Share

Bab 5 : Pertemuan Dengannya

"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"

Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini.

"Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.

Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka jelas tak akan meloloskan diriku untuk bekerja di perusahaan ini. Ayolah Adara! Kamu harus bisa melewati wawancara ini. Tahap awal test dengan perjuangan yang tidak main-main telah berhasil ku lewati dengan susah payah dan seharusnya ini tahap terakhir untuk diterima sebagai karyawan tetap.

Tenang, berani, yang penting mencoba. Seharusnya aku selalu ingat motto itu tak peduli bagaimana akhirnya, yang penting harus mencoba. Hanya saja, realita dunia kerja lebih kejam dari pada saat berada di beberapa organisasi kampus yang hanya mengadalkan semangat ingin maju. "Saya memiliki sedikit pengalaman dibidang promosi produk dan saya paham mengelolah laporan keuangan," kataku yang sebenarnya aku hanya tahu sedikit saja saat magang, tapi tak apa-apa kan sedikit menjadi percaya diri untuk mencapai sebuah tujuan di atas keputusasaan ini.

Kini ku tatap wajah wanita ini dan ia terlihat terkejut. Apa mungkin jawabanku memukau dirinya? Yang benar saja, hanya dengan cara seperti ini? Tapi, saat aku memandangi tim wawancara yang lainnya, mereka juga nampak terkejut, serta pandangan mereka terarah pada satu arah. Aku pun menoleh, mendapati sosok pria tinggi menjulang, penampilannya begitu rapi, wajah dan tatapannya begitu dingin. Aku bisa menebak jika pria ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari mereka semua.

Para tim pewawancara dan pengawas pun berdiri dan membungkuk, "Selamat pagi pak presdir," sapa mereka dengan sangat ramah. Sepertinya tebakanku benar dan sangat luar biasa bukan? Beberapa detik lalu mereka masih menunjukkan kesangarannya dan sekarang ini apa? Mereka berubah menjadi sosok yang taat pada sang pemimpin? 

Pria ini pun melambaikan tangannya, mengintruksikan mereka semua untuk kembali pada kegiatannya masing-masing dan ia duduk tak jauh dari tempatku di wawancarai. Aku dapat  melihat mata tajamnya yang menjelajah seisi ruangan yang seketika membuat atmosfer ruangan ini dua kali lipat lebih menegangkan dari sebelumnya. Terlihat sekali wajah-wajah tegang di sini, bukan hanya kami sang calon karyawan, tapi para tim pewawancara juga terlihat sama seperti kami.

Presdir ini, entah apa yang membuatnya begitu disegani? Mungkin karena ia memiliki kekuasaan, wibawa atau mungkin ketampanan? Yang jelas, aku hanya bisa menduga jika pria ini, hanya dengan diam dan mengamati saja sudah berhasil mengintimidasi kami semua. Regan Syahrendra, aku mengetahui namanya dari situs website perusahaan. Ia salah satu pria berumur 35 tahun yang berhasil mendirikan perusahaannya sendiri. Mungkin, ini adalah salah satu bentuk kegagumanku kepadanya. Melihat keadaan di sekitarku semakin menegang, seketika pikiran kacauku ini merambat kemana-mana, mungkin saja ia memiliki kekuatan mistis yang bisa membuat orang lain diam tanpa perlawanan hanya dengan tatapan matanya saja.

"Silahkan Anda duduk kembali di ruang tunggu dan mengenai pengumuman akhir, akan kami kirim lewat email," kata wanita di hadapanku ini dan aku pun berhenti memandang dan menduga-duga tentang calon bosku ini. 

Aku pun berdiri, memberi penghormatan dan melangkah pelan meninggalkan ruangan ini. Syahrend Group bukanlah peluang terakhirku untuk mendapatkan pekerjaan, tapi perusahaan ini menjanjikan kemapanan yang tidak bisa diberikan oleh perusahaan lain, meskipun memiliki sistem kerja yang mengikat dengan durasi waktu lembur hampir setiap hari. Aku barharap bisa diterima di tempat ini meskipun pada akhirnya aku harus berurusan dengan sang Presdir yang penuh intimidasi itu. Semua itu hanya untuk kelangsungan hidupku dan keluargaku.

