Share

3. Ke mana Dia?

Hal yang lumrah bagi orang yang ditolong adalah berterima kasih. Sayangnya, Kejora malah tertidur karena terkena efek obat yang diminumnya dan Andromeda tak mau berlama-lama dan bersusah payah menunggui Kejora.

Dia sudah membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk wanita itu, setidaknya dia tahu bahwa nama wanita itu adalah Kejora. Cukup sampai situ saja. Karena ponselnya berdering hebat semakin cerewet, itu artinya dia benar-benar akan kembali bertengkar dengan ayahnya di kantor.

Kejora tak berpikir apa-apa selama tidurnya. Dia mengerjapkan matanya kian perlahan, mencoba menyadarkan dirinya yang sudah tertidur entah berapa lama. Yang jelas, dia merasa tubuhnya sudah lebih baik untuk saat ini.

Tangannya dirasa kebas, saat dia berusaha untuk duduk, saat itu juga matanya melihat tangan kanannya yang ditusuk jarum infus. Baiklah, ini tak lucu. Dia sampai diinfus begini.

“Sudah bangun?” Dari samping, entah kapan sosok itu datang, yang jelas dia tersenyum ramah dan mengecek tubuh Kejora.

“Sudah, Kak ini saya sampai diinfus begini?” tanya Kejora sedikit kaku mengucapkannya.

Perawat itu mengernyit mendengarnya, logat yang digunakan Kejora sangat tak biasa. Mendengar seolah-olah wanita itu masih tak begitu lancar berbahasa Indonesia.

“Iya, karena kamu tadi tekanan darahnya rendah banget, ditambah lagi sepertinya kamu kelelahan, jadi dokter terpaksa infus kamu.”

Kejora hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda dia paham. Dia masih tak lancar berbahasa. Efek dia terlalu lama di Belanda.

Perawat itu masih saja ingin tahu. “Tapi, kayaknya bukan orang Indonesia asli ya?” tanyanya penuh hati-hati.

Kejora terkekeh mendengarnya, memang tampangnya masihlah Indonesia, namun jiwanya sudah tercampur. “Iya, kelamaan di luar negeri, jadi kaku bicaranya ...,” timpal Kejora meringis.

Perawat itu hanya ber-oh ria saja. Dia tak lagi berbincang karena dokter sudah datang.

“Wah ... sudah baikan kok, kamu sudah bisa pulang sebentar lagi,” tukas pria berjas putih khas dengan profesinya. Pria itu masih muda, berumur 32 tahun mungkin, begitu menurut pandangan mata Kejora.

“Terima kasih Dok,” balas Kejora dengan tersenyum.

“Tapi ... cowok yang antar saya ke mana ya Dok?” Pikirannya sudah kembali mengingat sosok yang tadi menolongnya.

“Wah, iya ya? Sepertinya pergi deh tadi ... kamu nanti bisa pulang sendiri?” tanya Dokter itu kembali merasa khawatir.

Kejora bingung, dia belum mengucapkan terima kasihnya, namun pria itu sudah tak ada wujudnya. Berharap akan bertemu namun tak mungkin rasanya.

“Euhm ... Mbak?” Kejora mencoba menghampiri administrator.

Dia sudah diperbolehkan pulang.

“Ya?” Salah satu perawat yang duduk di sana merespon Kejora.

“Saya ingin membayar biaya perawatan saya Mbak,”

“Atas nama siapa?”

“Kejora Senjakala,” imbuh Kejora sambil mengeluarkan kartu ATM-nya saat ini.

Sesaat perawat itu mencoba memasukkan datanya, dia kembali menatap Kejora.

“Ini sudah dibayar Kak,” tukasnya.

Kejora hanya bisa terduduk, dia tak tahu kalau dirinya sudah dibayari. Lantas kenapa dia tak bisa mendapatkan informasinya? Entahlah, pria itu sangat misterius.

Kejora sudah kembali ke rumahnya sendiri. Dia memilih untuk merapikan rumah mungilnya yang berantakan, belum lagi perutnya yang merasa lapar bukan main. Belum membeli bahan makanan dan juga ....

Bersyukur sekali ada jasa ojek online yang bisa memesankan makanannya. Itu sangat membantu.

Gadis itu sudah begitu bersemangat merapikan rumahnya, terutama pakaiannya yang dia tata serapi mungkin. Kehidupan sendiri masih berlanjut, menjadi wanita single hanya berbeda tempat tinggal saja sekarang.

