"Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.
Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya.
"Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya.
"Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.
Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.
Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.
Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.
Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya bergantian dengan Bimo, lalu kami keluar dari dalam mobil menuju sekolah masing-masing.
Aku harus menyebrang untuk tiba di gedung sekolah ku, sementara Bimo langsung masuk ke gerbang pagar sekolah nya yang berada di sisi kiri tepat pinggir jalan raya.
Jam pelajaran sudah usai, waktunya kami anak kelas 12 sudah siap untuk pulang, aku keluar dari kelas berdiri di halaman sekolah menghirup udara bebas, setelah beberapa jam aku di dalam ruangan.
Gegas aku keluar gerbang berdiri menunggu angkutan umum yang melintas, sambil memandangi lalu lalang pengguna jalan, teman-teman ku satu persatu pulang, ada yang di jemput ada juga yang jalan kaki, dan lain sebagainya.
Hari sudah siang mentari begitu terik serasa berada di ubun-ubun, karena waktu menunjukkan pukul satu lebih sepuluh menit, ya wajar tengah hari bolong.
"Hai Tia!" seseorang menyentak pundak ku, membuatku terperanjat, ku menarik nafas kasar, ternya dia.
"Apa?" jawab ku ketus, seraya memalingkan wajah.
"Kamu lagi ngapain?" tanya anak berkacamata, dia berdiri di hadapanku tangannya menarik ulur tali tas punggung dengan jemarinya, seraya menggoyang-gayangkan badannya ke kiri dan kanan.
"Gak liat apa, aku lagi berdiri!" ketus ku lagi, ah aku males jika berurusan dengan bocah bernama Faruq Al-Fajri, dia selalu mendekati ku, padahal aku geli lihat tingkah nya yang seperti anak TK.
Rambut klimis belah tengah, Pake kacamata tebalnya lagi, mungkin ketebalan kacanya mencapai dua inchi. Kalo berangkat sekolah selalu di anterin Mamanya, padahal rumahnya tak jauh-jauh amat.
Ke mana-mana pake payung lagi, ah musibah kalau aku deket-deket dia, apa lagi Bimo jika melihat aku sama si Faruq, dia malah mengejek dan katanya mendukung ku kalau sama si kacamata ini, bikin kesal saja.
Dia tak cemburu jika aku bareng bocah cupu dan manja itu, tak seperti aku dekat dengan Mas Rio, pasti si Bimo langsung uring-uringan gak jelas.
Aku juga sebenarnya malu kalau dekat dia, sering jadi gunjingan teman sekelas ku, kalau pulang di antar sama si Faruq, Q nya pake Qolqolah.
"Kita pulang bareng yuk! Tar di anterin sama Mama aku, Pake sepeda motor bonceng tiga!" ujarnya masih dengan menggoyang-goyangkan badannya, tak mau diem kaya bocah cacingan aja.
"Ogah, amat!" ketus ku, dia mau nganterin aku pulang sama Mamanya di bonceng tiga, hidih sorry ye, udah kaya cabe-cabean aja.
"Kenapa?" ucapnya berkaca-kaca, eh kacanya jadi banyak kan, di tambah dengan kacamata tebalnya, dia meraih tanganku dan menggenggamnya bikin aku gatal pengen nabok saja.
"Jangan pegang-pegang!" sergah ku, seraya menarik tangan, saat dia menggelayut manja di lengan kananku begitu erat.
Rasanya pengen tak hiih... Ku pengen SmackDown ni bocah sampe terkapar, eh, aku kan cewek baik dan lembut, ku urungkan niat ku. Aku hanya bisa meremat daun bluntas yang ada di sisi kiri ku, tanaman dekat pagar gedung.
"Napa sih Tia, kok selalu nolak aku?" tanya Faruq memelas.
Aku harus cari cara agar lepas dari belenggu si mata empat ini, bukan cowok bermata elang yang tajam dan menusuk jantung, bikin dah dig dug ser hati, ini sih cowok bermata empat, bikin aku kelilipan, malah bisa bikin aku sakit mata.
"Tia," ada yang memanggilku, dari arah samping, sontak membuat aku beralih tatap ke arahnya.
Hak pria tampan, membuat hatiku, terpesona aku terpesona, memandang memandang wajah mu yang manis, haish... kok aku malah nyanyi dalam hati, aku jadi ganjen melihat ketampanan Mas Rio yang di atas rata-rata, senyum ku seketika mengembang melihat dia.
"Eh, Mas Rio, penyelamat hidupku," ucap ku sambil menghambur padanya, ku hempaskan tangan dari genggaman si Faruq, sengaja aku mau manas-manasin dia agar tak mendekati ku terus.
"Kita, pulang bareng yuk Tia!" ajak Pria tampan mendekat ke arah ku, rambut cepak tubuhnya yang sedikit berotot, di balut kaos putih di padukan dengan jaket jeans dan celana senada, juga sepatu merek ternama yang membalut kakinya.
"Ayo!" jawab ku, dengan tingkah sok manis semanis gula aren.
Alhamdulillah aku selamat dari musibah berkat kedatangan Mas Rio anak komplek sebelah, akhirnya, aku tidak jadi pulang bareng Faruq, di antarkan Pake payung, udah kaya ojek payung aja.
"Tia, Napa sih kok kamu kaya gitu sama aku?" ucap Faruq, aku menoleh sekilas dengan tatapan nyalang memandang wajah berkacamata yang bosenin plus nyebelin.
"Bodo!" ketus ku sembari mencebik bibir.
Dan melengos meninggalkan Faruq yang berdiri mematung di pinggir jalan depan gerbang sekolah, menunggu di jemput Mamanya, rumah dia berjarak seratus meter, tapi kenapa mesti di antar jemput, ah emang bocah aneh, lebih aneh dari Bimo.
"Mas, Rio yuk pulang!" Aku berjalan penuh semangat di depan Mas Rio, aku masih PDKT sih sama dia, moga aja di restui oleh Bimo, kalo suatu saat dia nembak aku. Ngarep!
"Ayo naik Tia!" ajak Mas Rio dia naik duluan ke atas sepeda motor Ninja merah, yang di parkir depan warung penjual es blender.
"Ia," jawab ku, sambil duduk di jok belakang yang ukurannya se-uprit, memang agak malas naik motor ini, tapi mau gimana lagi demi PDKT, sama cowok ganteng.
Sepanjang perjalanan kami saling bergurau meskipun suara Mas Rio tak tertangkap semua oleh pendengaran ku karena terbawa angin.
Dia tertawa, aku juga ikut tertawa meski tak tau apa yang di ucapkannya, tak banyak bicara pun aku tetap happy jika dekat dengannya.
Sepuluh menit aku sampai ke rumah di antarkan Mas ganteng. Mas Rio Menepikan Sepeda motornya di bahu jalan. Di samping gerbang rumah Bimo sudah nangkring sendirian entah sedang apa dia berjongkok di bawah tiang listrik.
"Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik."He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio."Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku."Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang."Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng."Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia
"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya."Iya Mas, ada apa?" tanya ku."Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung."Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu."Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur."Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk."Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi."Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya."Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan."Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil."Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja
Si Bimo bener-bener bikin aku naek darah, apa... coba maksudnya, pake ngerjain Mas Rio segala. Gak manusiawi banget, aku kan jadi merasa sangat bersalah, sama dia.Ku ambil gelas yang ada di hadapanku, isinya masih utuh belum sama sekali aku sentuh."Mas, ini minum coklat ku! Biar mulut mu gak keasinan!" ucap ku seraya menyodorkan gelas berisi coklat dingin, semoga saja rasanya manis gak di kasih garam oleh Bimo, gak mungkin juga sih, masa dia mau mengerjai kakaknya."Gak usah Tia! Mas gak apa-apa," sergahnya. Aku kasihan melihat Mas Rio, yang meringis karena minum kopi campur garam, dasar bocah kurang kecut.Ku letakan kembali gelas berisi coklat tersebut di meja, karena Mas Rio menolaknya, mungkin dia trauma dengan kejadian tadi.'Awas saja nanti, akan ku balas dia dengan cara halus' batinku menggerutu."Sorry banget ya Mas! kamu udah di jahilin Adikku." Ku menangkupkan kedua telapak tangan, sembari menunduk penuh sesal."Hm, gak usa
"Duluan ya!" ucap Mas Rio."Biar ku antar, kamu Mas!" tawar ku.Kami berjalan lewati ruang tamu, dan sampailah di pekarangan rumah, yang banyak di tumbuhi tanaman hias juga bunga-bunga yang bermekaran."Aku minta satu ya!" ucapnya tatapan matanya mengedar ke seluruh bunga-bunga yang tumbuh subur."Silahkan!" jawabku singkat.Mas Rio membungkuk, dan memetik salah satu bunga. Mawar putih yang ia pilih, diantara jejeran bunga-bunga yang cantik, panca warna juga, bunga melati, tak kalah cantik, lalu ia menempelkan dekat hidung dan menghirupnya."Hm, Wangi," lanjutnya sembari memejamkan mata."Kamu, suka bunga ya Mas? Kalau suka, ambil aja sama pot-nya! Lagian itu juga punya Om Doni," ujar ku. Mas Rio memutar tubuhnya, kami saling berhadapan, dia mengambil sejumput rambutku, dan menyelipkan mawar tersebut di telinga ku.Ahai, So sweet banget, aku bahagia di kasih bunga oleh Pria tampan, meskipun bunganya dapat metik dari halaman rumah k
Setelah sepersekian menit aku habiskan waktu untuk mengerjakan PR dan belajar, tubuh ku mulai lelah ingin istirahat sejenak, ku rentangkan kedua tangan dan menggeliat meregangkan otot-otot.Aku beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuh, rasa kantuk mulai menyergap, ku putuskan untuk tidur siang setengah ataupun satu jam.Bukannya aku melupakan janji pada Bimo, untuk mengantarkan dia ke pangkas rambut. Namun, aku ingin memberi dia sedikit pelajaran, agar dia menyesali perbuatannya, karena telah mengerjai Mas Rio tadi siang.Biar lah dia menunggu sesekali, jangan terlalu di turuti terus setiap keinginannya, mungkin nanti, sore hari aku mengantar dia, untuk memangkas rambutnya.Aku mulai menguap hingga beberapa kali, tak kuasa mata ini ingin terpejam, dan tak sadar lagi, aku sudah pindah tempat, ke alam mimpi.*Lantunan adzan ashar begitu syahdu masuk ke indera pendengaran, membangunkan ku dari tidur, karena jendela kamar ku terbuka."Alha
Kami baru kembali dari tempat pangkas rambut, menjelang Maghrib sampai ke rumah. Saat kami hendak memasuki gerbang."Tia!" tiba-tiba ada yang memanggilku, membuat ku dan Bimo serentak menghentikan langkah, Aku menoleh ke sumber suara tersebut, sembari berjingkat kaget."Eh, Mas Rio," seketika lengkungan di bibirku merekah, melihat sosok yang sangat ku kenal. Lalu dia berjalan ke arah ku, dengan menampilkan senyumnya yang manis."Kamu abis dari mana Tia, sore-sore gini?" tanya Mas Rio.Dia terlihat begitu berwibawa mengenakan baju Koko putih dengan bordir warna coklat, di bagian dada memanjang ke bawah, di padukan dengan celana bahan warna hitam, juga lengkap peci hitam di kepalanya.Aku terpana melihat Mas Rio, yang tambah ganteng Pake baju Koko. Aku semakin suka sama dia.Aku berfikir sejenak, apakah aku bisa jadian sama dia? Di suatu saat nanti, ketika aku sudah benar-benar dewasa.Tapi, Bimo sel
"Mbak Tia, masuk!" tegas Bimo, sembari menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa aku harus segera masuk dan meninggalkan Mas Rio."Iya Bimo, ini juga Mbak mau masuk," sanggah ku mendelik, pada bocah gemuk berbalut kaos hitam dan celana Jogger se-dengkul. Aku menoleh ke arah Mas Rio yang berdiri menyedepkan tangannya di depan dada."Mas, aku masuk dulu ya! Takut Bimo marah," ucapku sembari meletakkan telapak tangan di samping mulutku. Mas Rio mengangguk seulas senyuman tipis yang ia tampilkan, entah senyum pahit atau mengejek. Karena aku di seret oleh Bimo masuk ke dalam."Iya," jawab Mas Rio melambai kecil di iringi menaikan alis tebalnya kilas."Bimo, jangan begini dong!" sergah ku menekuk wajah. Bimo menarik tangan kiriku menyeretnya ke dalam rumah."Mbak ke ganjenan sih!" tukas Bimo, kami berdua sampai di ruang tengah. Dia melepaskan tangannya dari lenganku."Bim, maksud kamu apa sih? Jangan kasar begini dong sama Mbak!" Aku menghempaskan bo
"Bim, ini udah masuk waktu Magrib. Kamu, udah solat 'Ashar belum?" tanyaku pada Bimo yang masih terlihat sedih. Dia menggeleng pelan."Belum Mbak," jawabnya lirih dan singkat."Ya Allah... Bimo, kok kamu belum solat sih! Ini udah lewat loh! Noh, liat jam!" Aku mendongak seraya menunjuk jari ke arah jam dinding."Lagian Mbak sih,""Lah, kok nyalahin Mbak?""Iya lah, Mbak yang salah, tadi aku bangun tidur langsung di ajak ke pangkas rambut, bukannya di suruh solat dulu, harusnya Mbak ingetin Adeknya!"Halaah ini bocah bikin jengkel aja, ingin ku plintir bibirnya yang ranum dan imut kaya buah Cherry."Kan kamu yang minta, Mbak cuma anterin ke sana! Kamu tuh selalu ngelak, ya udah sana mandi! Kamu nanti qodho ya! Mbak tunggu di mushola, kita sholat berjama'ah!""Ok Mbak, aku yang jadi imam ya!" ucap Bimo sembari menaik turunkan alisnya."Tumben." Aku mengernyit heran."Kan, sekalian latihan Mbak!" Bimo menyenggol bahu ku, denga