Share

10. Sebelah Sepatu

Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci.

Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper.

"Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang."

"Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu."

Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kusen pintu kamarnya--mengamati pasiennya. Liliana yakin, majikannya itu sedang kebingungan. Dia tidak pernah menginap di rumah persembunyiannya ini. Meski tengah malam, selalu pulang ke Mansion Batista. Dan wanita muda di atas ranjangnya itu, sudah jelas wanita yang disembunyikannya. Kalau tidak, mana mungkin dibawa ke tempat ini.

Selama lima tahun menjadi pelayan pribadi Devin, Liliana tidak pernah mendapati majikannya itu menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia dingin dan kaku. Selalu taat pada aturan ayahnya, tidak seperti adiknya, Levin Chayton. Levin pemberontak sekaligus playboy. Sungguh karakter yang bertolak belakang, meski terlahir dari rahim yang sama. Karena karakter Andrew Chayton juga bertolak belakang dengan Sabrina Brice.

Wanita di ranjang Devin, bisa jadi adalah wanita pertamanya. Yang harus disembunyikan dari Andrew dan Levin. Entah apa alasannya.

“Tuan …”

Devin menoleh dan melepas lipatan tangannya, lalu memasukkan tangan ke saku celananya. Memutar badan dan menatap Liliana yang sudah memegang handle pintu.

“Pulanglah, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Suamimu pasti sudah menunggu.”

“Saya menguatirkan wanita itu, Tuan,” sahut Liliana sembari memiringkan kepala, berusaha mendapat view wanita yang dimaksud di dalam kamar. “Dia harus dibawa ke rumah sakit. Bekas jahitan di lukanya sobek dan kembali berdarah. Saya tidak yakin dia bisa bertahan. Badannya sudah tidak hangat lagi.”

Devin mengangguk. “Terima kasih sarannya. Kau bisa ke sini besok pagi?”

“Saya ke sini setelah suami saya berangkat bekerja, Tuan. Dia tidak suka bila di rumah tidak mendapati saya.”

Devin mengangguk. “Baik. Kalau bisa sekalian belanja untuk keperluan dia. Uangnya aku taruh di tempat biasa.”

Liliana mengangguk hormat, membuka pintu dan menghilang. Tinggal Devin menatap pintu yang tertutup. Pikirannya berkecamuk. Saat ini, Bella pasti sudah curiga padanya. Dia yakin, ceritanya dengan cerita Marcus tidak akan sinkron, karena mereka belum bersepakat tentang beberapa hal.

Karena Devin juga tidak mungkin menceritakan semuanya pada  Marcus. Cukuplah Marcus selama ini adalah pelayan yang melindunginya.

Devin menghidupkan televisi. Dia perlu mencari informasi tentang kecelakaan yang disampaikan Komisaris Hoggart. Pasti sudah masuk ke televisi lokal. Dan benar saja, dua TV lokal sedang menayangkan berita kecelakaan tersebut dan satu TV lainnya malah sedang melakukan siaran langsung dari lokasi kecelakaan.

“Aku harus ke kota. Mungkin ada perawat yang bisa kusewa paruh waktu,” batin Devin.

Setelah memastikan Amanda masih terlelap, Devin mengunci pintu dan jendela setelah meninggalkan secarik kertas pesan di tangan Amanda.

***

Devin mengendarai mobilnya perlahan saat hendak melintasi tempat kejadian perkara. Dia yakin, kemarin tempat ini dipenuhi anak buah Komisaris Hoggart. Meski untuk sebuah urusan kecelakaan yang dijadikannya alasan, sebenarnya cukup polisi daerah saja yang turun.

Masalahnya, ini kasus yang tidak biasa. Devin yakin, ada tangan-tangan pejabat berperan dalam kejadian malam itu, yang menyebabkan The Vow mau menerima tawaran untuk membunuh salah satu target. 

Dan Devin menggagalkannya.

“Yo, Devin? Mau ke mana?”

Peter Hawkins, salah seorang anggota kepolisian yang bertugas mengatur lalu lintas yang sedikit melambat. Beberapa polisi tampak masih sibuk di lokasi kecelakaan. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi lokasi, sehingga sedikit mengganggu aliran lalu lintas.Devin melihat ada beberapa petugas dengan pakaian yang berbeda dengan Peter. Sepertinya mereka bukan petugas kepolisian lokal.

“Halo Pete, kamu tampak sibuk,” sapa Devin sembari melongokkan kepala ke luar jendela. Dia memilih menghentikan mobil di tepi jalan, membiarkan mobil-mobil yang lain untuk lewat lebih dulu.

“Kau tidak kelihatan buru-buru seperti biasanya,” ucap Pete, lalu meniup peluit dan menggerakkan tangannya ke sana ke mari seperti orang senam. Beberapa mobil mengikuti arahannya, sehingga lalu lintas tidak sampai macet.