---***---

Tidak ada yang selelah diriku, aku menghabiskan seharian waktuku untuk melewati beberapa wawancara dan saat ini tepat pukul 9 malam dengan jalanan yang sudah sepi. Bagaimana kabar keluargaku seharian aku tinggal? Mama dan kak Disa tidak akan membakar rumah kontrakan kan? Mengingat mereka sangat suka sekali mengacau. Ah, rupanya saat inilah aku harus menghadapi yang namanya realita hidup. Aku tidak menemukan angkot, hanya beberapa taksi yang berkeliaran, tapi uangku tidak cukup untuk dibuat naik taksi. Al hasil, aku harus berjalan kaki hingga kakiku rasanya ingin patah.

"Hai cewek lagi sendirian aja nih? Ayuk, naik mobil Abang, biar Abang antar,"

Suara itu? Suara pria dengan niat jahat bukan? Kenapa hari ini begitu sial sih? Bagaimana ini? Apa aku harus berlari? Aku pun pasang kuda-kuda bak atlet pelari maraton. Berharap keberuntungan kali ini memihakku.

"Woi ... Adara!" 

Loh, kenapa bisa tahu namaku? Aku pun yang penasaran segera menoleh. Mobil ferrari warna merah dengan dua orang pengemudi yang cukup familiar. Sandy dan Bagas terlihat terpingkal dari dalam mobil.

"Kalian!" pekikku kesal. Aku sangat mengenal mereka, dua sahabatku semenjak kecil yang memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih setelah drama perkepanjangan. Mereka kerap kali menjodoh-jodohkanku dengan Okta yang sebenarnya hubungan kami lebih rumit dari itu semua dan tidak ingin terjebak lagi sekarang.

"Kebiasaan lama tidak bisa hilang ya, parnoan." Bukan Sandy namanya kalau dia tidak pandai mengkritikku.

Aku pun mendengus. "Apa yang kalian lakukan di sini?" desakku dan kedua temanku itu pun turun dari mobil Ferrari warna merah tersebut.

"Sandy khawatir sekali sama kamu." Bagas terlihat memainkan kunci mobilnya dan Sandy tiba-tiba saja memelukku.

"Adara, seharusnya kamu segera menghubungi kami saat sampai dirumah. Lebih dari satu minggu dan aku nggak berani hubungin kamu, karena kamu pasti ngambek kalau aku berusaha untuk ikut campur ursanmu?" Dari pada Okta, Sandy lebih mengerti diriku dan membantuku untuk terus menjaga harga diriku. Mereka kuliah bersamaku di luar kota, bahkan kami juga berpikir untuk mendirikan usaha bersama, tapi apa itu mungkin untuk sekarang ini?

"Kok bengong sih, kamu baik-baik saja kan?" Terkadang aku membenci kepekaan Sandy yang bahkan mengalahkan seorang detektif. Bayangkan saja selama kami satu kampus, ia selalu berhasil menebak siapa saja pria yang berusaha untuk mendekatiku. Terkadang aku merasa beruntung karena aku bisa lebih berhati-hati, tapi aku juga merasa kesal karena mulut embernya itu yang dengan mudahnya menyebar kemana pun.

"Okta chat aku, dia sudah menunggu di rumah kamu. Ayo kita ke sana," ajak Bagas yang membuat aku memiliki tanda tanya besar. 

Kenapa? Apa karena putusan perjodohan itu, membuatnya bisa leluasa untuk datang ke kontrakan kami? Bahkan ia tidak membiarkan aku benar-benar bernapas!

"Kayaknya Disa yang mengundang kami, Okta tadi bilang begitu." Bagas merasa tak enak saat melihat ekspresiku yang kurang menyukai hal ini.

"Sudah, jangan manyun kayak gini. Maaf, sebenarnya kami tahu detail masalahmu dari Okta," terang Sandy yang tentunya dapat aku duga. Kapan sih, Okta berhenti untuk ikut campur terlalu dalam terhadap keluargaku?

"Tenang aja, kita nggak akan maksa kamu kok," lanjut Bagas yang sangat mengenal diriku dengan baik, sama seperti Sandy. Namun, herannya Okta yang seharusnya cukup mengerti diriku, selalu saja melewati batas. Membuatku tak bisa bernapas dan terbebani dengan segala tindakannya yang sering kali orang bilang kebaikan seorang malaikat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status