Share

BAB 2

Baru saja aku keluar dari toilet saat teman dekatku, Audrey Jewel memanggil dari arah kantin. Ya ampun Audry, aku sedang tidak ingin bertemu denganmu. Bukannya kemarin dia sendiri yang bilang untuk tidak menyapa, mengapa selalu dia yang lebih dulu melanggar.

“Krista!” pekiknya hingga menarik perhatian seisi kantin dan koridor.

Duh, sekarang semua orang memperhatikan kami seperti sirkus.

“Ada apa kau memanggilku?” kataku berusaha ketus, tetapi Audrey malah nyengir kuda tanpa dosa.

“Ada berita baik yang ingin kusampaikan,” katanya dengan mata berbinar.

“Maksudmu, berita baik untukmu tetapi buruk untukku?” sindirku tidak halus sama sekali.

Senyum Audrey semakin lebar yang mana semakin membuatku yakin dia benar-benar ingin mengajak pertengkaran.

“Ya ampun, kau sensitif sekali,” sungutnya sembari melingkarkan tangan ke lenganku. Dan begitu saja, pertengkaran kami yang tadi terlupakan tanpa beban. Kurasa ada yang salah dengan kepala kami berdua.

“Kau tahu, Evan Sawyer mengajaku ke prom night!” serunya setengah menari di koridor, membuatku nyaris malu melihat kelakuannya itu.

Bahkan beberapa junior memperhatikan sembari menyembunyikan tawa.

“Selamat kalau begitu!” seruku pura-pura bersemangat. Aslinya memang aku senang si bodoh itu menyadari perasaannya dan memutuskan mengajak Audrey ke prom night, jika kemarin aku tidak menggetok kepalanya mungkin otaknya tidak bergeser dan berfungsi dengan benar.

“Ayolah, Evan itu sangat baik. Dia bahkan mengajaku makan malam ke Fontana dua bulan lagi,” bisik Audrey penuh konspirasi karena La Fontana bukan restaurant biasa yang sulit mendapatkan reservasi. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa makan di sana.

“Memangnya Ibumu mengizinkan kau pergi keluar bersama laki-laki?” tanyaku balik, karena Ibu Audrey wanita yang sulit dan konservatif. Dia bahkan melarang Audrey memakai jeans, katanya tuhan melarang wanita berpakaian seperti laki-laki.

“Sebentar lagi usiaku delapan belas, Duh,” ujarnya memutar bola mata.

Aku melempar delikan tajam pada Audrey. Dasar tidak sopan.

“Bibi bilang aku bisa pindah mencari apartemen baru, bahkan Ibu tidak bisa melarangku,” jelasnya.

Audrey tidak lahir dalam keluarga berlimpah materi. Dia dibesarkan oleh seorang Ibu dan Bibi Flo yang tinggal di sebuah apartemen sewaan dekat pinggir Kota Denver.  Orang-orang bahkan heran mengapa kami bisa berteman dekat. Pertemanan antara anak seorang Mayor dengan anak mantan pelacur sangatlah kontras berbeda, tetapi Ibu tidak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Dia bahkan menyayangi Audrey seperti anak sendiri. Setiap Audrey menginap, Ibu selalu menyambut dengan bahagia, namun Ayah sedikit berbeda. Dia memang tidak mengatakan apa-apa, namun bersikap dingin setiap Audrey ke rumah.

“Biar kubantu mencari tempatmu yang baru, mungkin Mason bisa membantu,” kataku menawarkan diri.

“Siapa itu Mason?”

Mata hazelnya menatapku bingung.

“Kami bertemu di salah satu acara gala saat Ayah membawaku ke sana. Lalu Mason menghampiri saat Ayah pergi menemui seseorang. Mason bekerja di Red Cage, dia membantuku membelikan tiket menonton pertunjukan di sana. Karena kau tidak bisa keluar malam, aku pergi sendiri. Dia mengenal banyak orang, mungkin Mason bisa membantu menanyakan tempat yang baru.”

Audrey mendengarkan dengan seksama, dan wajahnya berubah penasaran.

“Aku sangat ingin menonton pertunjukan di Red Cage!” serunya lagi kembali menarik banyak perhatian beberapa kepala.

“Ya ampun, sabar, kalau usiamu menjadi delapan belas kita bisa pergi ke sana bersama. Mason juga berjanji akan memberiku tiket baru jika aku meminta.”

“Bagaimana pertunjukan di sana? Apa seseru yang orang-orang bilang?” bisik Audrey kali ini lebih pelan, karena pembicaraan tentang Red Cage dianggap tabu di Denver.

