Share

7

Penulis: Tias Yuliana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-13 20:22:12

Pemuda berkaus Bonek berjalan terpincang-pincang mendekati perempuan yang ditabraknya. Perempuan itu terlihat tak mengalami cedera serius, meski roda depan motornya terlihat sedikit bengkok

“Kau baik-baik saja? Aku rasa begitu! Seharusnya kau perhatikan jalanmu!” bentak sang pemuda dengan kesal. “Kau wartawan? Tak perlu menjawab karena terlihat dari kartu persmu!”

Pemuda itu menangkap gerakan para pengejarnya yang semakin mendekat. Wartawan perempuan yang dikerumuni para pejalan kaki itu sudah bisa bangkit, bahkan bersiap memaki dan mengamuk pada sang pemuda.

“Aku benci wartawan!” bisik sang pemuda sambil menegakkan kembali motor sport-nya dengan tergesa. Sebelum kembali memacu motor, dia sempat mengambil sebuah kamera Canon EOS 5DS R milik si wartawan perempuan yang terlempar tanpa sepengetahuan siapapun. “Kau harus membayar atas kelalaianmu dalam berkendara, Nona!” bisiknya penuh kemenangan sambil melaju meninggalkan lokasi tabrakan saat sirine mobil patroli mulai terdengar di kejauhan.

Petugas keamanan berbadan besar itu terkejut dan gelagapan.

“O, maaf jika saya mengejutkan Anda.”

“Ada urusan apa?” tanya sang petugas dengan nada tak suka.

Jun yang semula merasa senang, kini mulai tak nyaman karena sambutan yang dingin itu. “Saya hanya ingin bertanya alamat. Di mana tempat ini berada?” tunjuk Jundi pada layar ponselnya. “Saya sudah berputar empat kali, tapi tak menemukan nomor bangunan yang sesuai.”

Petugas keamanan itu hendak menjawab ketika seorang rekannya tiba-tiba muncul sambil menyeret si Kinca yang terluka.

Jun terperangah. “Apa dia terluka? Kita harus panggil ambulans!” ujar Jun sambil melakukan panggilan di ponselnya.

“Dia baik-baik saja!” pekik sang petugas keamanan sambil merebut ponsel Jun dengan kasar. “Ini hanya perkelahian antar pengunjung bar. Sebaiknya kau pergi saja dari sini, Tuan!” bentak si petugas keamanan sambil menyorongkan ponsel Jun kembali ke dadanya.

Kinca mulai tersadar. Di antara matanya yang bengkak, dia masih bisa melihat dan mendengar ada seseorang di sana. Kinca berusaha berteriak dan meminta bantuan, “Hubungi polisi!” sebelum dia dimasukkan paksa ke dalam mobil oleh petugas satunya.

Jun menarik lengan petugas keamanan gedung itu dengan wajah tegang. “Pemuda itu meminta bantuanku. Aku tidak bisa menonton dan membiarkannya begitu saja,” desis Jun.

Petugas itu mengempaskan tangan Jun dan beranjak. Akan tetapi, Jun  segera menariknya lagi dan melayangkan tinju pertamanya pagi itu. Tinggi badan mereka hampir sama sekitar 180 cm, tetapi Jun memiliki tubuh yang ramping. Dia bergerak dengan gesit dan mudah saja untuk melumpuhkan kedua petugas keamanan itu.

Saat dua pria itu tersungkur dengan ulu hati yang hampir pecah, Jun melihat si pemuda berwajah lebam tadi berlari terhuyung-huyung meninggalkan lokasi kejadian. Jun berusaha mengejar dan menawarkan bantuan. Pemuda itu menolak.

“Aku pasti akan membayar kebaikanmu, Tuan Jundi!”

Jun menganga, “Bagaimana kau tahu siapa aku?”

Pemuda itu hanya tersenyum yang sangat dipaksakan. Bahkan, senyum itu membuat wajahnya tampak mengerikan. Lebam dan darah terlihat mulai mengering di wajahnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    22. Remember Me

    “Siapa kau?” desis Baviaan sambil menguatkan todongan pistolnya ke arah kepala Kae yang duduk gemetar di sofa ruang tengah. Gadis muda itu membeliak ketakutan. Punggungnya tegak dan keringat dingin mulai membulir di keningnya. Dia berusaha mundur, tapi terhalang oleh sofa yang didudukinya. Embusan napas segar menguar dari samping kepala Kae. Bahunya dicengkeram lembut tapi mengancam oleh seseorang dari belakang. Gadis itu melirik sekilas siapa yang ada di belakangnya. Entah bagaimana Jun tiba-tiba berada di belakang sofa dan membungkuk hingga kepalanya berada di atas bahu Kae. Pria itu berbisik dengan penekanan suara yang menggoda. “Perhatikan pistol itu, Nona Muda. Pelurunya bisa menembus kepalamu dan memecahkan tengkorakmu. Tak!” Jun membentuk jempol dan telunjuk kanannya menyerupai pistol dan menekannya ke samping kepala Kae.

