Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender.
Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika.
Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran.
“Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu.
Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk.
“Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara menggeliat, dia menoleh ke arah jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia beberapa kali mengerjap masih dengan pandangan yang sama saat netra nya menatap langit kamar berukiran mewah itu. Rara segera bangkit dan duduk bersila, pandangannya mengarah ke arah cermin—melihat wajah tampan Aldebaran ketika bangun tidur. Dia tidak menampik, wajah pria arogan ini benar-benar tampan. Pahatan sempurna dari kedua alis tebal yang membingkai dua manik mata yang teduh. Hidung mancung yang sesuai dengan bentuk wajah oriental serta rambut-rambut halus menghiasi area dagu. Begitu maskulin dan sempurna bagi setiap penggemar setia seorang Aldebaran. Rara masih terpaku sejenak memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Spontan, senyumnya melengkung memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar di sebelah kiri. Rara tersentak. Sejak kapan Aldebaran punya lesung pipi? Kenapa juga dia harus tersenyum melihat wajah orang lain dari cermin?!
Rara baru saja habis mandi. Dia tengah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan ke Rumah Sakit untuk membawa ibunya pulang. Setelan kasual yang dia pakai cukup baginya. Semoga tidak menyita perhatian jika ada yang melihat Aldebaran. Rara meraih kunci mobil dan segera beranjak. Saat Rara membuka pintu, sontak membuatnya terkejut. Dia melihat Angga sudah berdiri di depan pintu hendak untuk mengetuk. “Ka ... apa yang kaulakukan?” sembur Rara begitu saja. Hampir saja dia kelepasan memanggil dengan sebutan kakak. Angga melebarkan senyum. Dia menurunkan tangannya dan sedikit menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal. “Kau mau keluar?” Rara menunjukkan mimik dingin. “Bukan urusanmu!” Rara hendak melangkah, tetapi Angga lebih dulu menghalangi jalannya. “Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat. Siapa tahu bisa mengembalikan sedikit ingatan
Saat ini tim medis disibukkan dengan Rara yang tiba-tiba saja bangun. Bagaimana tidak, jiwa Aldebaran dalam tubuh Rara telah kembali. Tim medis bergegas memeriksa keadaan Rara. Aldebaran yang berada di tubuh Rara masih setengah sadar dan belum sepenuhnya menyadari kenyataan. Dia memerintahkan beberapa perawat untuk melepaskan benda menyebalkan yang menempel di tubuhnya. “Lepaskan semua yang ada di tubuhku!” teriaknya. Beberapa perawat tidak bergeming, mereka menunggu arahan dari dokter yang menanganinya. “Anda tidak bisa melepasnya begitu saja, Nona. Anda baru saja sadar setelah koma hampir dua bulan lamanya,” jawab salah seorang dokter paruh baya. “Dua bulan aku koma? Dan kau panggil aku siapa? Nona?” Aldebaran berusaha bangun, sayangnya tubuh Rara belum pulih sepenuhnya—dia kembali terbaring. “Tunggu .... “ Aldebaran sontak menyadari sesuatu.
Aldebaran yang baru saja turun dari kamar mendadak menegang di tempat. Pijakannya hampir saja membuatnya terjatuh jika saja dia tidak berpegang dengan cepat. Rara melempar senyum manis saat melihat Aldebaran tak bergeming di tempat. Angga yang baru saja masuk dari belakang membawa beberapa paper bag milik Rara. Mereka baru saja habis belanja. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Aldebaran bergegas turun menghampiri Rara. Angga menengahi dan berdiri menghalangi Aldebaran untuk mendekati Rara. “Aku yang membawanya pulang!” sahut Angga. Aldebaran menoleh tidak suka. Apa yang ada di pikiran Angga?! “Bagaimana bisa kau membawanya ke rumah ini? Dia punya rumah dan dia juga masih punya ibu!” “Aku juga akan membawa ibunya kemari. Bukankah kau yang menabraknya hingga dia terluka? Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanm
Rara saat ini berada di depan rumah Nirmala. Dia menimbang sejenak untuk menyampaikan alasan pada ibunya seperti yang diminta Aldebaran. Dia tidak pernah sama sekali menyangka harus berbohong pada ibunya lagi. Namun, dia tidak ada pilihan. Apa yang akan Nirmala pikirkan ketika tahu Rara sudah sadar dan sama sekali tidak datang menemuinya. Rara benar-benar bingung, dia menghela napas panjang dan bersiap untuk masuk. Langkahnya mendadak terhenti saat Range Rover silver milik Angga memasuki pekarangan rumah. Tidak hanya sendiri, ada Aldebaran juga di dalam sana. Rara dengan pakaian casual yang tidak pernah dia pakai sebelumnya sangat terlihat feminim. Itu bukan gaya Rara. Rara hanya melihat Aldebaran yang masih mematung bersikap acuh masuk ke dalam lebih dulu dan diikuti Angga. “Apa itu tadi?! Sejak kapan aku memakai baju seperti itu? Pak Al kau ....” Aldebaran mengambil l