Share

BAB 6

Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.

Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.

Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.

“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.

Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.

“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.

“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” kataku keras kepala.

Audrey mendengus kesal.

“Sampai kapan kau akan melihat bahwa pria itu tidak menaruh rasa padamu, Krista. Sudahlah, akhiri saja kegilaan ini. Obsesimu sudah berlebihan,” nasihatnya yang tidak kudengarkan sama sekali.

Aku melirik Audrey dengan sengit.

“Kau berada di pihak-ku atau semua orang yang menentang?”

Melihat wajahku yang serius, Audrey pun mengulum bibir dan menghembuskan napas.

“Baiklah. Mari kita lihat seberapa lama mereka berdansa,” jawabnya yang kembali menaruh fokus pada pasangan di depan.

Kepalaku mengangguk setuju. Kami pun mengawasi pasangan itu berdansa selama satu jam penuh, bahkan tidak sekali pun aku berkedip. Dan selama itu pula Gavin bergerak sangat sensual hingga beberapa kali bibirnya tampak dekat di wajah wanita berambut brunet. Rasanya aku ingin berjalan ke sana dan memisahkan keduanya dan menampar wajah wanita itu bolak-balik hingga dia tidak bisa melihat Gavin lagi.

Susah payah aku menahan diri hingga bokongku terasa panas, memaksa untuk duduk.

Setelah pasangan itu berhenti, keduanya berjalan menuju ke luar klub. Aku pun menarik tangan Audrey dan menyeretnya hingga kami melewati pintu.

“Pelan-pelan, Krista. Kakiku kebas karena terlalu lama duduk,” keluh Audrey yang menghentikan langkahku seketika.

“Ya ampun, kenapa kau tidak bilang,” kataku sembari terus menatap ke arah Gavin yang berjalan bersisian dengan wanita brunet menuju mobil.

Kami berdiri beberapa menit sampai Audrey bisa berjalan lagi.

“Apa kita kehilangan keduanya?” tanya Audrey begitu sampai di parkiran.

“Tidak, dia masih berada di dalam mobil dan sedang melakukan entah apa,” desisku dengan rahang mengeras dan gigi beradu.

Hatiku bahkan terasa sakit membayangkan hal-hal yang mungkin dilakukan keduanya di dalam sana, tetapi Ibu selalu menasihati untuk selalu berpikir positif bila ingin mendapatkan hal positif pula, maka itu pula yang kulakukan.

Positif … positif … positif.

“Mantra apa yang kau sebut? Kutukan agar Gavin impoten?”

Seketika pikiranku pun buyar mendengar Audrey yang matanya melekat ke mobil di depan.

Astaga, tidak kusangka sahabatku tahu arti impoten.

“Darimana kau mendengar kata-kata itu?” tanyaku heran.

Kedua bahu Audrey terangkat ke udara.

“Bibi Flo sering mengutuk tetangga sebelah apartemen kami yang suka mengundang wanita berbeda setiap malam,” jawab Audrey ringan.

“Kuharap Gavin tidak impoten,” desisku.

Bagaimana kami akan punya anak bila dia impoten. Ucapan Adurey benar-benar membahayakan masa depan kami berdua!

“Ya ampun, tenang, aku tidak benar-benar menginginkan dia impoten, hanya saja, aku berharap tidak terjadi sesuatu di dalam sana, karena mereka sangat lama sekali. Ini saja sudah lewat sepuluh menit,”jelas Audrey yang membuatku ingin berlari ke sana dan memecahkan kaca mobil pria itu.

“Lalu, kita harus bagaimana?” tanyaku masih terus memperhatikan mobil Gavin yang  lampu belakangnya menyala sejak tadi tapi tidak ada tanda-tanda akan beranjak.

“Perhatikan baik-baik, apa mobilnya bergoyang atau tidak?” ucap Audrey dengan suara rendah seolah dia baru saja mengatakan sebuah rahasia.

“Memangnya kenapa kalau bergoyang?” kataku balik bertanya.

Percakapan ini benar-benar tidak membantu sama sekali!

Aku bahkan semakin bingung dan marah pada Gavin bersamaan. Teganya dia bersama wanita lain disaat sudah berjanji akan menikah denganku.