***

“Baik, jadi kenapa kamu memilih melamar di perusahaan kami? Bukankah sudah jelas kalau di Belanda lebih mumpuni untuk berkarir?” Wanita yang mengenakan kacamata tanpa bingkai itu terlihat jelas bagaimana menatap penuh intimidasi pada Kejora yang duduk di hadapan mereka dengan tegap.

Kejora sendiri mengenakan jas hitam yang pas membalut tubuhnya bersamaan dengan rok span selutut dan rambut hitamnya terikat bak ekor kuda yang tersisir rapi.

Tangannya tertaut di atas pangkuan namun dengan dada membusung dan juga senyuman percaya diri yang tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Aura yang dikeluarkan Kejora mampu menyingkirkan rasa percaya diri dari para calon karyawan lainnya.

“Ya, memang, namun saya memutuskan untuk bekerja dan tinggal di Indonesia, sejatinya saya masih berkebangsaan Indonesia. Di Eropa memang lebih mumpuni, namun semua itu tak bisa menjadi tantangan untuk saya yang menginginkan suasana baru dan kondisi sistem kerja yang berbeda.”

Jora bahkan memaparkannya penuh rasa tenangnya sendiri saat ini.

Sejujurnya kalau ingin dikatakan gugup, maka Kejora akan merasa paling gugup. Dia memiliki kemampuan bahasa inggris yang lebih baik namun tidak dengan bahasa indonesia yang masih kaku diucapkan olehnya.

Semua wawancara berhasil dilaluinya, dia akan menempati posisi sebagai peneliti atau bisa jadi supervisor atau memang menjadi manager RND. Semuanya bergantung dari posisi mana yang cocok untuk gadis itu sendiri.

Kejora memilih segera pulang usai mengikuti serangkaian tes dan interview di perusahaan yang terbilang baru ini. Terlebih dirinya yang begitu melekat dengan latar belakang pendidikannya di dunia sains, setidaknya dia tak harus melenceng juga soal pekerjaannya nanti.

Tangannya memainkan stir mobil dengan lancar usai dua minggu berlatih dengan peraturan lalu lintas di negara berkembang ini. Kejora begitu jeli menatap sekelilingnya, dia melarikan mobilnya ke daerah Dago yang memiliki banyak kuliner serta pemandangan hijaunya jika menuju arah puncak.

“Iya Mam ... Mama kenapa bawel sekali sih? Aku masih utuh kok, nanti juga kan ada sepupu-sepupuku yang datang ke sini, Mama tak usah khawatir dong ....” Kejora mencoba menenangkan sang Ibu yang setiap harinya mengkhawatirkan dirinya saat ini.

Dia berhenti di pelataran MCD, restoran junk food yang jarang dia kunjungi jika berada di Belanda. Sayangnya di sini dia masih belum memiliki banyak barang untuk memasak. Lagipula dia masih ingin memuaskan perutnya dengan mencicipi semua hidangan Nusantara.

Dimulai dengan sate, nasi goreng dan apa pun yang dilewatinya. Beruntungnya, sang ayah masih mengiriminya uang untuk kehidupannya di sini.

Kejora sendiri mulai memasuki restoran itu dan memesan menu yang standar, namun ... jika dibilang rasanya akan sama dengan di Eropa, maka sungguh salah.

“Heum ...,” gumam Kejora dengan menjejalkan burger yang dipesannya.

Entah kenapa semua menu itu sangat berbeda, lebih terasa antara asin, pedas, manis dan asamnya. Sungguh berbeda, apalagi dengan sausnya. Dia harus merasakan keterkejutan di lidahnya soal rasa pedas. Benar-benar pedas bukan panas yang menyengat di tenggorokan seperti lada.

Cabai. Ya, cabai menjadi tantangan tersendiri baginya yang bahkan masih tak bisa menoleransi rasa pedasnya di sembarang tempat.

“Eh, itu tuh, level 5 aja, masih nggak kerasa kok ....”

Kejora berjengit mendengarkan remaja yang siap memesan menu makanannya namun dengan level pedas yang membuatnya bisa pingsan.

‘Aku level satu saja sudah ingin mati rasanya, kenapa mereka bisa memesan level lima begitu?’ Batinnya memprotes penuh kagum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status