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    21. Masuk Perangkap

    Jun yang tersungkur ke lantai sambil melindungai Kae melihat para penembaknya datang dari sebuah mobil van hitam yang berhenti di depan minimarket. Mereka membuka pintu belakang mobil. Dua orang yang wajahnya tertutup topeng hitam mulai menembaki ke arah minimarket. Jun sedikit mendongak. Dia melihat pintu belakang van itu berusaha ditutup. Dia membidikkan tembakan pada salah satu sosok bertopeng hitam di dalam van. Tembakan itu mengenai lengannya sebelum mobil pergi dengan kecepatan penuh. Kaerunisa, gadis yang mengenakan seragam karyawan Kafe Morbeus itu hanya meringkuk gemetar di lantai minimarket. Dia tutupkan kedua tangan ke telinga untuk menghalau kerasnya suara tembakan. Ben yang bersembunyi di dekat pintu toilet, berusaha mendekati gadis itu dan menariknya pergi dari sana. “Hei, lihat aku!” bentak Ben pada Kae yang masih memejamkan mata dengan tubuh gemetar hebat. Gadis itu membuka mata perlahan dan mulai menangis. “Kau ingat aku, kan?

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    20. Pemuda Berjaket Merah

    Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan muncul dari salah satu tangga belakang sebuah minimarket yang berdekatan dengan Kafe Morbeus. Pemuda berambut merah itu mengenakan jaket olahraga merah dengan aksen garis putih pada karet lengannya dan kaus oblong putih di dalam jaket. Tangan dengan jemari panjang dan lentiknya menarik tangan Kae yang menggenggam botol kaca tajam. Kae menoleh pada pemuda yang tak dikenalnya itu. Tinggi badan mereka hampir sama. Pemuda itu hanya beberapa senti lebih tinggi dari Kae. Dia merebut botol kaca dari tangan Kae dan berjalan cepat menghampiri si pria berewok yang menendangi seorang perempuan di tengah gang gelap. Prang! Pemuda itu memukulkan botol kaca ke tengkuk leher sang pria berewok hingga sedikit terhuyung. “Brengsek!” umpat si berewok yang berbadan tinggi besar. Matanya melotot dengan pembuluh darah merah. Dia usap tengkuk lehernya yang berdarah. Pemuda berjaket merah itu berusaha mengangkat tubuh si perempuan yan

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    19. Kafe Morbeus

    Gadis itu meletakkan remote tv kembali ke tempatnya dan berujar lirih, “Siapa pun Anda, semoga Anda tenang dan bahagia di luar sana,” lalu, dia keluar dari apartemen tua milik Kunto itu. Di depan lift, dia melihat seorang pria duduk di kursi roda seorang diri. Tangan kiri pria itu menggapai-gapai tombol lift. Gadis itu sudah akan membantu, tapi pria berkacamata gelap itu sepertinya tak memerlukan bantuan. Dengan cekatan, dia meraba tombol dan menekan angka yang menuju lantai dasar. Gadis itu berdiri di sana. Dia melihat pria cacat itu memutar kursi roda dan berjalan mundur untuk memasuki lift saat pintu terbuka. “Kau tak akan masuk?” Suara pria itu Gadis itu gelagapan. “Ah, iya, maaf.” Mereka berada di dalam lift dengan sikap canggung. Gadis itu berdiri di samping kursi roda Baviaan sambil melirik ke arah pangkuan pria itu. “Apa Anda bermain biola?” Baviaan duduk tenang di kursi rodanya dengan wajah menatap lurus ke arah pintu lift yang bercer

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    18

    Berita ledakan di sebuah pulau terpencil itu dengan segera menemukan muaranya. Setiap reporter dan wartawan berlomba-lomba mencari kebenaran akan kabar burung yang tiba-tiba berembus dari sebuah portal berita online yang belum diketahui kevalidan sumbernya. Portal berita itu dengan gamblang menyebutkan bahwa CEO perusahaan pupuk terbesar di negeri ini dikabarkan meninggal dalam peristiwa ledakan di sebuah pulau terpencil tadi malam. Jun tiba di kantornya menggunakan porsche kesayangan. Di lobi kantor sudah berkerumun para wartawan dan repoter yang ingin memastikan kabar tersebut. Sebelum turun dari mobil, Jun menyambar kacamata hitam dan memasang wajah paling sedih yang bisa dia lakukan. Cahaya blitz kamera berulang-ulang menerpa wajah dan tubuhnya dari berbagai arah. Bermoncong-moncong mikrofon disodorkan dan menghalangi pergerakannya. Sejumlah petugas keamanan perusahaan berusaha menghalau kerumunan wartawan itu, tapi mereka terus saja berteriak-teriak mel

  • PEWARIS DALAM BAYANGAN    17

    Mereka bertiga terlantar di pelabuhan kota S. Kerlap-kerlip lampu dari perahu-perahu nelayan di kejauhan menambah muram suasana. Mereka bersembunyi tak jauh dari tempat bongkar muat kapal. Di sana, banyak kayu-kayu palet yang bisa mereka jadikan perlindungan. Baviaan duduk di kursi rodanya sambil merasakan kesiur angin laut yang semakin meremangkan kulit. Kunto terus saja mondar-mandir dan hampir setiap menit mendatangi Baviaan untuk menanyakan, “Apakah kau membutuhkan sesuatu? Apa kau baik-baik saja? Adakah yang terluka?” “Hei, Pak Tua! Tidakkah sikapmu itu terlalu berlebihan? Dia bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan!” pekik Ben yang tengah berbaring telentang di salah satu dek perahu nelayan yang tertambat. Kunto sudah akan melontarkan kemarahan tapi Baviaan memberikan tanda dengan satu lambaian tangan, “Cukup! Kinca benar, aku bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan, Paman.” Kunto menganga dan hampir menumpahkan air mata. “Astaga! Kau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status