Home / Fantasi / My Husband is The King of Wizard / Bab 8 : Kandang Harimau

Share

Bab 8 : Kandang Harimau

Author: Organic
last update Huling Na-update: 2021-02-11 20:45:00

Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?

Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.

Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahrend grup di sana dan aku benar-benar lolos seleksi akhir. Aku pun bersyukur karena sepertinya keterpurukan ini tidak akan bertahan lebih lama.

Hari ini juga, aku akan memasuki dunia perkantoran dan menjadi karyawan tetap dengan gaji yang lumayan. Aku tidak akan peduli dengan seberapa beratnya, aku hanya memikirkan bagaimana keluargaku bisa menjadi lebih baik.

“Kak Disa, mama, ayo makan!” teriakku yang sudah menyiapkan semua makanan. Satu persatu mereka muncul, dengan papa yang di dorong dengan kursi roda oleh mama.

Kamu duduk di antara meja makan yang tidak sebesar dulu lagi, tapi cukup leluasa untuk acara makan kami bersama. “Kamu kelihatan senang, apa sesuatu terjadi?” tanya papa yang memang sering kali memperhatikanku.

Aku pun tersenyum. “Aku keterima di Syahrend grup pa, doain ya Dara terus bertahan,” kataku yang merasa jika sudah mencapai sesuatu, mempertahankannya itu lebih sulit dari pada mencapainya.

“Serius? Wah, kedua anak mama ini memang bisa diandalkan ya. Tak lama lagi, kita bisa kaya seperti dulu,” kata mama dan diangguki oleh kak Disa, hanya aku dan papa yang merasa tak nyaman.

Setidaknya kita tidak kekurangan, itu sudah cukup. Terlalu jauh untuk berpikir kita bisa menjadi kaya seperti dulu karena perjuangan papa tidak hanya dua atau tiga tahun. Namun, puluhan tahun mulai dari kami kecil sampai sebesar ini.

“Ma, yang penting kita tidak susah untuk makan. Papa harap, mama atau Disa untuk berhemat. Tidak enak juga, keluarga Obi sudah menanggung hutang-hutang kita, tapi kalian masih tidak suka berhemat.” Papa mencoba untuk memperingatkan mereka berdua, sepertinya papa tahu mama membeli beberapa tas dan sepatu baru untuk kak Disa dengan perhiasan mama. Alasannya, agar kak Disa tidak malu saat bekerja diperusahaan Okta, apa lagi ia akan bertunangan dengan Okta nantinya.

Hanya saja, keduanya tidak benar-benar berpikir, jengan penampilan seperti itu jika tante Maya atau om Obi memperhatikan, bahkan itu Okta. Mereka pasti akan berpikir macam-macam, kalau kami tidak benar-benar berhemat dan memikirkan bagaimana menangani hutang kami.

“Sudah lah Pa, ini juga untuk kebaikan kita. Mama, tidak ingin Disa malu dihadapan orang-orang yang tahu jika Disa sebentar lagi akan menjadi menantu mereka,” bela mama dan pasti akan seperti itu.

Papa menghela napas. “Kalau mama memang berpikir seperti itu, maka tidak apa-apa. Tapi, seharusnya mama juga berpikir tentang Disa juga. Ia juga butuh baju baru untuk bekerja, selama ini uang tabungannya yang sering kita pakai,” kata papa yang membuat mama memandangku tak enak. Secara tidak langsung papa berkata jika selama ini sudah menggunakan uangku sampai menipis, sementara mama masih memiliki simpanan perhiasan yang ia keluarkan untuk membeli baju kak Disa.

Semenjak dulu, aku sudah terbiasa dengan mama yang lebih memperhatikan kak Disa dibandingkan diriku. Jadi, hal yang terjadi saat ini aku akan menganggapnya sebagai hal yang wajar.