“Bibi Flo pernah cerita dengan tetangga kami yang sebelah lagi ketika datang curhat ke rumah, katanya dia tahu pacarnya selingkuh saat melihat mobil pria itu goyang dan seorang wanita setengah telanjang berada di dalam bersama si pacar,” jelas Audrey yang membuatku semakin tidak tenang. “Aku tidak tahu apa hubungannya mobil yang goyang dengan wanita telanjang, tetapi pastilah hasilnya tidak baik.”

Bersamaan aku dan Audrey memperhatikan mobil Gavin yang terparkir sejak tadi, tetapi tetap saja mobil itu diam.

“Apa menurutmu kita dekati mobil itu dan lihat apakah ada wanita telanjang di sana?” tanyaku dengan ragu.

Kepala Audrey menggeleng cepat.

“Jangan! Apa kau mau jika Gavin tahu bahwa kita sedang mengikutinya?”

Kali ini kepalaku yang menggeleng cepat.

“Sekarang belum waktunya dia tahu. Aku masih ingin melihat tempat-tempat yang sering dia kunjungi,” ucapku menjelaskan alasan.

Oops! Sepertinya aku sudah salah bicara, karena jelas saja Audrey tidak setuju.

“Aku tahu kau memang gila, tetapi jangan sampai kegilaanmu berubah menjadi stalker!”

“Aku bukan penguntit! Kita berbicara Gavin di sini, Audrey. Calon Ayah dari anak-anakku di masa depan.”

Audrey menghela napas sembari memukul keningnya di kaca pintu mobil.

“Bila dua bulan ke depan kau masih bersikap seperti ini, aku akan menyeretmu ke psikiater! Dengarkan Krista Reid, aku tidak bercanda!”

Dari mata Audrey aku tahu dia serius.

“Baiklah,” jawabku acuh. “Tapi, mengapa menunggu dua bulan lagi?”

“Karena kau sendiri yang bilang ingin mengajak Gavin ke acara prom night, dan bila saatnya tiba dia tidak juga menerimamu, maka aku tidak peduli lagi dan membawamu ke psikiater.”

Kali ini ketika jari kelingkingku terangkat ke udara, Audrey menautkannya dan mengikat perjanjian kami berdua.

“Promise,” ucap kami bersamaan.

Saat itulah aku melihat mobil Gavin menyala dan perlahan meninggalkan parkiran menuju jalan utama.

“Ayo, ikuti dia,” kataku sembari memacu mobil dan mengekori Gavin dari belakang.

Awalnya kami hanya berputar-putar tidak jelas, hingga pada akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah hotel dan kami berdua bergegas turun dengan gerakan hati-hati, mengikuti Gavin dan si wanita brunet yang tidak henti memeluk Gavin sembari tertawa-tawa genit.

Rasanya aku ingin menutup mulut wanita itu dengan sepatu kets yang ada di kaki.

Berani-beraninya jemari bercat merah itu menyentuh Gavin-ku yang suci!

“Hentikan napasmu yang memburu, petugas jaga di depan sana bisa curiga,” desis Audrey yang menyadarkanku kembali. “Bersikap biasa. Senyum dan pura-pura ceria,” usulnya yang langsung merubah kami menjadi aktris paling berbakat di dunia.

Aku yakin kami bisa memenangkan Oscar bila diteruskan.

“Selamat malam,” sapaku pada penjaga pintu.

Pria itu awalnya terpaku pada kecantikan kami berdua, tetapi setelah aku menjentikan jari di depan wajahnya, dia pun balas tersenyum.

“Selamat malam Nona-nona,” katanya sembari mempersilahkan kami masuk ke dalam.

“Ya ampun, itu tadi sangat mudah sekali,” bisik Audrey di telingaku begitu kami menjauhi lobby dan memasuki ruang utama.

“Lalu, bagaimana kita bisa tahu dia akan berada di kamar yang mana?” tanya Audrey bingung.

“Kau ikut masuk ke lift, aku akan menyusul belakangan,” kataku yang langsung membuat mata Audrey membulat seketika.

“Kau bahkan tidak mempersiapkan semua dengan matang,” desisnya kesal karena dijadikan tumbal. “Bila aku tahu seperti ini, lebih baik aku menunggu di luar.”

