"Hidangan utama terasa lebih nikmat jika kau berhasil mengambilnya dari piring saji orang lain, ada kekhawatiran, ketakutan, sekaligus tantangan dalam upaya untuk memperolehnya. Namun, hasil yang kau dapatkan akan sebanding dengan itu semua!” Sepenggal kalimat dengan pengucapan yang khas dari bibir seorang perempuan itu menjadi satu-satunya petunjuk bagi Baviaan Marais untuk memburu para pelaku yang telah membuat hidupnya jungkir balik. Bangkit dari kondisi hampir mati, dia memilih menutup diri di sebuah mansion tua menyedihkan warisan dari sang kakek. Di dalam mansion bobrok itu dia melalui hari-hari yang panjang nan kelam untuk menyiapkan sebuah perburuan dan pembalasan dendam yang begitu mengerikan kepada para pelaku yang tergabung dalam sebuah sindikat penipuan pernikahan. Bagaimana semua ini akan berakhir? Kisah Baviaan Marais dapat kalian ikuti dalam novel SINDIKAT. Update setiap Rabu dan Sabtu
View More“Siapa kau?” desis Baviaan sambil menguatkan todongan pistolnya ke arah kepala Kae yang duduk gemetar di sofa ruang tengah. Gadis muda itu membeliak ketakutan. Punggungnya tegak dan keringat dingin mulai membulir di keningnya. Dia berusaha mundur, tapi terhalang oleh sofa yang didudukinya. Embusan napas segar menguar dari samping kepala Kae. Bahunya dicengkeram lembut tapi mengancam oleh seseorang dari belakang. Gadis itu melirik sekilas siapa yang ada di belakangnya. Entah bagaimana Jun tiba-tiba berada di belakang sofa dan membungkuk hingga kepalanya berada di atas bahu Kae. Pria itu berbisik dengan penekanan suara yang menggoda. “Perhatikan pistol itu, Nona Muda. Pelurunya bisa menembus kepalamu dan memecahkan tengkorakmu. Tak!” Jun membentuk jempol dan telunjuk kanannya menyerupai pistol dan menekannya ke samping kepala Kae.
Jun yang tersungkur ke lantai sambil melindungai Kae melihat para penembaknya datang dari sebuah mobil van hitam yang berhenti di depan minimarket. Mereka membuka pintu belakang mobil. Dua orang yang wajahnya tertutup topeng hitam mulai menembaki ke arah minimarket. Jun sedikit mendongak. Dia melihat pintu belakang van itu berusaha ditutup. Dia membidikkan tembakan pada salah satu sosok bertopeng hitam di dalam van. Tembakan itu mengenai lengannya sebelum mobil pergi dengan kecepatan penuh. Kaerunisa, gadis yang mengenakan seragam karyawan Kafe Morbeus itu hanya meringkuk gemetar di lantai minimarket. Dia tutupkan kedua tangan ke telinga untuk menghalau kerasnya suara tembakan. Ben yang bersembunyi di dekat pintu toilet, berusaha mendekati gadis itu dan menariknya pergi dari sana. “Hei, lihat aku!” bentak Ben pada Kae yang masih memejamkan mata dengan tubuh gemetar hebat. Gadis itu membuka mata perlahan dan mulai menangis. “Kau ingat aku, kan?
Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan muncul dari salah satu tangga belakang sebuah minimarket yang berdekatan dengan Kafe Morbeus. Pemuda berambut merah itu mengenakan jaket olahraga merah dengan aksen garis putih pada karet lengannya dan kaus oblong putih di dalam jaket. Tangan dengan jemari panjang dan lentiknya menarik tangan Kae yang menggenggam botol kaca tajam. Kae menoleh pada pemuda yang tak dikenalnya itu. Tinggi badan mereka hampir sama. Pemuda itu hanya beberapa senti lebih tinggi dari Kae. Dia merebut botol kaca dari tangan Kae dan berjalan cepat menghampiri si pria berewok yang menendangi seorang perempuan di tengah gang gelap. Prang! Pemuda itu memukulkan botol kaca ke tengkuk leher sang pria berewok hingga sedikit terhuyung. “Brengsek!” umpat si berewok yang berbadan tinggi besar. Matanya melotot dengan pembuluh darah merah. Dia usap tengkuk lehernya yang berdarah. Pemuda berjaket merah itu berusaha mengangkat tubuh si perempuan yan
Gadis itu meletakkan remote tv kembali ke tempatnya dan berujar lirih, “Siapa pun Anda, semoga Anda tenang dan bahagia di luar sana,” lalu, dia keluar dari apartemen tua milik Kunto itu. Di depan lift, dia melihat seorang pria duduk di kursi roda seorang diri. Tangan kiri pria itu menggapai-gapai tombol lift. Gadis itu sudah akan membantu, tapi pria berkacamata gelap itu sepertinya tak memerlukan bantuan. Dengan cekatan, dia meraba tombol dan menekan angka yang menuju lantai dasar. Gadis itu berdiri di sana. Dia melihat pria cacat itu memutar kursi roda dan berjalan mundur untuk memasuki lift saat pintu terbuka. “Kau tak akan masuk?” Suara pria itu Gadis itu gelagapan. “Ah, iya, maaf.” Mereka berada di dalam lift dengan sikap canggung. Gadis itu berdiri di samping kursi roda Baviaan sambil melirik ke arah pangkuan pria itu. “Apa Anda bermain biola?” Baviaan duduk tenang di kursi rodanya dengan wajah menatap lurus ke arah pintu lift yang bercer
Berita ledakan di sebuah pulau terpencil itu dengan segera menemukan muaranya. Setiap reporter dan wartawan berlomba-lomba mencari kebenaran akan kabar burung yang tiba-tiba berembus dari sebuah portal berita online yang belum diketahui kevalidan sumbernya. Portal berita itu dengan gamblang menyebutkan bahwa CEO perusahaan pupuk terbesar di negeri ini dikabarkan meninggal dalam peristiwa ledakan di sebuah pulau terpencil tadi malam. Jun tiba di kantornya menggunakan porsche kesayangan. Di lobi kantor sudah berkerumun para wartawan dan repoter yang ingin memastikan kabar tersebut. Sebelum turun dari mobil, Jun menyambar kacamata hitam dan memasang wajah paling sedih yang bisa dia lakukan. Cahaya blitz kamera berulang-ulang menerpa wajah dan tubuhnya dari berbagai arah. Bermoncong-moncong mikrofon disodorkan dan menghalangi pergerakannya. Sejumlah petugas keamanan perusahaan berusaha menghalau kerumunan wartawan itu, tapi mereka terus saja berteriak-teriak mel
Mereka bertiga terlantar di pelabuhan kota S. Kerlap-kerlip lampu dari perahu-perahu nelayan di kejauhan menambah muram suasana. Mereka bersembunyi tak jauh dari tempat bongkar muat kapal. Di sana, banyak kayu-kayu palet yang bisa mereka jadikan perlindungan. Baviaan duduk di kursi rodanya sambil merasakan kesiur angin laut yang semakin meremangkan kulit. Kunto terus saja mondar-mandir dan hampir setiap menit mendatangi Baviaan untuk menanyakan, “Apakah kau membutuhkan sesuatu? Apa kau baik-baik saja? Adakah yang terluka?” “Hei, Pak Tua! Tidakkah sikapmu itu terlalu berlebihan? Dia bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan!” pekik Ben yang tengah berbaring telentang di salah satu dek perahu nelayan yang tertambat. Kunto sudah akan melontarkan kemarahan tapi Baviaan memberikan tanda dengan satu lambaian tangan, “Cukup! Kinca benar, aku bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan, Paman.” Kunto menganga dan hampir menumpahkan air mata. “Astaga! Kau
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments