Hal yang lumrah bagi orang yang ditolong adalah berterima kasih. Sayangnya, Kejora malah tertidur karena terkena efek obat yang diminumnya dan Andromeda tak mau berlama-lama dan bersusah payah menunggui Kejora.
Dia sudah membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk wanita itu, setidaknya dia tahu bahwa nama wanita itu adalah Kejora. Cukup sampai situ saja. Karena ponselnya berdering hebat semakin cerewet, itu artinya dia benar-benar akan kembali bertengkar dengan ayahnya di kantor.
Kejora tak berpikir apa-apa selama tidurnya. Dia mengerjapkan matanya kian perlahan, mencoba menyadarkan dirinya yang sudah tertidur entah berapa lama. Yang jelas, dia merasa tubuhnya sudah lebih baik untuk saat ini.
Tangannya dirasa kebas, saat dia berusaha untuk duduk, saat itu juga matanya melihat tangan kanannya yang ditusuk jarum infus. Baiklah, ini tak lucu. Dia sampai diinfus begini.
“Sudah bangun?” Dari samping, entah kapan sosok itu datang, yang jelas dia tersenyum ramah dan mengecek tubuh Kejora.
“Sudah, Kak ini saya sampai diinfus begini?” tanya Kejora sedikit kaku mengucapkannya.
Perawat itu mengernyit mendengarnya, logat yang digunakan Kejora sangat tak biasa. Mendengar seolah-olah wanita itu masih tak begitu lancar berbahasa Indonesia.
“Iya, karena kamu tadi tekanan darahnya rendah banget, ditambah lagi sepertinya kamu kelelahan, jadi dokter terpaksa infus kamu.”
Kejora hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda dia paham. Dia masih tak lancar berbahasa. Efek dia terlalu lama di Belanda.
Perawat itu masih saja ingin tahu. “Tapi, kayaknya bukan orang Indonesia asli ya?” tanyanya penuh hati-hati.
Kejora terkekeh mendengarnya, memang tampangnya masihlah Indonesia, namun jiwanya sudah tercampur. “Iya, kelamaan di luar negeri, jadi kaku bicaranya ...,” timpal Kejora meringis.
Perawat itu hanya ber-oh ria saja. Dia tak lagi berbincang karena dokter sudah datang.
“Wah ... sudah baikan kok, kamu sudah bisa pulang sebentar lagi,” tukas pria berjas putih khas dengan profesinya. Pria itu masih muda, berumur 32 tahun mungkin, begitu menurut pandangan mata Kejora.
“Terima kasih Dok,” balas Kejora dengan tersenyum.
“Tapi ... cowok yang antar saya ke mana ya Dok?” Pikirannya sudah kembali mengingat sosok yang tadi menolongnya.
“Wah, iya ya? Sepertinya pergi deh tadi ... kamu nanti bisa pulang sendiri?” tanya Dokter itu kembali merasa khawatir.
Kejora bingung, dia belum mengucapkan terima kasihnya, namun pria itu sudah tak ada wujudnya. Berharap akan bertemu namun tak mungkin rasanya.
“Euhm ... Mbak?” Kejora mencoba menghampiri administrator.
Dia sudah diperbolehkan pulang.
“Ya?” Salah satu perawat yang duduk di sana merespon Kejora.
“Saya ingin membayar biaya perawatan saya Mbak,”
“Atas nama siapa?”
“Kejora Senjakala,” imbuh Kejora sambil mengeluarkan kartu ATM-nya saat ini.
Sesaat perawat itu mencoba memasukkan datanya, dia kembali menatap Kejora.
“Ini sudah dibayar Kak,” tukasnya.
Kejora hanya bisa terduduk, dia tak tahu kalau dirinya sudah dibayari. Lantas kenapa dia tak bisa mendapatkan informasinya? Entahlah, pria itu sangat misterius.
Kejora sudah kembali ke rumahnya sendiri. Dia memilih untuk merapikan rumah mungilnya yang berantakan, belum lagi perutnya yang merasa lapar bukan main. Belum membeli bahan makanan dan juga ....
Bersyukur sekali ada jasa ojek online yang bisa memesankan makanannya. Itu sangat membantu.
Gadis itu sudah begitu bersemangat merapikan rumahnya, terutama pakaiannya yang dia tata serapi mungkin. Kehidupan sendiri masih berlanjut, menjadi wanita single hanya berbeda tempat tinggal saja sekarang.
***
“Baik, jadi kenapa kamu memilih melamar di perusahaan kami? Bukankah sudah jelas kalau di Belanda lebih mumpuni untuk berkarir?” Wanita yang mengenakan kacamata tanpa bingkai itu terlihat jelas bagaimana menatap penuh intimidasi pada Kejora yang duduk di hadapan mereka dengan tegap.
Kejora sendiri mengenakan jas hitam yang pas membalut tubuhnya bersamaan dengan rok span selutut dan rambut hitamnya terikat bak ekor kuda yang tersisir rapi.
