisa mengelabuiku Al. Sekalipun kau menutup seluruh tubuhmu, aku tetap mengenalimu,” ucap wanita itu dengan penuh gairah.

“Siapa kau? Menjauh dariku!” sentak Rara merasa kesal.

Wanita berpakaian seksi itu menggeleng tidak mau melepaskan. Dia terus bergelayut di dada bidang Aldebaran. Rara tidak tahan lagi menghadapi wanita tidak waras itu.

“Apa yang kau lakukan?” Rara menatap bagian belahan dada yang begitu menonjol. Pakaiannya yang seksi membuat Rara bergidik ngeri.

Wanita gila ini mengira aku Aldebaran. Astaga, apa pakaiannya kekurangan bahan? Seperti inikah selera pria arogan ini? Menyusahkan sekali! Rara membatin kesal.

Dia harus mencari cara untuk melepas diri dari wanita tidak waras itu.

Wanita itu meraba bagian dada Aldebaran membuat Rara merinding. Rara bergerak cepat dan membekap kedua tangan wanita itu ke belakang pinggulnya. Rara menjambak rambutnya—menarik ke belakang membuat wanita itu mengeluarkan desahan manja.

“Apa harus aku pancing dulu baru kau bereaksi, hm?!”

Rara menarik rambutnya lebih keras. “Jangan coba-coba mendekatiku jika tidak ingin rambutmu terlepas habis dari tempatnya!”

“Wah, Al. Kau makin liar saja. Aku merindukan permainan ranjangmu, Sayang. Apa kita harus melakukannya di sini?” Wanita itu tertawa geli.

Rara menatap jijik wanita itu. Dia melepas tangannya dengan kasar.

“Aku sudah punya wanita lain. Aku bahkan tidak tertarik lagi padamu!”

Rara beranjak keluar, wanita itu mengentak kaki dengan kesal.

Rara menarik napas lega. Dia sudah berhasil lolos dari wanita tidak waras itu. Untunglah tidak ada siapa pun dalam toilet, jika tidak—mereka akan meneriakinya.

Rara memperbaiki pakaiannya dan melanjutkan langkah. Ternyata tidak mudah menjadi Aldebaran. Dia harus siap menghadapi apa pun yang terkait dengan kehidupan Aldebaran.

Rara kembali bergidik ngeri membayangkan kejadian tadi. Derap langkahnya makin cepat, memandang awas keadaan sekitar. Jangan sampai wanita seperti tadi muncul lagi.

Rara segera mendekat ke arah yang ia tuju, membeli ponsel baru dan segera keluar dari tempat ramai itu.

Baru saja Rara melempar punggungnya pada sandaran kursi mobil, suara ketukan dari luar membuatnya terlonjak.

“Sialan! Wanita gila itu lagi!” umpat Rara tidak mau menghiraukannya.

“Cepat jalan, Pak!” titah Rara melirik ke arah wanita itu yang terus mengetuk-ngetuk kaca mobil.

“Aku harus waspada mulai sekarang.”

***

Rara mengambil langkah panjang memasuki mansion megah keluarga Mahesa. Alisnya sedikit berkerut melihat orang tua Aldebaran sedang duduk santai di ruang keluarga.

“Dari mana saja kau? Bukankah kau harus istirahat?” Suara berat pria berpostur tinggi dengan perawakan yang sama persis dengan Aldebaran.

Pasti dia ayah Pak Al. Aku harus menyapa apa? Rara memperlambat langkahnya.

“Hai, Ayah.” Rara menoleh ke arah Ivanka. “Hai juga, Bu.”

Rara beranjak naik menuju kamar Aldebaran sambil bersenandung.

“Apa benar kata Angga kalau Al hilang ingatan?” tanya Ivanka menoleh kaget ke arah Mahesa.

Mahesa diam saja, tidak menanggapi. Dia tampak memikirkan sesuatu.

Rara menghempas tubuhnya di atas kasur. Benar-benar melelahkan. Dia sudah memasang SIM card dan menyimpan nomor Dion yang sempat ditulis di kertas.

Rara mengirim pesan memberitahukan nomor barunya sebagai Aldebaran. Sedetik kemudian, ponsel Rara berdering—nama Dion terpampang sebagai penelepon pertama.

“Ada apa?”

“Bisakah kau datang ke Bar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu!”

Alis Rara bertaut. “Katakan saja lewat telepon. Aku baru saja pulang.”

“Ini urgent! Tolonglah!”

Rara menatap layar ponselnya. Dia tidak paham dengan kata asing yang diucapkan Dion.

“Baiklah, aku akan segera ke sana!”

Rara memutuskan panggilan lebih dulu. Dia meraih jaket yang dilempar begitu saja di sofa dan melangkah pergi.

Dua puluh menit kemudian, mobil Ferarri Aldebaran menepi di depan Bar, Rara segera turun. Dari kejauhan Rara melihat Dion sedang melayani pelanggan.

Rara mendekat setelah Dion melambaikan tangan memintanya masuk. Senyum Rara mengembang berjalan ke arah Dion. Rara berhenti di tempat saat melihat punggung seorang wanita yang kini hanya berjarak satu meter dengannya. Orang yang dilayani Dion adalah Monika. Dia membalikkan badannya, mengulas senyum melihat wajah Rara yang sudah menegang sejak tadi.

“Hai, Al. Bagaimana keadaanmu?”

Rara melirik ke arah Dion yang menggerakkan bibirnya mengucap kata ‘sorry’.

Habislah aku, Dion sialan! batin Rara. []

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status