“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”
“Saya akan membicarakannya dengan orang tua saya!” kata Okta dengan lantang dan aku hanya bisa menghela napas saat mama dan kak Disa begitu senang dan bangganya melihat Okta melakukan ini.
“Baik, kami akan datang lagi,” ucapnya yang seolah mengancam kami. Aku tahu, tidak ada pertemanan yang tulus jika berurusan dengan uang, semua berlaku bagi siapa pun dimuka bumi ini.
Namun, yang paling ku sesalkan dari semua itu adalah aku tidak berdaya untuk mencegahnya dan aku pun memilih untuk diam dan mempersiapkan segala kemungkinnya. Langkah pertama yang harus ku lakukan adalah mendapat pekerjaan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kebutuhan kami nanti.
---***---
Dua hari berlalu, saat papa sudah diperbolehkan pulang. Lebih tepatnya, papa ingin dirawat di rumah karena khawatir kami tidak bisa membayar biaya rumah sakit. Dengan keadaan rumah pinggir kota yang cukup sederhana. Aku harus memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya.
“Dara! Ini bagaimana caranya? Aku kan nggak pernah ngepel!” teriak kak Disa yang aku ku suruh untuk mengepel kamarnya. Hanya mengepel kamar, kenapa ia selalu heboh dengan sesuatu yang seharusnya tidak terlalu sulit.
“Iya tunggu bentar ya kak.” Aku pun segera bergegas untuk pergi dan melihatnya. Saat masuk dan aku melihat semuanya, kepalaku tiba-tiba saja merasa pening saat melihat kekacauan yang diciptakan kak Disa.
Lihat saja, ia tidak memeras kain pelnya. Hanya merendamnya pada timba, lalu mengangkatnya dan memoleskannya pada keramik warna putih itu dan hasilnya seluruh lantai kamar begitu basah. Aku tidak memahami bagaimana ia tidak bisa melakukan hal sesederhana ini.
“Aku nggak ngerti kenapa lama keringnya,” katanya dengan ekspresi jengkel.
“Bagaimana bisa kering, kalau kak Disa tidak memeras kain pelnya,” seruku dan kak Disa memandangiku dengan kesal.
“Itu karena menjijikan. Lantai ini kan kotor, lagi pula kamu tidak bisa apa belikan kita vakum cleaner dari pada alat yang uda ketinggalan jaman ini!” pekik kak Disa.
Prang
Bersamaan dengan itu, kak Disa membuang alat pelnya dan pergi begitu saja. Aku benar-benar bingung harus memulai dari mana?
Aku pun mencoba memperbaiki pekerjaan kak Disa, sampai aku mendengarkan pintu depan terbuka dan aku mencoba untuk mengintipnya. Aku melihat Okta dengan tante Maya masuk.
“Sudah datang, ‘Jeng?” sambut mama yang heboh. Apa memang mereka ingin menyelesaikan masalah ini dengan meminta bantuan mereka? Atas dasar apa?
“Dara, ada Okta!” mama berteriak dan mau tidak mau aku harus segera keluar dari kamar.
Aku melihat mereka hadir dengan wajah penuh kegembiraan. Entah aku merasa, sesuatu hal akan terjadi sekarang. Aku pun memilih duduk di sebelah mama dengan sesekali memandang malas Okta yang tak henti memandangiku. Harus berapa kali aku mengatakan untuk lebih perhatian saja pada kak Disa.
“Bagaimana mengenai hutang piutang mas Yuda?” Tante Maya mengawali pembicaraan. Terlihat sekali jika ia begitu peduli terhadap keluarga kami.
Mama menghela napas. “Mereka kemarin juga menghubungi Disa terus-menerus. Akhirnya Dara yang pergi untuk bertemu mereka,” terang mama dan itu memang benar, aku yang datang untuk menandatangani perjanjian dengan orang-orang yang papa sebut sebagai teman akrab itu.
Tante Maya memandangku. “Kamu nggak perlu lagi mengurusnya. Om Danu sudah mengirim pengacara. Jadi, sekarang kalian bisa tenang,” ucapnya yang entah membuatku harus tenang atau terbebanu.
“Terima kasih ya, Jeng.” Mama senang, hampir saja akan menangis.
“Makasih banyak ya tante Maya,” seru kak Disa yang bahkan telah menangis senang.
Sementara aku, hanya terlihat seperti seseorang yang mencoba untuk bertahan dalam situasi yang menjemukan ini. Okta pun menyadarinya dan aku benci untuk mengakui jika saat ini kami memang sangat membutuhkan bantuannya.
“Bagaimana dengan tawaran kerja diperusahaan papa, Ra?” Lagi, kenapa membahas ini di sini dengan para orang tua dan dalam situasi seperti ini? Kalau hanya aku dan dia, aku benar-benar akan membentaknya.
“Terima saja Ra, kan enak ada Okta yang membimbing,” sahut mama dan aku hanya bisa menunjukkan senyumku yang hambar. Apa mama lupa? Mereka sudah membantu untuk urusan hutang, lalu sekarang bekerja di perusahaannya? Apa kita tidak terlihat seperti parasite?
Okta masih memandangiku dan terlihat serius untuk memaksaku kali ini. Dia mulai lagi ingin mengajakku berdebat untuk ini. Sebenarnya, keberanian itu datang dari mana sih?