Aku menarik tangan Audrey dan memohon padanya dengan mata penuh  binar. Gesture yang sulit dia tolak.

“Tenang saja, dia tidak akan mengenalmu. Lain cerita jika dia melihatku.”

“Bagaimana mungkin kau tahu dia tidak mengenalku?”

“Kau masih remaja, dia pasti tidak peduli dengan anak-anak atau remaja.”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota Red Cage bisa mengenali penduduk kota dengan mudah.

Audrey mendengus dan akhirnya mengalah.

“Kau berhutang banyak setelah ini, Krista, ingat … seminggu jatah makan siang di kantin adalah milikku,” ucap Audrey dengan pandangan mengunci mataku.

Setelah aku mengangguk, barulah dia setuju dan mulai berjalan menuju lift dimana Gavin dan si wanita brunet berdiri setelah mengambil kunci dari resepsionis.

Untung saja ada banyak orang yang menunggu lift bersamaan, sehingga keberadaan Audrey tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali.

Setelah orang-orang itu masuk ke lift, barulah aku bergegas menuju tangga dengan ponsel siap siaga di tangan. Begitu memasuki lantai enam ponselku pun berbunyi dan pesan dari Audrey masuk. Napasku yang putus-putus akhirnya normal kembali. Dengan semangat aku melanjutkan langkah dan menuju lantai delapan, dimana Gavin berada.

‘Dia berada di kamar nomor empat puluh Sembilan.’

Tulis Audrey.

Begitu memasuki lantai delapan, aku pun menemukan Audrye yang pura-pura berdiri di dekat pintu bertuliskan nomor empat puluh.

“Dia ada di sana,” bisik Audrey saat aku berada di sampingnya.

“Terima kasih,” kataku sembari tersenyum.

“Lalu, apa setelah ini? Pulang?”

Aku menggelengkan kepala yang membuat Audrey bertanya.

“Tunggulah di sini,” kataku pada Audrey. “Atau kau bisa turun ke lantai bawah.”

Audrey hendak mengatakan sesuatu tetapi urung. Dia penasaran dengan apa yang selanjutnya hendak kulakukan.

Sengaja kupercepat langkah hingga ke kamar nomor empat puluh Sembilan.

Kuketuk pintu di depan hingga terdengar suara maskulin dari dalam kamar yang menyuruh untuk menunggu.

“Sebentar!” katanya samar-samar.

Kujauhkan kuping dari pintu, karena aku tidak mau begitu pintu terbuka tubuhku jatuh ke dalam dan terguling. Tentunya akan sangat memalukan dan juga tidak sexy sama sekali.

Tidak lama kemudian pintu pun terbuka, dan wajah yang kulihat bukanlah Gavin melainkan seorang wanita yang pakaiannya sudah berganti hanya dengan memakai handuk melilit di tubuh.

Aku mendelik tajam pada wanita itu, yang membuat wanita berambut brunet kebingungan.

Sebelum dia membuka mulut, aku mendorong tubuhnya ke samping dan masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Begitu kakiku melangkah ke dalam, mataku tertuju pada sosok Gavin yang duduk di salah satu sofa sedang menikmati wine dengan tubuh masih dibalut baju lengkap. Tidak sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa tadi mereka melakukan sesuatu, membuatku sedikit lega.

Sebelah alis Gavin naik ke dahi, seolah dia sudah menunggu kehadiranku.

“Apa kau puas main detektif-detektifan Miss Reid?” tanya Gavin dengan intonasi sedikit bosan.

“Kau sudah tahu aku mengikuti sejak tadi?” tanyaku sembari mendengus.

Rasanya sia-sia saja usaha yang tadi. Dia bahkan tampak tidak peduli dan terus menyesap wine dan mengabaikan wanita setengah telanjang yang masih berdiri di ambang pintu.

“Mr. Caleston, siapaꟷ”

Belum sempat wanita berambut brunet itu menyelesaikan ucapan, Gavin pun menyela.

“Sebaiknya kau selesaikan mandimu Anna, dan segeralah pergi,” ucap Gavin dengan nada dingin hingga aku pun ikut merasakan bulu roma yang berdiri.

Wanita bernama Anna itu menghentakan kaki kesal dan berjalan ke kamar mandi dengan perasaan marah yang jelas.

Keheningan menyelimuti kami berdua begitu wanita tersebut menutup pintu dengan keras. Aku memilih duduk di ujung ranjang, tepat di depan meja dan sofa yang Gavin duduki. Pria itu masih asyik menyesap wine tanpa memedulikan sekitar. Sesekali aku melihat ke arahnya dan juga plavon serta seisi ruangan.

Entah mengapa sausana di antara kami berubah berat seketika.

Lima menit kemudian, wanita tadi keluar kamar mandi lengkap dengan baju yang tadi.

Dahiku berkerut melihat wanita itu yang memakai baju dengan cepat. Aku yakin dia tidak mandi karena aku tidak mendengar suara percikan air dari dalam.

Setelah menarik tas dari atas kasur, wanita itu pun berjalan menuju pintu dan seperti dalam drama, tidak lupa melemparkan tatapan tajam ke arahku, seolah aku-lah yang salah di sini, bukan dia.

“Namaku Anne, bukan Anna,” desis wanita itu dengan intonasi kesal sebelum akhirnya membanting pintu untuk ke-dua kalinya.

Sepeninggalan si wanita berambut brunet, ruangan pun kembali diliputi keheningan. Begitu perhatianku kembali pada Gavin, ternyata sejak tadi matanya tidak lepas memandangku. Bahkan, dia mungkin tidak sadar bahwa wanita yang tadi bersamanya sudah pergi.

Ditatap begitu lama, aku pun merasa canggung dan berdehem untuk mencairkan suasana.

“So … sepertinya aku salah kamar,” kataku bermaksud hendak beranjak, tetapi ternyata Gavin menahan tanganku hingga aku terduduk di atas pangkuannya.

Tanpa sadar aku terkesiap dan menatap Gavin dengan mata membulat, sedang kedua tanganku berada di dada-nya.

“Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan, Krista?” tanya Gavin dengan suara rendah, sengaja berbisik di telingaku yang sensitif.

“Sudah kubilang, aku salah kamar,” kataku berusaha lepas dari cengkraman lengannya yang melingkar erat di perutku.

“Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sudah mengikutiku sejak tadi?”

Pandangan kami beradu. Dapat kudengar suara detak jantungku yang memacu, tetapi aku kecewa mendapati jantung Gavin yang tidak berdetak kuat di bawah telapak tanganku.

“Kalau kau sudah tahu, mengapa tidak kau biarkan saja diriku dan terus bersama wanita itu, bukan mengusirnya!” balasku marah mengingat dia bersama wanita lain padahal jelas-jelas dia menyadari keberadaanku sejak tadi.

Sudut bibir Gavin berkedut, ada senyum tipis mengulas di wajah yang membuatku tanpa sadar menyentuh bibir sensualnya. Dia bahkan membiarkanku menyentuh bebas wajahnya, masih dengan menatapku lamat-lamat.

“Dimana letak menyenangkannya itu,” kata dia dengan sedikit seringai di wajah.

Aku menepuk dadanya keras, karena jelas dia mempermainkanku!

“Untung saja kau berpakaian lengkap! Bila tidak, aku tidak akan membiarkan wanita itu keluar dari ruangan ini!” pekiku marah sembari melepaskan diri dari dekapannya.

Dia membiarkanku lepas dengan susah payah, seolah menikmati tanpa peduli kekesalanku.

Setelah menjauhkan tubuh kami, aku pun berjalan menuju pintu dengan langkah buru-buru.

“Miss Reid,” panggilnya dengan suara maskulin yang sulit kutolak.

Aku menoleh masih dengan wajah memberengut.

“Jangan ulangi lagi. Aku tidak suka seseorang mengikutiku,” katanya yang hanya mendapat tatapan tajam dariku.

Tanpa menjawab perkataannya, aku pun membanting pintu dengan keras seperti wanita tadi dan berjalan meninggalkan kamar.

Kulihat Audrey yang berjongkok di tempat semula. Dia langsung berdiri ketika melihatku mendekat.

“Wanita itu tadiꟷ”

“Kita pulang. Tidak ada yang terjadi,” kataku menyela. Sudah terlalu malas menjelaskan, besok bila moodku membaik, dengan sendirinya aku akan cerita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status