Tangannya tertaut di atas pangkuan namun dengan dada membusung dan juga senyuman percaya diri yang tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Aura yang dikeluarkan Kejora mampu menyingkirkan rasa percaya diri dari para calon karyawan lainnya.
“Ya, memang, namun saya memutuskan untuk bekerja dan tinggal di Indonesia, sejatinya saya masih berkebangsaan Indonesia. Di Eropa memang lebih mumpuni, namun semua itu tak bisa menjadi tantangan untuk saya yang menginginkan suasana baru dan kondisi sistem kerja yang berbeda.”
Jora bahkan memaparkannya penuh rasa tenangnya sendiri saat ini.
Sejujurnya kalau ingin dikatakan gugup, maka Kejora akan merasa paling gugup. Dia memiliki kemampuan bahasa inggris yang lebih baik namun tidak dengan bahasa indonesia yang masih kaku diucapkan olehnya.
Semua wawancara berhasil dilaluinya, dia akan menempati posisi sebagai peneliti atau bisa jadi supervisor atau memang menjadi manager RND. Semuanya bergantung dari posisi mana yang cocok untuk gadis itu sendiri.
Kejora memilih segera pulang usai mengikuti serangkaian tes dan interview di perusahaan yang terbilang baru ini. Terlebih dirinya yang begitu melekat dengan latar belakang pendidikannya di dunia sains, setidaknya dia tak harus melenceng juga soal pekerjaannya nanti.
Tangannya memainkan stir mobil dengan lancar usai dua minggu berlatih dengan peraturan lalu lintas di negara berkembang ini. Kejora begitu jeli menatap sekelilingnya, dia melarikan mobilnya ke daerah Dago yang memiliki banyak kuliner serta pemandangan hijaunya jika menuju arah puncak.
“Iya Mam ... Mama kenapa bawel sekali sih? Aku masih utuh kok, nanti juga kan ada sepupu-sepupuku yang datang ke sini, Mama tak usah khawatir dong ....” Kejora mencoba menenangkan sang Ibu yang setiap harinya mengkhawatirkan dirinya saat ini.
Dia berhenti di pelataran MCD, restoran junk food yang jarang dia kunjungi jika berada di Belanda. Sayangnya di sini dia masih belum memiliki banyak barang untuk memasak. Lagipula dia masih ingin memuaskan perutnya dengan mencicipi semua hidangan Nusantara.
Dimulai dengan sate, nasi goreng dan apa pun yang dilewatinya. Beruntungnya, sang ayah masih mengiriminya uang untuk kehidupannya di sini.
Kejora sendiri mulai memasuki restoran itu dan memesan menu yang standar, namun ... jika dibilang rasanya akan sama dengan di Eropa, maka sungguh salah.
“Heum ...,” gumam Kejora dengan menjejalkan burger yang dipesannya.
Entah kenapa semua menu itu sangat berbeda, lebih terasa antara asin, pedas, manis dan asamnya. Sungguh berbeda, apalagi dengan sausnya. Dia harus merasakan keterkejutan di lidahnya soal rasa pedas. Benar-benar pedas bukan panas yang menyengat di tenggorokan seperti lada.
Cabai. Ya, cabai menjadi tantangan tersendiri baginya yang bahkan masih tak bisa menoleransi rasa pedasnya di sembarang tempat.
“Eh, itu tuh, level 5 aja, masih nggak kerasa kok ....”
Kejora berjengit mendengarkan remaja yang siap memesan menu makanannya namun dengan level pedas yang membuatnya bisa pingsan.
‘Aku level satu saja sudah ingin mati rasanya, kenapa mereka bisa memesan level lima begitu?’ Batinnya memprotes penuh kagum.
“Ada apa?” Andro sudah disambut oleh sekretarisnya yang menghampirinya dengan terburu-buru dan wajahnya memucat. Padahal dia baru saja memarkirkan motornya di pelataran gedung perusahaan keluarganya itu. “I—itu Pak ... Pak Kelvin ada di ruangan Bapak,” ucap wanita cantik yang rapi dengan gagapnya. Sudah tak heran lagi, memang Brenda, sekretarisnya itu selalu ketakutan dengan ayahnya. Andro hanya berdecak saja, dia sudah melenggang pergi menuju ruangannya sendiri. Sekretarisnya itu mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa gugup. Siapa yang tak ketakutan jika sudah melihat dan menyaksikan secara langsung marahnya
“Yeay ... akhirnya cuti juga kita,” pekik Kania yang sudah kembali merangkul lengan milik Kejora. Gadis dengan rambut panjang yang bercat violet itu ikut tersenyum saja dan memaklumi tingkah dari sahabatnya itu. Sudah satu tahun dirinya bekerja di Nanotechnology Central Corp, milik keluarga Tanuwijaya itu. “Iya ya? Di sini bekerja rasanya tak mendapat hari libur, padahal di Belanda aku bisa cuti dua bulan loh ...,” seloroh Kejora yang menimpali ucapan Kania saat ini. Kania, wanita dengan rambut yang tergerai dan seragam yang mencolok menurut Kejora itu menyambar penuh bersemangat dengan suara melengkingnya, “kamu tuh aneh tau nggak sih, Jora?! Di sana udah enak kamu kerja nggak sesusah di sini, malah pindah ... apa yang lagi kamu cari coba?” Kania menggeleng-g
“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon. Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini. Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya. Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya. “Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah. Di tang
Kejora tak pernah tahu kalau bertemu pria bule bernama Mike ini menimbulkan efek berkepanjangan. Jelas-jelas pria itu memiliki pesona mematikan dengan mata biru dan rambut jagungnya yang dibiarkan berantakan malah menimbulkan kesan seksi yang tak terkendali saat ini. Tangannya mendadak mengeluarkan keringat dingin nan deras dan jantungnya terus berdetak hebat menyuarakan kegugupannya yang kian kencang seiring matanya menatap dalam-dalam sosok bertubuh tinggi besar tengah menuju ke arahnya sembari melemparkan senyuman mautnya. Deg! Deg! Deg! ‘Berhenti kau jantung sialan!’ maki Kejora dalam hatinya sendiri saat ini. Degupan jantungnya seolah-olah terdengar sampai keluar, dia merasa semua orang memperhatikannya dan mencuri-curi pandang ke arah Mike. Jelas saja, pria itu memang paling berbeda penampilannya di kafe ini. Batinnya tengah bergulat mencoba menghentikan rasa gugupnya, bibirnya terkaatup rapat seiring denga
Siapa yang menyangka seorang Kejora bisa terus memikirkan pria di dalam otaknya untuk saat ini? Bahkan dirinya sendiri pun tak menyangka akan bisa seperti ini, terperangkap dengan sosok Mike yang satu minggu lalu ditemuinya. “Kejora, kamu bisa ikut saya rapat ke perusahaan Angkasa Jaya?” ajak atasan Kejora yang merupakan direktur keuangan di sana. Deg! Srekkk! Brak! Perempuan yang dipanggil namanya itu setengah menggebrak meja karena terkejut. Kejora yang tengah duduk melamun terperanjat seketika saat mendengar suara atasannya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya saat ini. Matanya hampir menggelinding seiring dengan jantungnya yang siap meluncur bebas.
Kalau waktu menjadi pemerhati untuk kedua insan yang saling beradu pandang, maka jelas waktu adalah sesuatu yang bisa dirasa tanpa bisa dilihat dan diraba. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Seperti Andromeda yang tak paham kenapa dirinya capek-capek ikut menunggu dan terus memerhatikan Kejora yang tengah menunggu sang pujaan. Tanpa ada sapaan, tanpa ada bicara dan hanya bertatapan sebentar namun dia memiliki rasa yang aneh tak terdefinisi dalam sanubarinya sendiri saat ini. *** Kejora mendesah bingung, dia menatap ponselnya lama dengan jari yang mematung, menjadi penyangga untuk ponselnya sendiri. Begitupun Andromeda yang melihat terus menerus profil Kejora, merasa aneh dengan gelagat hatinya yang tak membolehkan dirinya menggulir layar ponselnya sendiri. Jarinya bahkan bisa bimbang dalam menentukan akan memberikan love atau tidak. Lucu sekali reaksi tubuhnya saat ini. Matanya seolah-olah ada yang
Suara gaduh di pelataran benar-benar membuat Kejora risih, apa memang di sini jarang melihat pria barat? Oke, wanita asia suka sekali dengan pria Eropa. Jangan salahkan mereka, dia pun sama sukanya saat ini. Sangat lucu bagi Kejora sendiri ketika dirinya pun ikut mengagumi Mike yang datang menghampirinya. Clarissa, wanita yang menggandeng tangan Andromeda itu juga tak kalah menganga seiring matanya yang menatap Mike, pria bule berambut red ginger. Sangat langka. “Wah, cewek itu seleranya mantap juga, pria bule. Tapi, dianya sih ... biasa aja,” tutur Clarissa ikut berkomentar di samping Andromeda. Andromeda tak suka mendengarnya, kenapa wanita harus mengagumi sosok makhluk kolonialisme itu? Dia berdecih, “cih! Memang apa bagusnya mereka? Kalau begitu kenapa kamu tak mencari partner ONS bule juga?” tanya Andromeda masih dengan nada arogannya saat ini. Clarissa, wanita cantik nan modis, dengan
“Aaa!!! Tidak mau!!!” Teriakan nyaring dari mulut Kejora terdengar melengking. Ini akibat dari Mike yang menggelitiki perut Kejora. Mereka tengah bercanda tawa di pinggir pantai. Usai pertemuan kedua dan ketiga, Mike setuju ikut berlibur bersama Kejora dan kedua sahabatnya yang lain, Kania dan pacarnya. Mereka tengah berlibur ke Bali. “Makanya jangan bermain-main denganku, hahaha ....” tawa puas Mike bahkan terdengar menggelegar. Tadi, Kejora hanya mengerjai Mike untuk memakan makanan yang terbuat dari kaki ayam. Mike yang tak pernah mencoba merasa jijik dan membayangkan bagaimana bisa kaki hewan yang tak berpelindung itu dimakan.