Share

05

Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah.

"Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang.

"Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya.

"Iya, Cha."

Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.

Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Namun, sebagai anak rumahan yang manja dan masih kekanakan, berdiri di depan banyak orang karena melakukan kesalahan, merupakan hal baru bagi Mia. Jangankan berbuat bandel, hampir terlambat saja sudah membuatnya keringat dingin.

Mia masih agak syok meski sudah setengah hari berlalu. Ingin sekali rasanya menangis dan berlari pulang. Namun, bagaimana caranya? Apalagi seumur-umur Mia belum pernah naik angkot untuk pulang ke rumah.

"Sekarang keluarkan semua bekal kalian!" perintah kaka kelas yang menjadi pemandu acara MOS hari ini.

Serentak seluruh peserta MOS mengeluarkan bekal makan siang yang telah ditentukan panitia, yaitu bakwan dan nasi kuning. Begitu pula dengan lima belas orang senior panitia MOS yang menyebar ke penjuru ruangan. Mereka seperti gangster yang sedang mengawasi sanderanya.

"Nasi apaan nih yang kamu bawa?!" tanya seorang kaka kelas pada salah satu siswi yang merupakan anggota kelompok lain di sebelah Mia.

"Nasi kotak, Kak." Siswi berkacamata itu hanya menunduk. "Kan, nasi berkat dari orang meninggal," lanjutnya.

"Hahahaa!" Dua senior yang menghampiri gadis itu tergelak. "Terus ini beneran nasi tahlilan jadinya?" tanya salah satu dari mereka.

Gadis itu menggeleng pelan sebelum akhirnya senior yang lain bertanya, "Terus ini nasi apa?"

"Nasi warteg biasa, Kak. Cuma ditaro dalam kardus nasi kotak." Gadis itu menunduk makin dalam.

"Wuidiiiih, pinter juga dia," cemooh salah satu senior sambil tertawa lebar. "Maju ke depan!"

Mia memejamkan mata melihat gadis berkacamata itu dibawa ke depan aula karena merasa bernasib sama.

"Bakwannya mana?!" tanya seorang kaka kelas yang lain pada salah satu siswi dari kelompok Mia. Siswi tersebut langsung menunjukkan bakwan jagung miliknya.

"APAAN NIH!?" Tanpa hujan angin, kaka kelas tersebut langsung membentak. Kali ini suaranya sampai membuat Mia gemetaran.

"Itu bakwan jagung, Kak," jawab siswi yang belakangan Mia baru ingat namanya Sari.

"Kamu baca gak petunjuknya?" tanya si senior.

"Baca, Kak."

"Apa?" Si senior mengangkat dagu, seraya melirik ke bawah dengan sinis.

"Sop kering, Kak," jawab Sari keheranan lantaran tak tahu kesalahannya.

"Terus kol dan wortel mana? Hah?!" Kaka senior makin meninggikan suara.

"Saya gak suka sayur kol, Kak."

"Hah?! Emang siapa yang suruh makan? Orang cuma disuruh bawa doang. Maju ke depan!"

Kini semua mata tertuju pada tujuh siswa siswi yang berdiri di depan aula. Mereka terlihat pasrah seperti sedang menanti hukuman mati. Meskipun begitu, tetap saja ada tiga orang yang terlihat santai, cengengesan, dan bersenda gurau dengan teman mereka.

Sebagai makhluk hidup pemakan segala, saat ini Mia merasa sangat bersyukur sekali. Karena menurutnya makanan itu hanya ada dua jenis rasa, yaitu enak dan enak banget. Jadi tidak ada makanan yang Mia tidak sukai.

"Huuffh." Mia mengelus dada.

"Kenapa Mia, keselek?" tanya Indira.

"Hehe, enggak. Enggak apa-apa, kok."

Setelah diizinkan makan siang, seluruh peserta MOS akhirnya merasa lega. Ketegangan yang semula tampak tak terlihat lagi. Suasana riuh rendah pun terdengar. Mia dan anggota kelompoknya bahkan saling bertukar lauk, walaupun sama-sama bakwan. Sungguh anak-anak yang aneh.

Sementara tujuh kesatria terpilih yang masih berdiri di depan aula, sedang berjuang berhadapan dengan lima belas pasukan elit sekolah. Mereka diberikan hukuman yang berbeda-beda setiap orangnya. Ada yang bernyanyi, push up, baca puisi, juga nge-gombal. Sayang, Mia tidak bisa begitu jelas mendengarnya, karena posisinya agak jauh.

Selesai makan, beberapa anak terlihat asyik ngobrol di aula maupun di luar aula. Ada juga yang pergi ke kantin sekolah, dan sebagian lainnya memilih untuk sholat. Begitu juga dengan para kaka kelas. Beberapa di antara mereka ada yang tidur di atas panggung.

"Cha, sholat, yuk!" Mia hanya mengajak Rossa sholat, karena Indira beragama Kristen. Sementara Kayobi, dia sudah dari tadi tak terlihat. Begitu juga enam orang lainnya, yang lebih memilih beristirahat bersama teman satu sekolahnya dulu.

"Aku lagi gak sholat, Mi," jawab Rossa yang celingukan mencari Kayobi.

"Nyari siapa, sih?"

"Oh, enggaaakk."

"Ya udah aku sholat dulu, ya." Mia pamit dan segera keluar dari aula tanpa membuka ember kecil yang masih bertengger di atas kepalanya.