“Seru sekali!” kataku jujur. “Apa lagi saat salah satu dari mereka tergeletak di lantai, dan pemenangnya diumumkan. Benar-benar pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Kau tahu, bahkan aku tidak mengira saat pria bertarung bisa menjadi begitu seksi. Aku penasaran bagaimana pangeran berkuda putihku di atas arena,” kataku bercerita panjang lebar sembari membayangkan Gavin melakukan gerakan yang sama seperti Joe di arena saat itu.

Ya ampun, dia pasti seksi sekali.

Aduh, pikiranku jadi kotor lagi.

Tetapi ceritaku berhenti tiba-tiba saat melihat wajah Audrey yang memandangiku seakan tumbuh sulur di sekitar wajahku.

“Terkadang aku berpikir untuk menyeretmu ke psikiater untuk memeriksa apakah ada jiwa psikopat di tubuhmu,” gumamnya dengan wajah horror.

“Hey! Aku hanya suka olahraga tinju, itu saja,” kataku membela diri.

“Apa kau tidak ingat kalau kau juga suka memukul semua laki-laki yang kau anggap menyebalkan, padahal mereka hanya menatapmu saja. Belum lagi kau menendang salah satu pengawal ayahmu pada bagian … itu… hanya karena dia mengatakan kau seksi.”

Kali ini aku yang menatap Audrey seakan bulu hidungnya tumbuh menutupi wajah.

“Mereka tidak hanya sekedar menatap, tetapi berusaha menelanjangiku melalui mata,” desisku, lalu menambahkan; “Pengawal Daddy hendak menyentuh bokongku saat aku lewat, dia pantas mendapatkannya. Untung saja sekretaris Daddy ada di sana, kalau tidak, adik kecil pria itu tidak akan berfungsi.”

Audrey menghela napas dan menatapku frustrasi.

Yah, whatever.

“Kembali ke acara prom night. Kau akan mengajak siapa, sejak kemarin kau selalu merahasiakan siapa yang ingin kau ajak.”

Nah, aku memang tidak pernah bilang pada Audrey bahwa aku sudah memiliki kandidat, tetapi menyembunyikan lama-lama juga akan terbongkar.

Bukankah kabar baik itu harus disebar.

“Aku akan mengajak Gavin, tetapi belum sempat bertemu. Kebetulan besok Daddy akan mengadakan jamuan makan malam, jadi besok aku berencana mengutarakan padanya.”

Sungguh aku tidak sabar bertemu Gavin lalu mengajaknya ke acara prom night, tetapi sepertinya Audrey tidak seantusias diriku, tatapannya malah seperti orang kehilangan lidah. Tidak tahu harus berkata-kata.

“Katakan padaku cinta monyet masa anak-anak itu tidak menjadikanmu terobsesi pada Gavin yang malang,” gumamnya dengan suara rendah sembari menatap kanan-kiri takut pada dinding akan tumbuh telinga yang dapat berbisik pada Gavin.

“Aku tidak terobesesi, jangan bersikap sama seperti Ibuku seakan aku gila,” delik-ku tajam.

Mereka berdua sama saja, tidak memahami perasaanku yang tulus. Padahal keduanya tahu bahwa Gavin sendiri yang bilang jika aku dewasa datang padanya agar kami segera menikah.

“Krista, usianya sangat jauh dengan kita yang remaja, hampir sepuluh tahun.”

Aku tidak peduli, walau dia kakek-kakek sekali pun. Hanya Gavin pria yang ingin kunikahi.

“Kau mendukungku atau tidak?”

Kini Audrey memilih kata-katanya jika dia tidak ingin persahabatan kami berakhir detik ini juga. Dia tahu kesetiannya ada padaku, bukan pada perbedaan usiaku dan Gavin.

“Baiklah-baiklah, kau bebas bermimpi. Aku dukung sepenuh hati,” katanya walau jelas sekali hatinya tidak penuh, setengah saja tidak sampai.

“Ok, baiklah. Sebentar lagi masuk pelajaran ke-tiga, lebih baik kita ke kelas sebelum kita berpapasan dengan Evan dan membuat jantungmu berpacu tidak karuan.”

Audrey menatapku malu-malu. Duh, sahabatku ini polos sekali. Tidak seharusnya dia takut saat berpapasan dengan Evan, pria itu bahkan seperti poodle ketika bertemu Audrey, layaknya idiot yang lidahnya terikat.

Kapan kau dewasa Evan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status