“Aku sudah punya kok, Pa. Kemarin baru beli dan aku sudah selesai makan,” kataku yang langsung berdiri. Aku tidak akan mengatakan jika aku baik-baik saja, hanya saja berharap pada sesuatu yang tak pasti akan selalu melukai diri. Jika mama memiliki niat baik untuk memperbaiki hubungan ini, maka mama sudah melakukannya. Namun, tahun demi tahun telah berlalu dan mama masih tetap sama meskipun aku telah lama meninggalkan rumah untuk kuliah di luar kota.

Papa menatapku prihatin dan mama merasa tidak nyaman, hanya kak Disa yang tidak peduli dengan semua ini. Mungkin, takdirku memang seperti ini, tapi aku sudah tidak perlu menghiraukannya lagi. Aku hanya ingin papa cepat sembuh dan tak terlalu memikirkan apa pun lagi karena setelah ini aku akan memenuhi kebutuhan keluarga ini dengan gajiku.

---***---

Polusi Jakarta bukan lagi sebuah omongan belaka, pukul setengah tujuh pagi aku harus menghadapi hiruk pikuk kota yang begitu padat. Ini hari pertamaku dan aku tidak boleh terlambat, mengingat ceo ku itu pandai mencibir, bahkan mempermalukan orang. Bisa-bisa kalau aku terlambat dihari pertamaku, ia akan mempermalukanku pada karyawan seisi kantor. Itu sangat menyebalkan sekali.

Dengan berjalan cepat, setelah menaiki bus. Aku pun berupaya agar tidak terlambat. “Masih tersisa 10 menit lagi dan gedung kantor sudah terlihat.

Tiiit

“Astaga!” Aku memekik karena aku hampir saja terjungkal dan rasanya ingin memaki sosok yang bersembunyi dari balik mobil mewah yang sepertinya merk Lamborgini terlihat hitam, pasti saat malam akan seperti bayangan yang menyelinap di jalanan.

Namun, dari pada membahas semua ini. Aku benar-benar ingin mengumpatinya. “Keluar dan minta maaf!” teriakku dan pintu depan terbuka ke atas. Panjang umur sekali cowok ini, baru saja aku membicarakannya. Seperti punya telepati saja, seolah ia bisa mendengarkan apa yang aku katakan. Regan Syahrendra, kalau tidak salah itulah namanya. Aku melihatnya diprofil perusahaan.

“Kamu telah menghabiskan waktu 7 menitmu untuk mengoceh. Jangan berharap di hari pertama, kamu akan mendapat pemakluman karena karyawan baru. Aku bisa memejatmu tanpa pertimbangnya,” katanya dengan sangat sadis. Aku tidak bisa memprotes untuknya sekarang.

Aku pun berdecak dan berlari kencang meskipun aku memakai high heels. Cowok sialan itu lama-lama menyebalkan juga, ingin rasanya aku menendangnya. Untung saja aku sudah terlatih dengan high heels ini saat menjadi sales kosmetik untuk kerja paruh waktuku.

Aku pun menoleh beberapa saat, mobil lamborgini hitam miliknya mendahuluiku dan ia sengaja tak menutup kaca mobilnya. Hanya mengembangkan senyuman meremehkan itu. “Ah, menyebalkan!” gerutuku yang tidak tahan dan tidak mengerti kenapa orang itu harus memprovokasiku. Bahkan dengan wajah rupawan yang aku yakin cukup digilai para cewek di sini. Hanya saja, aku merasa ilfil dengan orang ini luar dalam. Itu akan bertahan selamanya.

Akhirnya aku sampai, dijam tujuh pas. Aku lega bukan main, meskipun napasku tersengal-sengal tak karuan. Aku pun berjalan cepat untuk masuk divisi pemasaran dan di sana aku sudah disambut oleh seseorang. “Adara?” tanyanya dan aku mengangguk.

“Iya pak, saya Adara,” kataku dan pria berkacamata dengan kumis tepal ini menelitiku.

“Apa hubungan kamu dengan pak Regan?” tanyanya yang membuatku bingung. Hubungan apa? Aku mencoba memikirkannya dengan keras.

“Maksud bapak?” Aku pun bertanya.

“Itu ka-“

“Arghhh, aku dipecat!”

Teriakkan seseorang membuat perhatian kami teralihkan. Sosok wanita yang nampak seperti model berbalut pakaian kerja berdiri dan menangis. Teman-temannya segera datang, tidak menolongnya malah sibuk dengan computer wanita itu.

“Kamu dipecat karena durasi bekerja semakin berkurang dan lebih menghabiskan waktumu untuk berdandan di setiap kesempatan. Belum lagi kencan romantis dengan Ardan, jadi selamat kalian sudah bukan lagi bagian dari Syahrend Grup. Jadi, kalian bisa berkencan dengan bebas sekarang. Sekian dan terima kasih!”

Salah satu karyawan pun membacakan pesan pemecatan yang kejam ini. Bagaimana bisa, ia memecat orang dengan tidak manusiawi.

“Kau sudah melihatnya?” Tiba-tiba suara pria berkacamata dan berkumis tebal ini menyadarkanku. Ia pun berjalan mendekat, seolah ingin berbisik kepadaku. “Selamat memasuki kandang harimau yang penuh dengan ranjau,” bisiknya yang tentu membuatku terkejut bukan main.

Apakah aku benar-benar salah memasuki tempat ini?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 34 : Sisi Lain Regan yang Menggelikan

    Kami sudah sampai di sebuah restauran yang cukup mewah dan tentunya hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kemari. Tempatnya begitu elegan dan dengan ornamen-ornamen tak kalah mewah. Sejujurnya aku tidak bisa tinggal terlalu lama di tempat yang terlalu mahal ini. Aku takut nantinya, malah aku tidak sibuk mencicipi makanannya, tapi malah bingung dengan seberapa banyak uang yang dihabiskan. Sungguh, ini terlihat seperti pemborosan dilevel yang tak biasa menurutku. Dengan langkah per langkah yang semakin memberatkan kakiku untuk melangkah terlalu dalam. Hanya saja, lagi-lagi Regan mundur dan merangkulku kembali, membuatku harus terus mengikuti langkah kakinya. "Kalau kamu tidak mempercepat langkahmu, aku akan langsung menggendongmu," tuturnya dengan tenang dan tingkat kedataran yang menyebalkan.Aku malas untuk menjawab perkataannya dan memutuskan untuk diam, meskipun aku merasa jika ia sedang merencanakan sesuatu. Entah itu apa? Yang pasti, aku merasa jika ia akan menumbalkanku unt

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 33 : Seharusnya Memberitahu

    Masih jam delapan pagi, saat mobil kami telah sampai di depan perusahaan. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin satu mobil dengannya dan menyebabkan kegaduhan. Tapi, ia mengatakan jika ini adalah sesuatu yang lumrah jika sekertaris datang ke kantor dengan bosnya karena mungkin saja mereka beranggapan jika kita memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku berjalan beriringan dengannya, lebih tepatnya aku berusaha untuk mengimbangi langkahnya yang lebar itu. Belum lagi aku harus membawa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini yang sudah dapat dipastikan akan menjadi hari yang berat. Kalau dipikirkan dengan baik, tidak ada jadwal yang tidak padat. Mungkin, jika dulu aku tidak mengetahui identitasnya yang bukan manusia, aku akan menjulukinya sebagai manusia yang kuat. Namun, sekarang aku tahu siapa dia, hal semacam ini tentunya bukan perkara yang sulit. Hanya saja yang membuatku dongkol bukan main adalah ia tidak sadar jika menjadikan kami manusia biasa sama seperti dirinya.

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 32 : Pikiran Aneh

    Aku tidak dengan hidup yang seperti temperature kadang dingin, kadang panas, kadang panas dingin beraduk menjadi satu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam ini dan semua itu penyebabnya karena sehabis menikah aku berada di ruang kerja Regan dan harus mengetik beberapa laporan ditengah-tengah kelelahan mendera.“Kalau keybord itu rusak, kamu harus menggantinya,” katanya yang memandangku dengan datar. Menyebalkan! Masih untung aku sedikit menekannya dalam menggunakannya, bagaimana kalau aku lemparkan semuanya bersama laptop mahal ini.“Aku lelah, bisa tidak aku tidur? Masih ada besok kan untuk mengerjakannya?” mohonku dan ia yang juga mengetik menghentikan aktifitasnya.Lihatlah wajahnya yang masih segar itu, semua itu adalah kecurangan. Bagaimana dia bisa membandingkan diriku dengannya? Aku hanya manusia biasa yang membutuhkan istirahat dan yang seorang penyihir jelas bisa bertahan sampai kapan pun.“Tidur

