Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.
Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.
“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.
“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.
“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”
Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring, tetapi memang karena aku selalu menarik perhatian banyak mata.
“Mom, aku tidak lapar,” bisik-ku lagi nyaris meninggikan suara. Ibu mendelik tajam hingga mau tidak mau aku bungkam.
Kembali kuperhatikan Gavin yang terang-terangan berbisik di telinga wanita itu tanpa malu. Seakan tidak ada orang lain di sekitar, dan dengan sadar aku menikam steak pada piringku. Benar-benar Gavin menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengabaikan calon istrinya yang jelas-jelas duduk di seberang.
Jaxon menyembunyikan senyum dari balik gelas minuman, sedang matanya bagai pimpong melihat aku dan Gavin bergantian. Aku ingin menjulurkan lidah, tapi menahan diri saat Austin Walker mengatakan lelucon garing namun tetap mengundang tawa bapak-bapak di sekitar. Duh, mengapa Ibu selalu memaksaku hadir di jamuan makan malam tanpa mengundang remaja lain. Aku terlihat aneh di dalam kumpulan ini.
Belum lagi hatiku yang patah masih sakit menatap kemesraan Gavin dan plus one-nya itu. Menutup kedua telinga, aku pun memusatkan perhatian pada Gavin yang tampak ingin mencium Nayla. Kepalaku membayangkan menarik wanita itu menjauh, mengacak-acak rambut extension-nya, mencakar wajah mulus penuh make up tebal, lalu menyiram gaun malam itu dengan saus dan kecap.
Ugh! Aku benar-benar ingin melakukannya!
“Krista,” panggil suara berat baritone dari sebelah kiri.
Huh, sejak kapan Jaxon berpindah duduk?
“Kau memutilasi steakmu, lihat, tidak berbentuk.”
Aku menatap ke Steak-ku yang terpotong tidak beraturan. Kulirik Ibu yang masih sibuk berbincang dengan Nyonya Harque. Ah, untung saja Ibu tidak lihat.
“Sejak tadi kau menertawaiku, memangnya apa yang lucu?” desisku kesal.
Kali ini dia tidak tertawa, tetapi tersenyum dan kuikuti gerak matanya yang melirik ke arah Gavin.
Ugh, kalau pria itu benar-benar mencium jalang itu di hadapanku, akan kulepaskan Monster Krista dan memporak-porandakan siapa pun yang menghalangi jalan demi sampai ke hadapan jalang itu.
“Hey, kau harus bisa mengendalikan diri dan bersikap tidak terpengaruh pada sekitar,” saran Jaxon yang tentunya sulit kulakukan.
Aku orang yang sangat ekspresif, bagaimana mungkin bersikap void emosi. Bisa-bisa Ibu membawaku ke dokter gigi, karena hanya pada saat itu aku benar-benar tidak bicara.
“Aku orang yang sangat kreatif, diam saja hanya akan membuatku semakin gila,” kataku berbisik dengan suara rendah.
Jaxon sampai ikut merendahkan tubuh, dan mendengarkan perkataanku.
“Gavin sangat terbiasa dengan wanita yang selalu melemparkan tubuh padanya, jika kau menjadi sedikit dingin dan jaga jarak, dia pasti akan tertarik lalu mengejarmu. Percaya padaku, dia tidak peduli dengan wanita yang saat ini berada di sebelahnya, bahkan kau tanya pun siapa nama wanita itu, dia tidak akan hapal.”kata Jaxon sedikit menyadarkanku bahwa apa yang dia katakan, ada benarnya.
“Lalu, maksudmu aku diam saja dan menganggap dia lalat?”
“Tidak, bukan itu, tetapi bersikaplah biasa, dengan begitu dia akan penasaran. Jangan tunjukan kau tertarik padanya.”
Baiklah, sepertinya itu mudah. Bersikap biasa tanpa menunjukan perasaan. Akan kucoba.
“Ok,” kataku setuju. Jaxon memasang senyum, dan saat itulah kurasakan kehadiran seseorang di dekat kami.
Bersamaan aku dan Jaxon mengangkat kepala, tidak sadar sejak tadi wajah kami begitu dekat karena berbisik. Dan barulah aku sadar, banyak mata menatap kami penasaran.
“Jax, ingat ada Mia yang menunggumu di Aurelia,” ucap Gavin sembari melotot pada Jaxon.
Dari rumor yang beredar, aku dengar bahwa Jaxon tinggal di sebuah kastil bernama Aurelia yang berada di atas bukit emas, tetapi aku tidak tahu soal wanita di dalam hidupnya karena Jaxon sangat privat.
“Kau punya kekasih?” tanyaku spontan, tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
Awalnya Jaxon menggeleng, namun berhenti, lalu mengangguk, berhenti, dan menggeleng, daaan … mengangguk. Okeeeey, jawaban yang benar apa?
“Dia punya kekasih dan dikurung di kastil,” jawab Gavin yang langsung mendapat delikan tajam dari Jaxon. Namun, wajah Jaxon berubah lembut saat menatap ke arahku.
“Gadis cantik, aku ingin berbicara dengan Ayahmu,” kata Jaxon sembari beranjak, “Aku permisi dulu.” Dan berlalu menuju ke arah Ayah yang duduk di sofa bersama beberapa pria.
Menyadari hanya Gavin dan Aku di sini, maka hati tanpa logikaku merasa bahwa ini adalah kesempatan, tanpa membuangnya aku pun memberanikan menawarkan diri.
“Kau mau berdansa denganku?” kataku berusaha terdengar biasa, seolah ditolak tidak masalah walau sebenarnya menyakitkan.
Saat kulihat Gavin menimbang ajakanku tanpa langsung mengiyakan, hatiku berdenyut ngilu, kepalaku mulai memaki hati yang tidak memiliki logika. Yah, tentu saja dia menolak, lagi pula dia datang bersama seorang wanita. Batinku merintih sakit mengingatnya.
“Baiklah,” jawabnya hingga membuat senyumku mengembang seketika.
Kulihat Gavin mematung sesaat, namun wajahnya kembali biasa dan membalas senyumku yang merekah. Bahkan suara gelas membentur lantai tidak lagi kupedulikan. Biar saja Ibu repot mengurusi pecahan gelas-gelas.
Kami berdua memasuki lantai dansa begitu terdengar melodi indah yang mengalun di seisi ruangan.
Gavin menaruh tangannya di pinggangku sedang satunya menggenggam telapak tanganku hangat, lalu mengayunku ke udara mengikuti irama. Rasanya aku ingin menyandar di dadanya yang bidang, membaui aroma tubuhnya yang bercampur cologne, lalu melupakan orang sekitar, tenggelam dalam dunia yang hanya milik berdua.
“Kau benar-benar lupa padaku?” tanyaku saat tubuh kami merapat.
Dia menatapku dengan wajah blank seperti kertas kosong tanpa tinta.
“Kau benar-benar lupa padaku,” kataku lebih seperti meyakinkan diri bahwa dia tidak pura-pura. Sepertinya perkataan Jaxon tidak benar semua. “Lima tahun lalu, kita bertemu di tempat ini, kau tidak ingat?” tanyaku lagi sembari mengingat percakapan kami yang terjadi di lantai dansa saat itu.
Bagaimana mungkin dia lupa, aku saja masih bisa mengingat jelas postur tubuh serta gaya berpakaiannya saat itu. Setiap kata yang keluar dari bibir sensualnya masih jelas terpatri di kepala. Tapi Gavin tetap menatapku tanpa menjawab. Matanya seakan memeta lekuk di setiap wajahku. Mungkin berusaha mengingat siapa aku lima tahun lalu.
“Gadis kecil tiga belas tahun yang mengatakan akan menikah denganmu,” kataku pada akhirnya, menjawab pertanyaan yang tergurat jelas di keningnya.
Bagaikan bunga yang mekar, wajah itu mengingat kembali identitasku. Tapi sayangnya, secepat itu pula dia layu begitu menatap mataku kembali.
“Tidak mungkin,” bisiknya.
“Aku tidak percaya kau lupa, padahal kau sendiri yang bilang ketika aku dewasa kau akan menikah denganku bila perasaanku masih tetap ada,” bisik-ku sembari menyandarkan kepala di dadanya yang bidang, seperti saat pertama aku membayangkan.
Namun, bukan kebahagiaan karena berhasil mengingat kembali, tubuh itu malah tegang dan dengan cepat sesi dansa berakhir ketika dia menjauhkan tubuh kami berdua. Membuat jarak yang jauh.
Tanpa kata-kata, Gavin meninggalkanku sendiri di tengah lantai dansa bersama orang-orang yang masih berputar mengikuti alunan musik.
Aku melihat nanar pada punggungnya yang tenggelam dalam keramaian, hatiku terasa sakit ditinggal tanpa alasan. Dia bahkan tidak menjawab lamaran yang barusan. Bukan ini yang kuimpikan. Seharusnya dia memainkan ukulele, atau mungkin piano, lalu berlutut di hadapanku hingga semua orang bersorak mengucapkan selamat setelah kukatakan I do.
Tanpa melihat sekitar, aku berjalan menuju toilet, bahkan tidak peduli apakah Ibu atau Ayah melihat yang barusan.
Baru saja aku mencuci muka untuk mendinginkan kepala, saat kulihat gaun merah yang dipakai oleh Nayla ditangkap ekor mataku. Dia mendekat tepat di belakang, tetapi kuabaikan, pura-pura sibuk mencuci muka.
“Kulihat kau sangat akrab dengan Jaxon Bradwood dan juga Gavin Caleston. Seharusnya anak kecil sepertimu tidak bermain dengan orang dewasa, fokus belajar agar mimpimu tercapai,” kata wanita itu penuh racun. Jelas sekali dia menahan diri untuk tidak meninggikan suara, takut menarik perhatian yang hanya akan merusak reputasi.
“Itu bukan urusanmu, mimpiku jug bukan urusanmu,” desisku sama kesalnya.
Siapa dia, ibuku juga bukan.
“Kau masih kecil, tidak seharusnya mengejar pria lebih tua.”
Oh, aku tidak tahan lagi!
“Siapa yang anak kecil? Dibandingkan dada palsumu, punyaku lebih asli. Bahkan aku bisa jamin ukuranku lebih besar dibanding milikmu yang seukuran jeruk,” sindirku sembari memerhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga kaki.
Tidak peduli bila Ibu menceramahi panjang lebar soal etika, tetapi wanita ini berani menghinaku.
“Dasar jalang! Mau jadi apa setelah dewasa? Wanita murahan? Masih kecil ucapanmu tidak sopan!” pekiknya.
“Jaga ucapanmu, Ayahku seorang Mayor!”
“Kau bahkan tidak mirip Levi Reid, berani-beraninya mengakui.”
Saat dia melihat mataku mulai membara, wanita itu kembali memancing.
“Kau tahu, meski kau bersikap murahan dengan menggoda Gavin, malam ini yang menghangatkan ranjangnya adalah aku. Bukan kau. Jadi, anak haram sepertimu sebaiknya menyingkir dan jangan mencoba-coba mendekati Gavin,” desis si Jalang Nayla yang benar-benar membuatku marah.
Aku hendak menjambak rambutnya, saat tiba-tiba seorang wanita masuk ke dalam.
Kami berdua terdiam, karena pertama aku tidak ingin Ibu tahu kejadian tidak sengaja kali ini, hanya akan bikin malu, dan kedua aku tidak ingin Jaxon mengejeku tidak sabaran karena terpancing emosi terlibat pertengkaran.
“Urusan kita belum selesai,” kataku ketika wanita baru itu masuk ke dalam salah satu toilet.
Dengan wajah angkuh terangkat ke udara, si Jalang Nayla meninggalkanku.
Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Perkataannya tentang aku yang anak haram tidaklah menyakitkan karena jelas sekali aku bukan anak haram, hanya spekulasi karena aku tidak mirip Ayah dan Ibu, tetapi perkataan si Jalang itu tentang menghabiskan malam dengan Gavin benar-benar menghunjam hatiku dengan sembilu yang sakitnya tidak terkira.
Ah, aku tidak boleh menangis. Ibu bilang gadis cengeng dibenci laki-laki.
Dengan langkah berat aku meninggalkan toilet, dan berjalan menuju lantai dansa, mencari Ibu untuk pamit duluan ke kamar. Tetapi langkahku terhenti saat melihat si Jalang Nayla berdansa dengan Gavin.
Keduanya terlihat mesra mengikuti irama. Bahkan kepala wanita itu bersandar di dada Gavin yang sudah kupastikan hangat dan kokoh. Ada seringai di bibirnya begitu melihatku yang memperhatikan dari kejauhan, si Jalang Nayla bahkan sengaja mendekatkan bibir ke telinga Gavin membuat pria itu tertawa sedang mata jalang itu terus memerhatikan reaksiku.
Walau Jaxon bilang aku harus mengendalikan diri, tetapi aku juga tidak bisa berlama-lama melihat yang begitu. Dengan berat hati kutinggalkan lantai dansa tanpa meminta izin Ibu lebih dulu.
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende