Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.
Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.
Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.
Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.
Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.
Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.
Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilangan akal ketika aku mengulas senyuman.
“Mmm … itu,” gumamku sembari menyentuh pipi Evan pelan, pura-pura hendak mengambil bulu matanya yang jatuh ꟷ padahal tidak ada ꟷ dan menghembuskan jemariku dengan gerakan feminim seolah menerbangkan sesuatu.
Evan menyentuh wajahnya, sembari mencari-cari benda imajinasi yang mungkin menempel di sana.
Astaga, aku jadi merasa bersalah, tetapi demi menarik perhatian Gavin, ini masih bukan apa-apa.
Kembali kulirik ke arah Gavin yang menatap tajam ke meja kami, sedangkan wanita yang bersamanya mengoceh tanpa henti namun tampak Gavin abaikan.
See … kami punya chemistry, Gavin saja yang tidak mau mengakui.
“Ada apa kau tersenyum-senyum?” tanya Evan yang bibirnya ikut melengkung mengikuti senyum sensualku.
Aku menggelengkan kepala dengan anggun, membuat beberapa kepala tidak henti menatap ke arah kami.
Kedua alis Evan saling bertaut mendapati tatapanku yang tiada henti melewati bahunya.
“Ada apa di belakangku, Krista? Apa Audrey sudah kembali dari toilet?” tanya Evan pensaran.
Saat dia hendak berbalik melihat ada apa di balik tubuh, dengan cepat aku menarik wajahnya di antara telapak tangan dan menahan kepalanya untuk tidak menoleh. Mungkin, bagi beberapa orang yang melihat, kami lebih terlihat seperti sepasang kekasih.
Huh, masa bodoh. Aku hanya ingin melihat reaksi Gavin.
“Tidak ada,” ucapku dusta. “Duh, ada bulu kucing di bahumu,” tambahku sembari mengibas-ngibaskan bahu Evan dengan penuh niat.
Kembali aku melirik ke arah Gavin yang hanya menatapku datar sebelum menggamit teman wanitanya menuju meja di ruang VVIP, dan membuatku tidak bisa menatapnya lagi, karena kami dipisahkan dinding.
Ugh! Kenapa dia harus makan di ruang privat? Aku jadi tidak bisa melihat apa yang dia lakukan di sana dengan wanita itu.
Apa aku menyusulnya saja? Tapi aku tidak ingin mendapat masalah sehingga seseorang melaporkanku pada Ayah karena lagi-lagi memberi pertunjukan di tengah keramaian.
“Krista, tidak baik menggigit kuku yang bercat. Apa kau tidak tahu ada banyak bahan beracun dalam cat kuku? Salah satunya toluene, formaldehyde yang dapat menyebabkan gangguan hormonal dan bersifat memicu kanker sertaꟷ”
Perkataan Evan menyadarkanku dari skenario memisahkan Gavin dan wanita yang baru ini kulihat. Dan sebelum pria di hadapanku menyelesaikan penjelasan tentang betapa pentingnya memperhatikan mata pelajaran Kimia, lebih dulu kututup mulutnya dengan telapak tangan hingga mendiamkannya seketika.
Evan mengibas tanganku dan melotot tidak senang.
“Ada apa denganmu?” sungutnya.
Aku mengedikan bahu dan nyengir kuda sembari mengabaikan Evan sedang mataku melirik ke arah pintu masuk menuju ruang VVIP.
“Kau tahu sendiri aku tidak suka membahas pelajaran setelah sekolah berakhir,” ucapku asal.
Kudengan Evan mendengus yang akhirnya kuabaikan.
“Ya, ya … katakan itu pada si juara kelas dan pemenang Olimpiade,” cibir Evan menyindir seseorang; Me.
Karena menunggu pesanan yang lama, Evan yang bosan akhirnya memfokuskan diri pada ponsel, sedangkan aku terus mencuri lihat ke arah ruang VVIP. Menyusun strategi bagaimana caranya masuk ke dalam tanpa memancing keributan, tetapi hatiku ragu karena ‘diam saja’ bukanlah diriku.
Dari ekor mata aku melihat kedatangan Audrey yang mendekati meja.
Melihat wajah Audrey tertekuk ke bawah, aku yakin Bibi Flo dan Ibunyalah yang menaruh ekspresi itu di sana.
Astaga, kapan sih Bibi flo dan Ibu Audrey membiarkan Audrey menjalankan hidup dengan tenang. Dia hanya gadis delapan belas, bukan tugasnya untuk mengurus kebutuhan rumah.
“Ada apa?” tanyaku sedikit bersimpati.
Audrey menghela napas dan menghembuskan perlahan.
“Ibu menyuruhku pulang,” jawabnya.
Lihatkan, aku sudah duga.
Belum sempat aku menwarkan diri, Evan lebih dulu mencuri start.
“Aku akan mengantarmu pulang, Krista bisa menjemput mobilnya kembali ke sekolah sendiri. Benarkan begitu, Krista?” katanya sembari melirik ke arahku dengan wajah tanpa dosa, yang langsung membuatku melemparkan tatapan tajam.
Hey! Jika kau tinggalkan aku sendiri, bagaimana caraku kembali ke sekolah? Taksi? No, Thanks. Krista dan Taksi tidak bisa bersanding dalam satu kalimat. Masa laluku dengan Taksi tidak begitu menyenangkan, jadi aku menolak.
Tetapi, melihat wajah Evan yang penuh harap dengan tatapan memohon, aku hanya bisa menelan saliva dan menahan lidah untuk tidak mengatakan keluhan yang dapat menyakiti telinga keduanya.
Astaga, Krista, hatimu lembut sekali sehingga membiarkan mereka bisa menggunakan waktu berdua tanpa dirimu yang hanya obat nyamuk di tengah-tengah, dan mempertimbangkan untuk menaiki Taksi yang jelas-jelas sumber trauma.
“Mmm … baiklah,” kataku pada akhirnya dengan sedikit tidak rela, namun tetap memaksa memasang senyum pada keduanya. “Aku bisa pulang sendiri, kalian pergilah.”
Mendengar ucapanku, wajah Evan berubah berseri dan tanpa aba-aba langsung menggamit tangan Audrey, membuat sahabatku sedikit terlonjak.
“Kami pergi Krista,” kata Evan berpamitan, diikuti tatapan Audrey yang ditujukan padaku dan tampak tidak suka dibiarkan bersama Evan sendiri.
Huh, bukan salahku bila kalian berdua membutuhkan waktu untuk membangun chemistry. Salahkan saja semesta yang memberikan kesempatan bagi kalian dapat bersama.
Jemariku melambai seiring kepergian keduanya.
Setelah mereka melewati pintu, barulah pesanan kami datang ke meja.
Melihat banyaknya piring di hadapan, aku pun merasa kenyang tiba-tiba.
Bagaimana aku bisa menghabiskan ini semua?
Dan dengan lesu aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi sembari memikirkan apa yang sedang Gavin lakukan saat ini.
Ditengah pikiran-pikiran tersebut, aku merasakan kehadiran seseorang di balik punggung. Dengan malas aku menoleh ke belakang, dan mataku membulat seketika saat mendapati ternyata Gavin yang berada di sana, menatapku dengan mata birunya yang intens dan menenggelamkan.
Setelah lama saling tatap, dia pun mengalihkan perhatian pada makanan yang terhidang di atas meja.
“Kemana pacarmu pergi?” tanya Gavin tiba-tiba yang membuatku sedikit mengulas senyum hingga membuat alisnya bertaut.
“Kenapa? Apa kau ingin berbicara padanya?” tanyaku menggoda.
Dia melempar tatapan tajam yang sebenarnya sangat menggemaskan di mataku. Ya Tuhan, aku ingin mengelus pipinya.
“Aku tidak ada urusan dengannya,” bantah Gavin.
Lalu, apa maksudmu mendekatiku kalau begitu.
“Oh, kalau begitu ada perlu apa ke mejaku?” tanyaku, berusaha sedikit tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Terutama jarak kami yang begitu dekat, membuatku ingin menyentuh bagian tubuhnya, yang mana saja, aku tidak peduli.
Kudengar Gavin mendengus.
“Aku hanya kebetulan lewat saja, bukan bermaksud menemuimu,” kata Gavin dengan senyum miring di wajah. “Berhenti berpikir bahwa semua hal berputar di sekitarmu, Nona Manja.”
Mendengar panggilan penuh cemooh itu, aku pun mendelik tajam.
“Aku tidak manja!” delikku kesal.
Gavin menggelengkan kepala, dan berlalu meninggalkanku.
Tanpa berpikir, aku pun berdiri dan mengejar Gavin yang keluar dari restaurant menuju parkiran.
“Dimana teman wanitamu?” tanyaku dari balik punggungnya.
Dia berhenti di tengah parkiran, lalu berbalik hanya untuk mendapatiku sudah berdiri sangat dekat di belakang, dan kulihat sekelebat ada keterkejutan di balik matanya karena tidak menyadari aku masih mengikuti sampai ke sini.
“Bukan urusanmu,” jawab Gavin sembari menatapku lekat.
Aku juga tidak ingin tahu, hanya basa-basi. Mungkin saja dia bosan dengan wanita itu dan meninggalkannya di sana.
“Kalau begitu, antar aku pulang,” kataku dengan berani hingga alis Gavin naik ke dahi dengan kepala sedikit miring ke kanan.
“Apa kau bilang? Ulangi lagi,” tantangnya.
Aku menegakan bahu dan sedikit mengangkat kepala.
“Aku butuh tumpangan untuk menjemput mobil di sekolah. Kau bisa mengantarku ke sana, jaraknya juga tidak begitu jauh,” jelasku yang hanya mendapat tawa.
Membuatku kesal saja, tetapi juga berbunga-bunga karena dapat mendengar tawanya yang lepas.
Ya Tuhan, dia tampan sekali!
“Pesan saja Taksi, aku tidak punya waktu meladeni anak kecil sepertimu,” ucapnya yang membuatku memberengut seketika.
“Aku bukan anak-anak! Lihat, dadaku saja sudah tumbuh!” ucapku sengit sembari memamerkan gundukan yang jelas terlihat walau pakai sedotan dari atas patung Liberty sekali pun.
Mata Gavin jatuh ke atas dadaku, dan dia terpaku cukup lama dengan mata yang tidak lepas menatap.
See … dia juga laki-laki normal. Bayangkan reaksinya bila aku tidak menutupi si kembar.
Menyadari dirinya terhipnotis dengan tubuhku, Gavin pun mendengus sembari berbalik memunggungi sedang tangan berada di wajah. Tidak lama kemudian aku mendengar dia mengumpat sembari menggeram dengan sangat maskulin.
“Shit!” umpatnya pelan.
Tanpa peduli dengan kewarasannya setelah diskusi buah dada, aku pun menusuk pinggangnya berkali-kali dengan jari telunjuk untuk mencari perhatian kembali.
“Apa?” tanya Gavin tajam sembari menoleh ke belakang.
Aku memasang senyum paling lebar sembari berkata; “Aku butuh tumpangan, antar aku ya,” diselipi suara manja yang dibuat-buat.
Gavin hendak mengatakan sesuatu, saat tiba-tiba kami diinterupsi oleh suara helium seorang wanita yang datang dari arah restaurant.
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”
Melihat arah tatapan Gavin yang melewati bahuku, aku pun mengikuti arah pandangannya dan saat itulah mataku bertabrakan dengan seorang wanita yang mendelik tajam ke arahku.