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 31 : Asisten 24 Jam

    Pernikahan telah berlalu beberapa saat yang lalu, saat ini aku hanya memakai gaun yang disiapkan oleh kak Diandra tadi. Meskipun tidak ada tamu, kami sekeluarga berbincang panjang lebar dan aku sedikit sedih Sandy dan Bagas tidak bisa hadir. Tadi pagi, ia menangis ditelepon karena tidak bisa pulang dan menyaksikan pernikahanku, tapi aku mengatakan itu bukan masalah besar. Mungkin, nanti masih ada perayaan yang bisa mengundang kerabat dan teman yang lebih banyak lagi.Cukup hebat aku bisa bersandiwara seperti itu, mengingat pernikahanku dengannya hanya pura-pura, tapi seolah sekarang aku menunjukkan pernikahan sungguhan dengan mengatakan hal seperti ini. Sungguh ironis dan mengesalkan dalam bersamaan.“Dara, sepertinya nak Regan lelah. Ajak istirahat di kamarmu sana!” ujir mama yang membuatku ingin sekali mengomeli mama, tapi itu tidak mungkin.Apa lagi saat tangan Regan menyenggolku beberapa kali dan bergumam, “kalau kau tak melakukannya, aku a

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 30 : Menikahimu

    Tidak pernah terbayangkan bagiku untuk merasakan hal yang tidak nyaman sampai membuatku tidak bisa tidur sedikit pun. Pikiranku kalut, bahkan di otakku hanya tertulis kata-kata besok aku akan menikah. Menikah dengan Regan, makhluk tidak jelas yang berasal dari dunia antra brata yang sekarang sedang berusaha untuk menjajahku. Membayangkan kebebasanku akan direnggut begitu saja olehnya dengan pernikahan yang seharusnya menjadi impian yang indah setiap wanita dimuka bumi ini. Namun, karena Regan sialan itu, aku harus terjebak dalam pernikahan gila yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku.“Ah, sial!” Aku menghentakkan kakiku beberapa kali pada kasur. Aku tidak peduli jika itu terdengar sampai luar, aku hanya ingin mengekspresikan kekesalanku hari ini karena besok aku akan menjadi istri orang.“Ya Allah, istri orang!” gumamku lagi yang tak percaya sekaligus tak rela. Aku benar-benar akan gila hanya dengan memikirkannya saja.&ldq

  • My Husband is The King of Wizard   Bab 29 : Regan Ingin Menikahiku

    “Dara, kamu mau pergi kemana nak?” Papa ternyata telah bangun dan berusaha untuk mengejarku. Aku benar-benar merasa bingung dengan semuanya. Aku merasa kasihan kepada ayah tapi aku tidak bisa lagi tinggal di rumah yang tidak nyaman untukku karena terus dicurigai oleh kak Disa dan tererpihakan mama.Mereka berdua terlihat khawatir dan tidak ingin aku pergi. “Kalau papa dan mama mencegah Dara pergi, aku yang akan pergi!” teriak kak Disa diambang pintu. Tentu papa dan mama tidak akan bisa membiarkan kak Disa yang tidak dewasa itu pergi. Dari pada papa dan mama mendapatkan pilihan yang begitu sulit, sebaiknya aku akan mempermudah pilihan mereka.“Aku saja yang akan pergi, kalian tidak perlu khawatir,” kataku yang tidak bisa sesantai biasanya. Tentunya rasa sakit ini masih bergemburu di sana. Hanya saja, aku memiliki dilema sebagai seorang anak yang seharusnya tidak menyusahkan orang tua.“Disa, ada nak Regan. Seharusny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status