Mia agak kebingungan kenapa orang-orang terus memperhatikannya sepanjang perjalanan menuju tempat wudhu. Hingga lima belas detik kemudian dia mendengus. "Huuff!! Pantes aja pada ngeliatin!" gerutu Mia sambil membuka ember dengan kasar. Mau tidak mau, Mia harus membawa ember itu. "Gak banget, sih, hari ini!" sungut Mia sambil menenteng ember menuju mushola.

Setibanya di mushola, Mia terkesima melihat banyaknya siswa siswi yang masih mengingat sholat. Terlebih lagi SMA BAKTI NUSA merupakan salah satu sekolah elit di Jakarta Selatan; sebuah wilayah yang cukup terkenal dengan pergaulannya. Setidaknya itu yang Mia tahu selama ini.

Selesai sholat, tanpa sengaja Mia melihat bangku panjang yang berada di depan ruang administasi, tempat dia duduk bersama ibunya untuk mendaftar sekolah seminggu yang lalu. Mia jadi teringat alasan mengapa dia memilih sekolah yang jauh dari rumah. Mia ingin jadi pemberani dan tidak manja lagi.

"Hey! Jangan depan pintu!" seru seorang laki-laki yang seketika mengentakkan bahu Mia. Ternyata laki-laki itu adalah Rangga. Kedua ujung netra mereka kembali bertemu. Namun, mereka sama-sama cuek.

Rangga yang berwajah ganteng, tetapi terkesan dingin dan galak, makin membuat Mia merasa muak. Kok bisa mirip-mirip gitu ya sama yang di film? ucap Mia dalam hati yang kesekian kalinya dan memilih untuk tak memedulikannya.

Saat hendak memakai sepatu di depan mushola, Mia kembali melihat ke bangku panjang itu lagi. Di sana cukup sepi. Hanya sesekali ada orang yang lalu-lalang. Karena itu Mia memutuskan membawa sepatu dan tak lupa ember kesayangan, yang akan menjadi bagian dari Mia selama tiga hari ke depan di sekolah.

Mia menghempaskan diri pada bangku kayu tanpa sandaran, kemudian mengembuskan napas. Cukup sulit bagi Mia mencerna segala hal yang hari ini dialami. Sekarang, menyendiri adalah hal yang paling ia inginkan.

Sambil mengayun-ayunkan kaki, Mia tampak menikmati momen itu. Namun, baru lima menit merasakan ketenangan, dua siswi yang baru datang terburu-buru, membuat jantung Mia tersentak.

"Waduh, aku harus cepet-cepet balik, nih!" Mia bangkit dari sandarannya di dinding.

Karena tak ingin maju ke depan untuk ke dua kali, Mia meraih sepatu dengan tergesa, hingga sikutnya menyentuh ember dan terjatuh. Benda itu menggelinding sangat jauh dan berhenti saat mengenai dinding.

"Duuh, ntar dulu, deh," gumam Mia.

Dia memilih terus mengikat tali sepatunya, sampai tak sadar ada seseorang yang datang. Tanpa mengucapkan sepatah kata, orang itu langsung menuju ember dan mengambilnya. Kemudian saat tali sepatu Mia telah tersimpul dengan rapi, Mia bangit dari duduk. Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuat jantung Mia seolah berhenti sejenak.

Betapa terkejutnya Mia hingga tak bisa merasakan kakinya menapak. Karena kini laki-laki yang belakangan memenuhi isi kepalanya itu, hanya berjarak setengah meter di hadapan Mia. Ember di tangan si pria sampai tak terlihat oleh Mia—seolah tembus pandang. Ini benar-benar seperti sinetron atau FTV; kurang backsound romantis saja, di mana dua insan manusia dengan gejolak yang sama saling berpandangan, tanpa kata, tanpa suara untuk waktu yang terasa lama. Namun, sayang, ada garis tak kasat mata di antara mereka yang tak kan mampu ditembus.

Sebagai orang yang lebih dewasa usianya, pria itu jelas dapat mengendalikan diri lebih baik. Lantas dia mulai berjalan mendekati Mia. Tentu saja dengan senyum lembut menghiasi bibirnya. Sedangkan Mia si cewek lugu, hanya bisa mematung. Jangankan untuk membalas senyuman, bahkan Mia saja belum sepenuhnya mengerti, dengan apa yang dia rasakan.

Makin pria itu mendekat jantung Mia berdegup kian hebat. Hingga saat mereka hanya berjarak sejengkal, Mia dapat mendengar suara detak jantungnya yang hampir menembus dada. Pria itu diam sedetik, sebelum dengan luwesnya dia menaruh ember rumbai-rumbai di atas kepala Mia. Ini sungguh gila sekaligus aneh. Karena untuk pertama kali dalam hidup Mia, dia merasa dengkulnya begitu lemas. Bahkan jauh lebih lemas dibanding tadi pagi. Namun, entah mengapa bisa-bisanya dia masih berdiri tegak. Aneh bukan?

"Hanamia? betul, kan?" tanya pria itu sambil mengalungkan tali rafia pada ember di bawah dagu Mia.

Mia mengangguk samar.

"Panggilannya Hana, atau Mia?"

"Mia. Aku biasa dipanggil Mia," jawab Mia yang mulai menyatu jiwa dan pikirannya.

Pria itu tersenyum kian lebar lalu menepuk pelan ember itu. "Sudah, cepat kembali ke aula."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status