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku
Mobil yang Gavin kendarai berjalan mulus di atas aspal.Aku melirik ke arahnya yang terlihat begitu konsentrasi hingga tidak ada waktu menatap ke arahku. Kali ini aku mencoba untuk menyalakan musik dari radio seperti sebelumnya, tetapi sampai dua buah judul lagu diputar, tidak sekali pun dia menyela. Membuatku yakin jika dia membiarkanku berbuat sesuka hati.“Kau mau berkencan denganku besok?”Aku tidak peduli bila melemparkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, karena tidak ada salahnya mencoba. Mungkin saja dia menyetujui kali ini.Gavin hanya melirikku sekilas sebelum menatap fokus ke depan. Dia pun menaikan volume suara musik hingga membuat gendang telingaku sedikit berdengung.Astaga, apa dia sengaja agar aku tidak mengajak bicara?Kubiarkan alunan musik dari radio, dan kutoel lengan tangannya yang menyetir.Dia melirikku lagi dengan ekspresi sedikit sebal.Uwu …. Tampannya!Tanpa ped
Aku pulang ke rumah dalam keadaan kecewa karena Gavin meninggalkanku begitu saja. Padahal bila dia mau, aku akan mengundangnya masuk dan mengajak makan malam bersama.Dia rugi sendiri karena pergi tanpa permisi, sehingga tidak sempat mendengar tawaranku makan di rumah.Hhhh … jika dia di sini, aku kan jadi bisa memasak sesuatu dan menunjukan padanya bahwa aku kandidat pasangan hidup yang sempurna, diidamkan banyak pria, serta rebutan para mertua. Cantik, cerdas, berasal dari keluarga yang hangat dengan berlimpah kasih sayang, dan mau belajar untuk memuaskan pasangan.Lihatkan, siapa saja pasti akan melamarku detik ini juga jika saja aku membuat pengumuman di Ingram atau Koran Pagi, tetapi sikap keras kepala Gavin membuat bakatku jadi terbatas di matanya.Ya ampun, mengapa Tuhan tega mengutukku jatuh cinta pada Freezer berjalan seperti dia!Setelah menaruh tas dan kunci di kamar, aku langsung menghubungi Audrey. Mengusir pikiran tentang Gavin
Aku mendengar suara tembakan yang berasal dari luar, dan dengan tenaga yang tersisa, aku pun bersembunyi di antara kumpulan jaket sedangkan kedua tangan penuh memegang sepatu boots berbahan cukup keras untuk membuat kepala seseorang berdarah-darah.Dalam keadaan panik, aku mendengar seseorang memanggil.Ya Tuhan, apakah si pembunuh tahu namaku?Masih diselimuti ketakutan, aku mencoba mengecilkan diri dengan meringkuk di sudut lemari, sedang kedua tangan yang tadi memegang sepatu menahan mulutku yang entah mengapa terisak menahan tangis.“Mommy,” bisikku dengan bulir air mata yang jatuh mendarat di pipi.Kepalaku bersandar pada dinding, dan adrenalin yang tadi menguasai, perlahan melebur dan mengakibatkan tubuhku menjadi lemas tiba-tiba hingga aku kesulitan mengangkat kepala dengan tubuh gemetar, sedang mataku menjadi berat.Kemana para polisi, mengapa mereka tidak kunjung tiba?Keheningan yang tadi kurasakan, berubah menja
