Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.
Huft!
Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.
“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.
Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.
“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.
Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.
Terkadang aku lelah dengan hubungan tarik ulur keduanya.
Apa tidak bosan selalu bersikap seperti itu setiap kali bertemu?
“Hey Krista,” sapa Evan dengan senyum empat puluh watt-nya yang kubalas dengan malas-malasan.
“Kalau kau ingin bicara dengan Audrey, urungkan saja niatmu itu, dia tidak akan mau,” kataku terus terang yang langsung dibalas dengan injakan di sepatu.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Audrey yang sejak tadi berdiri di sebelah.
Aku meringis dan melemparkan tatapan tajam yang Audrey tanggapi dengan memutar bola mata.
Lihatlah anak tidak sopan ini, sama sekali tidak menghargai orang yang lebih tua empat bulan darinya.
Kudengar Evan berdehem sebelum dia memasang senyum kembali. “Aku ingin mengajak kalian makan di luar,” katanya yang langsung membuatku menajamkan pendengaran.
Mungkin saja aku salah dengar.
“Apa?” tanyaku sembari melirik Audrey yang memainkan ujung kemeja dengan gerakan resah.
Sepertinya mereka perlu berbicara dari hati ke hati agar tidak lagi bersikap canggung. Bahkan aku bisa merasakan suasana di sekitar yang tidak nyaman dan berasal dari Audrey sendiri.
Kembali Evan berdehem sebelum berkata; “Aku mau mengajak kalian makan di luar. Apa kau suka makanan Italia?”
“Ya, Pizza dan pasta,” jawabku sekenanya yang membuat Evan tertawa.
“Baiklah, kalau begitu kita ke De La Crush. Bagaimana?”
Mendengar itu, aku pun langsung setuju, karena De La Crush memiliki tempat yang nyaman dengan parkiran luas, tetapi sepertinya Audrey tidak setuju karena sejak tadi kurasakan tarikan di lengan baju yang asalnya dari tempat Audrey berdiri.
“Tentu saja, ayo,” jawabku menyanggupi yang langsung membuat tarikan di bajuku semakin kuat.
‘Ya ampun, ini hanya makan saja, Audrey’.
Apa yang ada di mataku saat menatap ke arah Audrey yang melotot tidak setuju. Dia bahkan membalas di balik manik matanya; ‘Aku tidak mau membuat Evan berharap lebih.’
Keningku berkerut semakin dalam.
Huh?
Sejak kapan Audrey berhenti menyukai Evan? Bukankah baru kemarin dia melompat-lompat seperti kelinci yang mendapat wortel ketika Evan mengajaknya ke prom night?
Tanpa memedulikan protes Audrey, aku pun mengikuti Evan yang menuju parkiran.
“Krista, kau harus ingat Ayahmu melarang untuk keluyuran sepulang sekolah,” desis Audrey yang mengekor di belakang.
Aku menoleh padanya dan berkata; “Ayah tidak akan keberatan bila kita ke De La Crush, lagi pula ada Mr. Crush di sana yang akan memastikan sendiri dan bersaksi pada Ayah,” jawabku sembari terus melangkah menuju mobil.
Ayah memiliki hubungan yang baik dengan pemilik restaurant De La Crush, yaitu Grant Crush.
Audrey menghela napas sembari pasrah mengikutiku hingga ke mobil yang terparkir di halaman sekolah.
“Apa kalian mau ikut denganku? Nanti kita bisa kembali ke sini dan mengambil mobilmu,” tawar Evan yang langsung kusetujui dan lagi-lagi mendapat pelototan tajam dari Audrey.
“Ide yang bagus!” kataku antusias sembari menarik tangan Audrey yang hendak melarikan diri. “Kalian duduk di depan, aku sedang ingin memejamkan mata sebentar,” kataku membuat alasan.
Manik mata Audrey semakin membulat mendengar itu, karena dia harus duduk bersebalahan dengan Evan selama lebih dari lima belas menit dalam perjalanan.
“Krista!” desisnya yang tidak aku tanggapi. Bahkan, aku membukakan pintu untuk Audrey dan memaksanya duduk di depan.
“Kasihan Evan yang menyetir tanpa ditemani,” tambahku lagi yang semakin membuat Audrey bermuka masam.
Astaga, aku hanya ingin membantu kisah cinta keduanya agar berjalan lancar. Itu saja. Please, jangan menatapku seperti itu, Audrey. Hhhhh …
Setelah semua orang berada di posisi masing-masing, aku pun berpura-pura tidur dan mendengarkan keduanya. Errrr … maksudku, pembicaraan satu arah antara Audrey dan Evan, karena sejak tadi Evan mengoceh tanpa henti sedangkan Audrey hanya membalas dengan gumaman; ‘hmm’ atau ‘mmm’ terkadang ‘ngg’ yang membuat telingaku kekurangan asupan kata.
“Universitas mana yang kau tuju?” tanya Evan yang tidak dijawab Audrey sehingga dia melanjutkan. “Aku akan melanjutkan ke Boston University, dan kuharap kau juga kuliah di sana sehingga kita bisa tetap bersama.”
Ya ampun, Evan, Audrey sudah bilang bahwa dia tidak akan lanjut kuliah karena dia tidak memiliki biaya. Bahkan saat ini keluarganya sedang terlilit hutang yang besar, bagaimana mungkin Audrey bisa melanjutkan pendidikan. Hhhh … terkadang aku lupa bahwa Evan bersal dari keluarga kaya yang tidak mengetahui keadaan Audrey.
“Oh, bagus,” jawab Audrey pendek.
Evan terus saja mengoceh panjang lebar, termasuk tentang liburannya ke Bali beberapa minggu yang lalu. Bila kudengarkan dengan baik, pria ini hanya membicarakan diri sendiri.
Apa aku sudah salah menilainya selama ini?
Setelah perjalanan yang membosankan, kami pun tiba di De La Crush dan turun dari mobil bersamaan.
Restauran De La Crush tampak sepi, dan aku baru sadar bahwa sudah lewat jam makan siang. Baguslah, aku lebih suka suasana yang tenang.
“Kita duduk di dekat jendela saja,” usul Evan yang aku setujui.
“Boleh,” kataku.
Kami berjalan menuju salah satu bangku yang letaknya di dekat jendela. Dari sini, aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang di jalanan.
Aku tahu ini bukan tempat dengan pemandangan premium seperti La Fontana yang berada di atas gedung tinggi yang memiliki view indah hingga bisa melihat keseluruhan kota Denver, tetapi De La Crush lebih seperti restaurant keluarga dengan suasana keakraban dan juga makanannya enak. Bagiku, itu saja cukup.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya salah satu waitress.
“Hay Slaine,” sapa Audrey pada pelayan itu. Keduanya adalah bertetangga di apartemen yang letaknya di pinggiran Denver.
Slaine tersenyum pada kami. Ah, aku iri dengan senyumnya yang manis, dan dia juga adik dari salah satu Anggota Organisasi Red Cage, semakin membuatku menjadi iri.
“Pesanan yang biasa?” tanya Slaine padaku yang sudah biasa makan ke sini bersama Ayah.
“Iya, dan aku juga minta Pizza ukuran besar dengan topping biasanya,” tambahku.
Setelah dia mencatat pesanan, Audrey serta Evan menyebutkan pesanan mereka.
Begitu Slaine mengambil pesanan kami ke belakang, Audrey pun tiba-tiba berdiri.
Aku menatap Audrey dengan kening berkerut heran.
“Aku mau ke toilet,” kata Audrey tanpa menunggu salah satu dari kami bersuara.
Kepala Evan terus mengikuti pergerakan Audrey hingga dia menghilang ke ruangan yang berbeda.
“Apa kau akan bersikap seperti itu setiap kali di dekat Audrey?” kataku yang menarik perhatiannya dan menatapku dengan senyum malu-malu.
“Kau kan sudah tahu aku menyukai Audrey sejak awal masuk,” ucap Evan yang membuatku memutar bola mata.
Masih jelas dalam ingatanku bagaimana Evan yang akan mengikuti Audrey dan selalu bersikap malu saat didekati. Pria ini sudah memendam rasa selama tiga tahun, dan baru berani mengungkapkannya beberapa waktu lalu. Itu pun karena dia berpikir prom night adalah kesempatan yang bagus.
“Pernyataan perasaanmu itu sudah terlambat. Bagaimana bila kalian berpisah karena kau berkuliah di Boston?” tanyaku lagi sembari melirik ke luar jendela.
Kudengar Evan meringis karena dia menyadari bahwa keduanya pasti akan berpisah. Dengan suara lemah dia berkata; “Aku tidak ingin jauh darinya, tetapi kedua orang tuaku mengancam tidak akan memberi uang bila aku tidak kuliah.”
Ya ampun, masalah orang kaya.
Dengusku dalam hati. Dan aku baru menyadari bahwa kedua orang tua Evan sangat mementingkan reputasi serta omongan orang di sekitar.
“Kalau begitu, cepatlah menyelesaikan pendidikanmu, lalu datang ke Denver bila sudah waktunya dan ajak Audrey untuk hidup bersama,” kataku memberi solusi yang kutahu mustahil, karena bisa saja dalam waktu empat tahun itu Audrey menikah dengan seseorang atau mungkin masing-masing dari mereka memiliki pasangan.
Dan itu pula yang membuatku tidak ingin kuliah jauh-jauh dari Denver, bila perlu aku akan menikahi Gavin secepatnya, jadi, tidak harus dipusingkan dengan pertanyaan kuliah di mana.
Evan menggeleng sedih, seolah dia memikirkan hal yang sama denganku; mustahil.
Sayang sekali, padahal kisah cinta mereka baru saja akan dimulai, tetapi harus berpisah dan sikap acuh tak acuh Audrey menambah sulit bagi keduanya menjalin hubungan.
Aku hendak mengatakan lebih saat tiba-tiba dari ekor mataku mendapati sosok yang kurindu beberapa hari ini melintasi parkiran.
Kepalaku berputar cepat ke arahnya, dan tanpa lepas mengikuti dia hingga masuk ke dalam restaurant.
Ah, sepertinya Tuhan berpihak padaku, karena rasa rindu yang kupendam selama beberapa hari sedikit terobati.
Aku hendak memanggil namanya, saat kulihat seorang wanita berjalan di belakang dan menyentuh lengannya mesra. Karena fokusku hanya pada Gavin sehingga aku tidak melihat ada seseorang yang sejak tadi bersamanya memasuki restaurant.
Hatiku terhenyak, karena ternyata selama beberapa hari tidak melihatnya, dia sedang bersama wanita lain. Rasanya ada ribuan belati melihat dia yang tertawa pada wanita di sebelah, sedang aku menatap cemburu dengan air mata di pelupuk melihat keakraban keduanya.
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende