Taxi mewah itu melaju di jalanan yang basah. Hujan bulan Juni membuat semuanya menjadi lembap. Di bangku belakang, Yana terus-menerus menggertakkan geligi. Matanya tak beralih dari lapisan kaca taxi yang berembun karena gerimis. Sejak meninggalkan rumah, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Yana, pun sang sopir taxi. Seakan mereka tahu arah mana yang harus ditempuh dan tempat apa yang akan dituju.
Berulang kali Yana membetulkan letak belahan gaun merahnya yang tak mampu menutupi kaki jenjang itu. Kulitnya yang terbuka terus-menerus meremang, entah oleh ketakutan atau pendingin ruangan.
Taxi memelesat jauh meninggalkan jalan utama. Yana terlihat mulai gelisah. Dia tak menduga jika kendaraan yang menjemputnya itu akan menjauhi kota alih-alih memasukinya. Satu tangan kirinya tiada lepas dari tas tangan yang terasa panas di telapak, meski nyatanya tak demikian. Di balik tas tangan kulit itu terdapat ponsel yang menyimpan video telanjangnya dari nomer tak dikenal.
Yana berusaha keras mengingat dan menggali hingga ke lapisan terdalam ingatannya. Video itu dia sendiri yang membuatnya lima tahun lalu. Di dalam video itu, Yana ingat betul dia sedang sendirian. Iseng dia merekam kemolekan tubuhnya sendiri di depan cermin menggunakan kamera ponsel keluaran terbaru hadiah dari sang papa. Yana juga benar-benar yakin tak pernah mengirimkan atau membagikan video itu kepada siapa pun. Bahkan, Yana segera menghapus video itu dua hari setelah merekamnya.
Sial!
Perempuan yang baru genap berusia 35 tahun itu memukulkan satu tinjunya ke jendela taxi yang gelap. Sopir taxi terlonjak. Matanya melirik melalui spion depan meski masih juga tak bersuara.
“Berapa pria keparat itu membayar si sopir taxi sampai tak berkutik sama sekali?” batin Yana merusuh. “Pria? Benarkah dia pria? Aku bahkan tak tahu siapa orang ini!”
***
Ini adalah hari ke tujuh dan jatuh pada hari minggu. Dari semalam Yana dibuat tak nyenyak tidur. Dia berusaha mati-matian menghindari Han, menghindari bertatap mata dengan suami yang begitu baik padanya. Entah saat makan malam bersama, menonton televisi, atau bahkan di ranjang mereka berdua. Selama seminggu ini Yana merasa seperti seorang pesakitan yang menjijikkan. Yana begitu ketakutan. Dia merasa sang suami akan mampu mengetahui rahasianya, bahkan hanya dengan memandang mata atau sekadar menyentuh kulit tangan Yana. Perempuan bertubuh sekal semampai itu begidik dibuatnya. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Sayang?” selidik Han saat memperhatikan istrinya yang terus-menerus murung dan gelisah. Yana terbelalak. Dia tak mungkin membicarakan masalah yang menimpa dirinya dengan sang suami. Siapa yang tahu bagaimana reaksi Han nanti? Yana bahkan masih belum mengenal Han terlalu dalam. “Tapi, aku membutuhkan bantuan!” desah Yana dalam hati. “Aku bisa
Rambut ikal sepunggung perempuan itu berterbangan karena terpaan angin kencang. Sebagian anak rambut terselip di antara bibir semerah darahnya yang bergetar. Dengan ponsel masih tergenggam di tangan, dia berputar-putar melihat awas ke sekitaran. Beberapa puncak gedung yang lebih tinggi dari tempatnya berpijak menjadi sasaran kecurigaan. Napas perempuan itu pendek-pendek dan cepat dengan wajah memucat. Gaun merah yang dikenakannya tampak koyak. Kaki telanjangnya menginjak lantai beton kasar yang mulai menghangat di atap gedung berlantai 29. “A-aku sudah sampai!” Dia gigit bibirnya hingga pecah, “Akan aku beri semua informasi yang kau butuhkan! To-long batalkan pengiriman lukisan itu ....” Dua orang pria yang mengenakan seragam merah dengan logo sebuah perusahaan pengiriman turun dari mobil box dan mengeluarkan sebuah lukisan yang terbungkus kertas cokelat. Setelah menyerahkan paket lukisan itu ke penanggung jawab pameran, salah satu kurir menyelinap ke toilet
Perempuan berambut ikal kecokelatan dengan hidung bangir itu berjalan mengendap-endap memasuki rumahnya sendiri. Dia lepas dan menjinjing sepatu hak tingginya di satu tangan. Tangan yang lain meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari brankas di ruang kerja suaminya. “Kau baru pulang?” Han berdiri di ambang pintu dengan mata kantuknya. Ruangan itu menjadi terang, menampakkan Yana yang terkesiap dan memucat. Tanpa sengaja dia jatuhkan sepatunya ke permukaan karpet Turki yang empuk dan tebal di depan meja kerja Han. “A-aku ... mencari pena ... ya, pena!” ujar perempuan itu sambil membalik badan menghadapi suaminya. Han memicingkan mata. Dia tak bisa percaya begitu saja. Sudut matanya menangkap brankas yang tutupnya berusaha dibuka oleh Yana.
