Share

6. Mabuk

  Malam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Di luar sedang hujan lebat dan suara petir bersambar terdengar sejak tadi. Beruntung rumah Algibran semi-kedap suara, membuat Arbel yang biasanya gugup ketika hujan kini bisa tertidur nyaman dengan penghangat ruangan dan selimut yang nyaman.

  Laras dan Rangga malam ini tidak akan pulang karena memiliki shift malam di Rumah Sakit, menyisakan Arbel, Aya dan Andre di rumah untuk makan malam bertiga.

  Tadi sore pun Ares tidak pulang karena ada acara makan malam di luar dengan teman-teman. Arbel sebenarnya ingin menunggu Ares sampai pulang, tapi Arbel tidak tahu nomor telpon Ares untuk menanyakan kapan kira-kira akan pulang, itu juga belum tentu Ares akan memberi tahunya, atau bahkan mungkin akan langsung memblokir nomornya. Jadi Arbel langsung pergi tidur karena kejadian-kejadian kemarin cukup melelahkan baginya.

    Cklek.

  Pintu rumah terbuka, menampakan Ares yang memegangi kepalanya pertanda pusing. Wajahnya merah padam dan jalannya lumayan sempoyongan.

"Ugh...." Ares jatuh terduduk setelah menutup pintu, kepalanya benar-benar pusing dan pandangannya kabur. Nafasnya bau alkohol dan itu malah membuatnya semakin pusing. Perutnya agak mual namun ada sesuatu di dalam dirinya yang menggelitik.

  Pipinya terasa panas dan adrenalinnya seperti berpacu. Ini semua karena teman-temannya yang sialan memaksanya untuk mabuk setelah sekian lama tidak pergi keluar.

  Ares tidak terlalu suka minum alkohol, tapi kejadian akhir-akhir ini membuatnya ingin melepaskan segala stress yang di rasakannya. Berapa banyak yang Ares minum tadi? Ares bukan orang yang mudah mabuk, toleransinya terhadap alkohol sangat tinggi, jadi mungkin 5 gelas besar, atau bahkan 2 botol?

    Ares tidak ingat.

    Yang Ares ingat hanyalah semua ini terjadi karena Arbel, karena kedatangan gadis itu kedalam kehidupannya.

    Barbela Manda, Ares benci mengakuinya tapi gadis itu benar-benar sudah memasuki batasan-batasan yang Ares buat untuk semua orang dengan tidak tahu malunya.

"Sialan." Ares menggeram, sebelum akhirnya berusaha bangun dan berjalan menuju kamarnya. Matanya masih agak kabur, anak tangga yang di lihatnya seperti berputar-putar, kakinya melangkah perlahan karena alam bawah sadarnya menyuruhnya untuk berhati-hati.

    Duk

    Ares tidak sengaja menubrukan kepalanya ke pintu kamar, kepalanya sangat berat sampai-sampai rasanya Ares bisa jatuh tersungkur kapan saja.

    Ares membuka pintu, melihat sekeliling kamarnya yang gelap.

"Panaaaaas." Ares bergumam dengan kening yang di kerutkan, merasa tidak nyaman dengan perasaan gerah yang mengaliri tubuhnya, padahal diluar hujan, tapi di dalam kamar Ares terasa sangat panas.

    Buru-buru Ares melepas Tshirt yang dikenakannya, melemparnya sembarangan dan berjalan sempoyongan ke arah kasur.

"Haaaah..." Ares mendesah kasar, merasakan perasaan lega saat dirinya sudah berbaring di kasur kamarnya.

    Berusaha tidur, mata kabur Ares menatap sebuah gumpalan di balik selimut.

    'Guling' pikir Ares. Ares memeluk guling tersebut dari belakang, menguselkan wajahnya kesana mencari sebuah kenyamanan.

    'Wangi' pikirnya lagi. Ares tidak pernah sadar kalau guling yang dia miliki di kamarnya, yang hampir tidak pernah di gunakannya sama sekali memiliki aroma yang sangat menenangkan seperti ini.

    Ares berhenti menguselkan wajahnya sejenak, tangann bergerak liar pada 'guling' tersebut. "Eh? Gulingnya pake baju?" Ares mengusap matanya kasar, kepalanya masih pusing, matanya kabur dan kamar sangat gelap, di tambah di luar juga hujan. Pencahayaan benar-benar minim saat itu.

    Ares menggerakan tangannya di atas guling itu, mencoba merasakan kain yang menutupinya. 'Apa ini perbuatan iseng Andre?' Ares mengedikan bahunya acuh, dia menggerakan jarinya, membuka satu persatu benda yang dia percaya adalah kancing, Andre pasti memakaikan piyama milik Ares pada gulingnya.

    Setelah selesai, Ares kembali mendekap guling tersebut, memeluknya agar bisa menghirup lebih dalam aroma menenangkannya. Sebelum akhirnya tertidur dengan damai.

~

"Hiks..."

    Ares membuka matanya, suara berdesing tiba-tiba terdengar di telinganya. Kepalanya sedikit pusing efek dari hangover karena mabuk kemarin. Cahaya matahari sudah menembus jendela, menunjukan bulir-bulir sisa hujan yang terjadi kemarin.

    Ares duduk di pinggir kasurnya, mengucek matanya dan menguap pelan. Di edarkan pandangannya pada sekeliling kamarnya. Ares tidak pernah sadar kalau kamarnya sangat feminim, dengan pot-pot bunga di jendela, hiasan dinding binatang dan meja belajar yang lucu.

"Hiks..."

    Ares tersentak saat mendengar suara isakan dari belakang tubuhnya, buru-buru dia menengok ke belakang.

    Dan terkejutlah dia, matanya membola, pandangannya tertuju pada gadis bertubuh kecil yang sedang meringkuk di pojok kasur. Piyama yang di kenakannya terbuka setengah, memamerkan pundak dan tulang selangkanya yang putih bersih, dadanya yang sedikit menyembul keluar dari bra yang dia pakai juga tidak luput dari pandangan Ares.

    Arbel, sedang meringkuk di pojok kasur sambil memeluk dirinya sendiri, dengan rambut yang di cepol berantakan dan wajah yang sudah memerah karena menangis.

"Hiks... Huaaaa..." Merasakan pandangan dan melihat reaksi Ares, Arbel makin menangis di buatnya. Telapak tangannya kini di gunakan untuk menutup wajahnya yang pasti sama berantakannya dengan penampilannya saat ini.

    Ares kembali tersentak, buru-buru dia berdiri dan mencari kaosnya yang sudah tergeletak di lantai.

"Kamu, kenapa kamu bisa ada di sini?" Ares langsung menunjuk ke wajah Arbel setelah kaos tersebut dengan rapih terpasang di tubuhnya.

    Arbel menatap Ares dengan ketakutan, badannya bergetar hebat dan itu sukses membuat Ares terhenyak. Kepalanya pusing, kembali mengingat kejadian kemarin malam, apa yang sudah dia lakukan bersama dengan Arbel? Kenapa mereka bisa bangun dengan keadaan seperti ini?

"Kamu, hiks, kamu pokoknya harus tanggung jawab!" Arbel melempar sebuah bantal kecil kepada Ares, yang membuat Ares menatapnya dengan pandangan benar-benar kebingungan.

"Tanggung jawab apa? Saya gak ngapa-ngapain kamu." Ares ngotot, menatap Arbel dengan sangat serius. "Lihat, celana saya masih utuh!" Ucapnya sambil menunjukan celana yang di kenakannya, yang sayangnya malah membuat Arbel makin histeris karena resleting yang tidak naik dan keadaan berantakan.

    Ares kaget mendengar teriakan Arbel, buru-buru dia menghampiri Arbel untuk membekap mulutnya. "Sssstttt! Nanti kalau Andre bangun dan lihat kita gimana? Kamu mau ada salah paham?"

    Arbel menepis tangan Arel, semakin memojokan dirinya ke dinding dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

    Tiba-tiba kepalanya pusing, pecahan-pecahan ingatan dari masa lalu muncul di kepalanya berbarengan secara tiba-tiba.

    Ruang gelap.

    Baju yang berantakan.

    Lipstick.

    Darah.

    Dan sentuhan dingin seseorang.

"Enggaaaaaaaa....." Arbel menggeram, menjambaki rambutnya sendiri dan memukul-mukul kepalanya, berusaha sebisa mungkin mengusir ingatan-ingatan tersebut dari dalam kepalanya. Badannya makin bergetar dengan hebat, pandangannya liar dan nafasnya tersengal.

    Ares melihat Arbel dengan ngeri, Arbel benar-benar seperti orang kerasukan sekarang. Tangannya yang tak henti-hentinya menyakiti dirinya sendiri membuat Ares mau tidak mau mengambil langkah.

"Arbel, stop. Arbel! Berhenti, bel." Ares berusaha menggapai kedua tangan Arbel.

"Enggak! Enggak! Enggak!" Arbel memberontak berteriak dengan lantang dan menepis semua usaha Ares yang mau menggenggam tangannya.

"ARBEL!" Ares berteriak, wajahnya sudah merah padam karena amarah. Kedua tangannya dengan sukses mengunci kedua tanga Arbel di atas kepalanya, matanya menatap Arbel dengan serius.

    Arbel yang kini terlihat sangat berantakan, dengan air mata yang membanjiri wajahnya, wajah memerah, rambut berantakan, nafas tersengal dan yang paling membuat Ares kesal adalah pandangan ketakutan serta tersakiti yang sedang dia pancarkan.

"Arbel, dengar saya dulu. Sumpah demi apa pun saya gak ngapa-ngapain kamu." Ucap Ares menatap Arbel tepat di matanya. Meskipun Ares sendiri masih ragu dengan apa yang terjadi semalam, tapi Ares yakin dia masih memiliki kontrol diri yang hebat dan tidak akan pernah melakukan tindakan seperti itu tanpa sadar.

    Arbel menarik dan membuang nafasnya, mengunci pandangannya pada mata Ares agar pikirannya teralih meskipun hanya sebentar.

"Pergi"

"Apa?" Ares menatap Arbel bingung.

"Saya bilang pergi. Brengsek." Arbel mendorong tubuh Ares. Menatapnya dengan tatapan permusuhan dan penuh kebecian.

    Ares berdiri, menata Arbel dengan pandangan yang bingung serta bersalah. Hampir saja dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arbel sebelum sebuah bantal lagi-lagi menghantamnya.

    Ares melihat lagi Arbel, pandangannya benar-benar tidak bersahabat. Tidak ada pilihan lain selain melangkah keluar dari kamarnya untuk saat ini.

"Nanti.... Saya akan jelaskan." Ucapnya sebelum menutup pintu kamar dan pergi.

~

"Arbel mana?" Andre menatap Ares yang sedang memasak di dapur. Sejak Arbel datang, biasanya dia yang akan masak saat Mama dan Papa tidak ada. Sebenarnya Andre kesal karena Arbel membuat susah Ares -Kakak kesayangannya itu- tapi Andre suka masakan Arbel yang enak.

    Ares menarus sosis yang selesai dia goreng ke piring di meja makan. Tangannya dengan cekatan menuangkan sup yang masih ada di kompor ke mangkuk, pereda hangover paling ampuh yang sedang Ares butuhkan.

"Gak tahu." Jawab Ares pada Andre, yang hanya di balas dengan bibir cemberut Andre.

    Aya yang semalam ikut tidur di kamar Andre tadi sudah bangun, tapi saat menonton kartun di tv dia kembali tidur di ruang keluarga, untung antara dapur dan ruang keluarga hanya ada tanaman penyekat dan bukan dinding, sehingga Ares bisa mengawasinya dengan jelas dari sini.

    Andre memakan makanannya dengan diam, melihat mood Kakaknya yang sepertinya sedang sangat buruk. Dia tidak ahli dalam mencairkan suasana, tidak seperti Arbel yang berisik dan selalu memiliki topik pembicaraan, Andre selalu mengikuti Kakaknya untuk jadi pendiam.

    Huh, coba saja Arbel ada di sini dan melakukan suatu kebodohan, pasti suasanya akan sedikit longgar.

    Di sisi lain, Ares menyeruput kuah supnya menggunakan sendok dan menatap kosong ke arah ruang keluarga. Memperhatikan Aya yang sedang tertidur pulas.

    Tiba-tiba perasaan bersalah menyelimuti diri Ares. Jika Aya besar nanti menangis dan ketakutan karena mendapati ada pria lain tidur di sisinya dengan pakaian mereka yang terbuka, meskipun tidak melakukan apa-apa Ares pasti akan menghajar pria itu habis-habisan. Bagaimana perasaan Almarhum Ayah Arbel ya jika mengetahuinya? Ares pasti sudah di kutuk habis-habisan.

    Tiba-tiba nafsu makan Ares menghilang, di jauhkannya nasi hangat yang tadi sudah di ambilnya, dan kembali menyeruput kuah sup saja. Andre yang melihat itu jadi khawatir, pikirannya melayang mencari topik apa yang kira-kira bisa membuat Ares senang.

    Satu ide pun terlintas di pikirannya. "Kak Ares. Kemarin Andre dapat peringkat pertama dong di ujian." Andre berujar dengan bangganya.

    Tapi Ares tetap diam, kini mengaduk-aduk kuah supnya.

    Andre geram "Kakak!" Teriaknya tepat di kuping Ares, membuat Ares mau tidak mau menengok ke arahnya.

    "Kenapa, Ndre?" Tanya Ares sambil memaksakan senyumnya.

    Andre cemberut "Kak Ares melamun terus!" Ucapnya dengan kesal, "Andre tadi bilang kalo kemarin Andre dapet peringkat pertama di ujian."

    Ares terkekeh geli melihat adiknya yang kesal, "Iya iya maaf ya...." Ares mengusap kepala Andrea yang kini sudah tersenyum senang. "Hebat banget adik kakak."

    Mata Andre berbinar, "Iya dong!" Ucapnya dengan senang kemudian kembali melahap sosis yang di goreng kakaknya.

    Tapi Andre tidak tahu, kalau Ares kembali melamun setelah itu.

~

    Sudah hampir pukul 10, Orang tua Ares sudah pulang tapi Arbel belum juga keluar dari ruangannya. Ares harus pergi kuliah begitu juga dengan Arbel. Tapi sejak kejadian pagi tadi sama sekali tidak ada suara yang terdengar dari kamar Arbel.

    Apa mungkin Arbel bunuh diri?

    Tidak. Arbel adalah pribadi yang periang dan positive. Meskipun kejadian kemarin mengeluarkan sisi tidak terduga dari diri Arbel, tapi bunuh diri tidak mungkin terlintas di pikirannya.

"Aduuuuh, Arbel kenapa ya kak gak turun-turun?" Laras menatap lantai atas, memasang wajah khawatir karena tidak biasanya dia kesiangan.

"Begadang nonton drakor mungkin, Ma." Ucap Rangga yang setengah tertidur di sofa dengan Aya yang sedang mamainkan rambutnya.

"Kamu gak tahu apa-apa, Res?" Ares tersentak, tidak yakin apa dia harus menceritakan ini pada orang tuanya atau tidak.

    Tapi kemudain Ares memutuskan kalau ini adalah masalah dirinya dan Arbel, jadi dia menjawab pertanyaan ibunya dengan gelengan kepala.

    Laras menatap Ares dengan curiga, tapi kemudian memutuskan untuk naik dan memeriksa keadaan Arbel sendiri. Bagaimana kalau Arbel ternyata menceritakan semuanya pada Mama? Apa Arbel akan mengatakannya? Kalau iya, maka matilah Ares. Karena meskipun tidak melakukan apa-apa Ares tetap bersalah karena mabuk dan masuk ke kamar seorang gadis.

    5 menit berlalu, Laras turun dengan raut wajah yang khawatir. Membuat Ares sedikit gugup dan tidak fokus pada bacaannya.

"Res, Arbel bilang dia gak bisa kuliah dulu kayanya. Tadi dia bilang pusing dan badannya ternyata panas. Kamu berangkat duluan aja ya, kamu lagi nunggu Arbel kan?"

    Ares termenung, sebegitu shocknya kah Arbel sampai dia langsung jatuh sakit begini? Tapi Laras tidak terlihat marah sedikitpun pada Ares, itu tandanya Arbel tidak mengatakan apa-apa pada Laras.

    Tapi kenapa? Mengingat bagaimana Arbel menatapnya dengan penuh benci tadi pagi.

    Tiba-tiba ingatan tentang kejadian di kereta menghampiri pikirannya. Saat itu Arbel juga tidak melakukan apa-apa dan berdiam seolah membeku saat ada pria paruh baya yang menyentuhnya.

"Kak?"

    Ares tersentak, kemudian menatap ibunya yang kini menatapnya dengan bingung.

"Enggak, Ma. Ares gak nunggu Arbel." Ares berdiri, membereskan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas. Kunci mobil di taruhnya di kantung celana, moodnya sedang jelek untuk buang-buang waktu berjalan kaki.

"Ares berangkat Ma." Ares melangkahkan kakinya keluar rumah, meninggalkan Mamanya yang masih menatap punggungnya.

    Pikirannya hanya melayang ke satu orang, Barbela Manda.

    Ada sebenarnya dengan Arbel? Apa yang membuatnya seperti itu?

Ares hanya bisa menerka-nerka, menahan rasa kesal sebelum memukul stir mobilnya sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
luluhan
sediiih kok arbel begitunya siich
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status