“Aku masih ada wawancara besok,”tolakku yang memang benar. Dua hari yang lalu, saat di rumah sakit aku segera mencari lowongan pekerjaan lewat internet. Ada 3 perusahaan yang harus ku datangi. Salah satunya adalah perusahaan yang bernama Syahrend grup yang terkenal dengan system kerjanya yang mencekik.
“Kalau begitu, bagaimana kalau Disa saja?” tawar mama yang kali ini menggunakan seluruh kemampuannya untuk setidaknya salah satu anaknya mau menjadi bagian dari kekasih Okta. Mama benar-benar tidak tahu malu dan melewati batas, kalau papa tahu pasti dapat teguran.
Tante Maya tersenyum, berbeda saat Okta menawarkan pekerjaan kepadaku. Apa yang sebenarnya terjadi?
Melihat reaksi tante Maya yang senang, kak Disa seketika melanjutkan serangannya. “Disa mau tante, itu pun kalau Okta menyetujuinya,” kata kak Disa yang tentu dalam hatinya kegirangan jika ini sampai terjadi.
“Tentu saja, tante senang kalau kamu ikutan kerja. Jadi, kalian bisa bekerja dua-duanya,” ucap tante Maya yang memandangi kami berdua secara bergantian. Aku pun mencoba untuk tersenyum, meskipun sangat sulit untuk tersenyum lepas saat terjebak dalam kondisi semacam ini.
Kemudian tante Maya memandang mama. “Begini, Jeng … sebenarnya ini sudah lama tapi baru bisa kami sampaikan sekarang. Itu, tentang perjodohan yang waktu itu pernah kita bahas. Antara Okta dengan Disa.”
Oh, jadi … ini adalah ujung dari kebaikan itu? Benar, tidak ada kebaikan yang mutlak. Hanya mungkin, papa adalah satu di antara ribuan orang yang tidak pernah tanggung-tanggung untuk membantu sahabatnya. Namun, lihatlah sekarang ini, tidak ada yang berpihak pada papa. Mereka hanya sibuk untuk menghintung tingkat kerugian yang mereka peroleh.
Aku memandangi Okta yang sepertinya juga terkejut. Terkadang, tak selamanya apa yang diputuskan oleh orang tua adalah yang terbaik. Mungkin, aku menatakan ini karena ketidak relaanku untuk melepaskannya bersama kak Disa, hanya saja meskipun kami bersama, itu tidak akan membuat kami bisa bersatu. Jadi, seharusnya sekarang aku bisa melepaskannya dengan tenang.
“Aku bikinkan teh ya tante, Okta ….” Aku pun bangkit, berusaha mencari alasan untuk keluar dalam situasi ini.
Ada satu hal lagi yang membuatku tak ingin terlibat dalam situasi ini, karena tidak ada pergerakan untuk mencoba memperjuangkan. Tidak ada niat dari Okta untuk memulai itu. Jadi pada akhirnya, semuanya berakhir dengan kami menjadi pecundang yang tidak bisa lepas dari masalah, tapi masih mencoba untuk memungkiri dengan cara melarikan diri. Karena itu, dengan menerima keadaan yang seperti ini adalah akhir dari keputusan kita. Tidak ada hal yang perlu disesalkan karena jalan ini adalah hasil akhir dari melarikan diri dari kenyataan.
"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini."Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka
Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri."Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu."Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas."Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng."Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.Pernah sekali Bagas dan
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Setelah kejadian itu, aku sering sekali diperhatikan oleh karyawan cewek yang begitu menyukai Regan. Tak jarang dari divisi lain mampir kemari hanya untuk melihat aku yang katanya cewek paling diinginkan pak Regan seentero Syahrend Group yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Aku tidak terlalu yakin, tapi Sisi menceritakan hal ini berulang kali dan menggebu-gebu.Seperti saat ini, sepertinya kami harus lembur dan setiap hari harus lembur. Ini sebenarnya bagus, karena aku tidak perlu pusing-pusing untuk menghindari makan malam dengan keluarganya Okta. Aku juga lelah melihat kak Disa berakting atau Okta yang tidak bisa sadar jika pada akhirnya ia harus lebih memperhatikan kak Disa dari pada aku.Meskipun pada akhirnya Okta selalu mengirim pesan untuk membuatku segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku selalu mengabaikannya, lama-lama aku merasa risih juga dengan bom pesan darinya.“Ada apa? Kelihatannya kamu
Saat acara makan dimulai, rasanya susah untuk membuka mulutku karena ia terus menatapku dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan saat ia berhasil menunjukkan tatapan seperti itu. Maksudku, bisa dikatakan kami hanya bertemu beberapa kali tapi ia seolah tahu segalanya tentangku.“Jadi Okta itu siapa? Pacar kamu?” Sisi yang tidak peka ini bertanya dengan sangat lantang dan jelas, membuatku harus melirik pada Regan serta Guntur. Namun, ini bagus juga maksudku aku bisa sekaligus menjelaskan jika saat di depan kantor waktu itu bukanlah acara pacaran.“Bukan, dia calon tunangan kakakku,” kataku dan aku harap ia akan berhenti membulliku setelah mendengarkan hal ini. Namun, apa yang aku dapat? Ia tersenyum sinis.“Jadi kau bertemu dengan tunangan kakakmu secara diam-diam?” Ia mencoba menebak sekaligus membuat masalah denganku.