Sebuah televisi layar datar berukuran besar tengah menayangkan berita terkait kasus bunuh diri di sebuah hotel terkenal di kota S. Kabar bunuh diri itu disangkutpautkan dengan kasus serupa di waktu yang hampir bersamaan, tetapi di lokasi yang berbeda. “Bagaskara, seniman muda jenius dan berbakat dekade ini ditemukan meninggal di rumah studionya pagi ini. Menurut hasil penyelidikan sementara, diduga kuat dia melakukan bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya di kamar mandi. Melalui surat wasiat yang ditinggalkan, diketahui Bagaskara patah hati karena perasaan cintanya terhadap perempuan berinisial YN ditolak. Di dalam surat yang sama, dia juga meminta maaf karena telah mengabadikan kecantikan YN dalam setiap karya-karyanya” ujar seorang reporter perempuan dari sebuah acara berita di televisi menggema di dalam ruangan gelap di sebuah mansion tua. “Polisi masih menyelidiki keterkaitan kasus bunuh diri Bagaskara dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh YN di tem
Pemuda berkaus Bonek berjalan terpincang-pincang mendekati perempuan yang ditabraknya. Perempuan itu terlihat tak mengalami cedera serius, meski roda depan motornya terlihat sedikit bengkok “Kau baik-baik saja? Aku rasa begitu! Seharusnya kau perhatikan jalanmu!” bentak sang pemuda dengan kesal. “Kau wartawan? Tak perlu menjawab karena terlihat dari kartu persmu!” Pemuda itu menangkap gerakan para pengejarnya yang semakin mendekat. Wartawan perempuan yang dikerumuni para pejalan kaki itu sudah bisa bangkit, bahkan bersiap memaki dan mengamuk pada sang pemuda. “Aku benci wartawan!” bisik sang pemuda sambil menegakkan kembali motor sport-nya dengan tergesa. Sebelum kembali memacu motor, dia sempat mengambil sebuah kamera Canon EOS 5DS R milik si wartawan perempuan yang terlempar tanpa sepengetahuan siapapun. “Kau harus membayar atas kelalaianmu dalam berkendara, Nona!” bisiknya penuh kemenangan sambil melaju meninggalkan lokasi tabrakan saat sirine mob
Jun kembali mengendarai mobilnya sambil terus berusaha menghubungi sang klien yang akan ditemui hari ini. Saat membelokkan mobil ke tikungan, dia hampir ditabrak oleh mobil lain yang baru saja keluar dari salah satu gedung perkantoran yang lengang. Perempuan di dalam mobil itu adalah Kamiya Moriuchi, perempuan keturunan Jepang yang baru saja membuka cabang usahanya di kota S. Dia menawarkan bisnis baru pada perusahaan Baviaan untuk menjadi pemasok kalsium sebagai salah satu bahan baku pembuatan pupuk. Beberapa saat lalu, dia mendapat panggilan telepon yang tidak mungkin untuk diabaikannya. “Bisnis! Segala yang kau lakukan tak pernah jauh dari itu bukan? Aku mulai yakin kelahiranku juga hanya sekadar aset bisnis bagimu!” hardik Ben dengan kasar. “Semua yang kulakukan dan kubangun selama ini demi masa depanmu!” Herman mendesis, “Kau yang akan mewarisinya!” Ben mengabaikan ucapan sang ayah dan beralih pada laptop di meja belajarnya.
Herman terlalu dibutakan oleh cinta dan harta. Dia pikir bisa menikahi putri seorang pengusaha properti terbesar dari kota J agar mudah mendapatkan suntikan dana untuk memperluas usahanya. Akan tetapi, Herman malah menjadi korban penipuan. Perusahaan properti milik istri mudanya ternyata hanyalah sebuah perusahaan fiktif. Istri dan ibu mertua barunya terlalu cerdik bahkan licik. Herman bukan orang sembarangan. Meski dia sudah menyelidiki perusahaan calon istrinya dengan seksama, nyatanya pria itu masih saja tertipu. Perusahaan properti yang disebut-sebut oleh istri muda dan ibu mertuanya itu ternyata perusahaan yang sudah hampir bangkrut. Herman dibujuk untuk berinvestasi besar-besaran. Saat seluruh asetnya diserahkan, sang istri kabur tanpa jejak meninggalkan kebangkrutan bagi perusahaan Herman sendiri. Akhir yang tragis bagi trah Herman Sugandi yang dibangunnya selama bertahun-tahun dengan merangkak dari bawah. Sejak itu, dia menghilang dan meninggalkan utang yang bertumpu
Gedung pencakar langit yang menjadi pusat perkantoran di kota S tiba-tiba dihebohkan oleh sejumlah kerumunan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Bahkan beberapa reporter tengah melakukan siaran langsung di halaman gedung tersebut. Para petugas keamanan kewalahan menghalau mereka yang penuh dengan pertanyaan dan rasa ingin tahu. Kerumunan bak lalat tersebut dibuyarkan oleh kedatangan sederetan mobil mewah bersama dengan pengawalan ketat. Satu persatu penumpang mobil-mobil itu keluar dan berjalan memasuki lobi gedung. Para wartawan tak satu pun yang diizinkan mendekat. Mobil terakhir yang datang adalah sebuah limosin hitam dengan seorang penumpang perempuan bersetelan mahal. Melihat kedatangan sosok yang mereka tunggu-tunggu itu, seluruh jajaran staf berdiri di depan lobi untuk menyambut kedatangannya dengan penuh takzim. Perempuan itu turun dari mobil dengan bantuan salah satu staf. Kacamata gelapnya bertengger di pangkal hidung menyamarkan kemarahan di