“Aku dengar, ada kecelakaan?” tanya Devin.

Pete menyandarkan punggung di mobil Devin, berpura-pura sedang mengatur lalu lintas. Namun sebenarnya dia hendak sedikit bergosip. Devin adalah anak sulung pemilik Mansion Batista, tempat ibunya bekerja. Mereka kerap bertemu bila Peter mengunjungi ibunya hanya sekedar untuk mengantarkan makanan. Saat ayah Peter meninggal lima belas tahun yang lalu, Andrew menawari Nyonya Hawkins untuk mencari nafkah, bekerja sebagai pelayan di Mansion Batista.

Dan Peter sangat berterima kasih karenanya. Ibunya tidak jadi bunuh diri karena depresi, mengingat ayahnya tewas dalam sebuah kecelakaan--bersama dengan selingkuhannya.

“Kau tahu Devin, ini bukan kecelakaan,” bisik Peter.

“Oh ya? Polisi datang ke rumah, mencari-cari berita. Mereka bilang kecelakaan.” Devin yakin, polisi menyembunyikan sesuatu. Dan Peter sebagai anak buah harus mematuhi atasannya.

“Ini pem-bu-nu-han,” bisik Peter lagi. “Kelas kakap.”

Devin terbahak mendengar kata kelas kakap. Meski dalam peristiwa semalam, dia tidak tahu julukan itu untuk dirinya atau untuk pemain lain di TKP. Penumpang di mobil ketiga. Mereka jelas terlibat dalam rencana pembunuhan itu, dari A sampai Z.

“Siapa yang dibunuh?”

Peter mengendik bahu. “Aku tidak boleh tahu. Hanya saja, ada satu orang yang sepertinya selamat.”

“Oh ya?” Jadi apa benar, Amanda Harper berasal dari lokasi kecelakaan ini? Dalam radius sepuluh kilometer dari Mansion Batista, tidak ada kejadian yang dimuat media selain kejadian di tempat ini. Beberapa koran dan TV lokal sudah mulai meliput. Salah satunya, tampak sedang mewawancarai seorang polisi, tidak jauh dari tempat mobil Devin berhenti.

“Aku dengar, polisi mengikuti jejaknya dan mengarah ke rumahmu.”

Devin terkekeh. “Mana mungkin, Pete. Rumahku jauh dari sini.”

Peter mengendik bahu. “Sebaiknya kamu menjaga ibuku jangan sampai termakan gosip. Penduduk sudah mulai resah, takut orang yang selamat itu bersembunyi di salah satu rumah mereka. Dan para penjahat yang mengejarnya sedang mencarinya.”

Devin manggut-manggut. “Aku akan sampaikan pesanmu pada Irene. Tapi, bagaimana bila yang selamat itu ternyata penjahatnya.”

Peter menundukkan kepala. “Berdoalah, kita semua dilindungi, Devin. Kau tidak tahu bagaimana dia membunuh dan membiarkan mayat-mayat itu bersimbah darah.”

Seorang anggota polisi mendekati Peter dengan membawa kantong plastik. Dia menghulurkannya pada Peter. “Pete, chief menyuruhmu membawa ini ke kota.”

“Apa ini?” tanya Peter sembari mengangkat kantong plastik sehingga sejajar dengan mukanya. 

Devin membeliak melihat benda di dalam kantong plastik itu. Sebelah sepatu, sama persis dengan yang dikenakan Amanda Harper. Sneaker berlumpur yang dikenakan wanita itu di malam dia datang ke Mansion Batista dengan luka berdarah.

"Hei, Peter. Kau punya sepatu Cinderella," goda Devin, membuat Peter menyeringai senang. "Sebaiknya kau mencari sebelahnya lagi, siapa tahu dia gadis cantik yang menanti Pangeran Berkuda menjemputnya."

Peter terbahak. Dia lalu memasukkan kepalanya ke dalam mobil Devin dan berbisik. "Hei, Devin. Sepertinya ini akan menarik. Kau bisa membantuku menemukan putrinya?"

Devin dan Peter terbahak. Tentu saja Devin sudah menemukan putrinya. Tapi tidak akan menyerahkan pada pangeran berlencana di depannya.

"Bila aku menemukannya lebih dulu, tidak akan kuberikan padamu, Peter. Kau tahu kan, kita adalah dua jomblo menyedihkan sejak SMA," ucap Devin sembari terbahak diikuti Peter. "Kau bisa mencari sepatu seperti itu di kota. Aku kenal baik dengan pemilik tokonya."

Peter mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil dan menatap sepatu dalam plastik. "Ini sepatu mahal. Dia pasti bukan upik abu, Devin." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status