Mataku terasa berat saat kami keluar dari mobil. Bahkan Gavin sampai harus memapah setengah jalan dan berakhir dengan menggendongku hingga ke kamar. Kepalaku menyandar dada bidangnya sekaligus mencari kehangatan dikarenakan udara malam yang berhembus dingin.Aku sudah tidak peduli akan tidur dimana, bagiku bisa berada satu atap dengan Gavin saja sudah cukup.Aahhh … lama-lama aku membeli parfum yang dia pakai dan menyebarkan di seluruh ruangan agar terus bisa merasakan kehadirannya di sisiku saat kami berjauhan.“Apa kita akan tidur di kamar yang sama?” tanyaku sembari memainkan dasinya yang sudah tidak berbentuk.Kudengar dia mendengus dan mengabaikan pertanyaanku, karena kurang dari lima menit kemudian pertanyaan tersebut terjawab.Tidak, kami tidak tidur dalam satu kamar yang sama.Ugh! Aku masih belum puas bersamanya!“Krista, lepaskan lilitan di leherku, sesak,” ucapnya dengan wajah memerah, yang ku
Setelah menangis hingga mataku berubah menjadi bengkak, Gavin pun membawaku ke dapur dan kami makan es krim bersama. Eerrrr … lebih tepatnya hanya aku yang makan es krim, karena sejak tadi dia tidak menyentuh mangkuknya sedikit pun.Gavin hanya duduk diam di seberang meja sedangkan aku menikmati es krim rasa vanilla yang dia ambilkan dari kulkas. Dia bilang es krim itu dibeli oleh asisten rumah tangga yang selalu datangs etiap tiga kali seminggu. Katanya, dia perlu meluruskan agar aku tidak berpikir bahwa Gavin suka es krim.Padahal aku tidak peduli bila dia suka atau tidak, karena aku akan menghabiskan semua setiap kali berkunjung ke sini di masa depan nanti.Mmm … aku tidak tahu kalau es krim merek eskimo rasanya bisa seenak ini.Apa karena berasal dari kulkas Gavin jadi rasanya berbeda?Tanpa sadar aku juga menjilati lelehan es yang mengalir di jari, dan saat itulah aku mendengar suara menggeram yang asalnya dari pria di hadapan.
Aku terbangun ketika jam sudah menunjukan pukul Sepuluh pagi. Untuk sesaat aku terdiam dalam posisi duduk dan mendengarkan pergerakan seseorang dalam apartemen.Siapa lagi jika bukan Gavin.Dan setelah tidak terdengar suara sedikit pun, aku segera bangkit dari kasur.Dengan penampilan sehabis bangun tidur yang membuat rambutku acak-acakan ke segala arah serta tubuh hanya dibalut kemeja putih Gavin yang kujadikan piyama, aku pun turun ke lantai bawah. Tanpa peduli dengan kaki jenjang yang tidak dibalut celana, serta kemeja yang hanya sebatas paha, aku melenggang begitu saja ketika menuruni tangga.Untung saja suasana di apartemen terasa hangat, sehingga kaki telanjangku tidak kedinginan.Baru saja aku sampai di lantai bawah ketika indraku mencium aroma biji kopi panggang. Aroma wangi tersebut membawa langkahku hingga ke dapur, dan saat itulah aku menemukan Gavin sedang memunggungi, tampak sibuk dengan mesin di hadapan.Kepalanya menoleh sedik
Aku tidak menghiraukan tatapan tajam yang dilempar oleh si Jalang Nayla. Gesturku yang santai ketika menghadapinya membuat si Jalang semakin panas.Sengaja aku mengotak-atik rambut yang tergerai dan bersikap seolah-olah baru saja menghabiskan malam yang panas, walau pun aku tidak mengerti seperti apa malam panas itu. Nanti aku akan bertanya pada Om Jaxon, karena dia tampaknya jauh lebih paham urusan percintaan di atas ranjang.“Halo, selamat pagi,” sapaku dengan suara semanis madu. “Ada yang bisa kubantu?” tanyaku pura-pura lupa dengan wajahnya.Dia mendelik semakin tajam, sedang kedua lubang hidung tampak kembang kempis.Huh, apa dia pikir aku tidak bisa membalas? Lihat, siapa yang sekarang tidur di ranjang ... kamar tamu Gavin.Yeah, meski tidak di ranjang yang sama, setidaknya kami berada satu atap semalaman.Karena Jalang di depanku hanya diam dengan mata melotot merah, aku pun mencoba mencairkan suasana. Kasihan