Share

Bab 12

Author: Winda
last update Last Updated: 2021-04-22 18:16:42

"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya.

"Iya Mas, ada apa?" tanya ku.

"Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung.

"Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu.

"Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur.

"Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk. 

"Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi.

"Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya.

"Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan.

"Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil.

"Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja, lalu menyodorkan secangkir kopi cappuccino yang masih mengepul ke hadapan Mas Rio, satu cangkir ia letakkan di hadapannya, juga gelas berisi coklat dingin untuk ku, karena aku tak suka kopi.

"Di minum Mas, kopinya! Gak usah malu-malu!" ujarnya begitu ramah tamah seperti resepsionis Bank, bocah berbadan agak gemuk dengan kaos hitam dan celana Jogger itu duduk di samping Mas Rio.

"Makasih, adik ipar yang baik hati," jawab Mas Rio.

"Silahkan di nikmati!" balas Bimo mendayu, dengan senyumnya yang merekah, "Kita ngopi bareng Mas, biar lebih akrab!" ujarnya menaikan alis.

"Ternyata, calon adik ipar ku ini pengertian," gurau Mas Rio sembari menepuk paha Bimo, aku tersenyum melihat keakraban mereka berdua.

Mas Rio meraih dan mengangkat cangkir lalu menempelkan ke bibir tipisnya, dia menyesap cairan itu dengan penuh kenikmatan.

"Gimana Mas kopinya? Enak kan?" tanya Bimo antusias.

"Enak banget," jawab Mas Rio, namun ekspresi wajahnya tidak sama sekali menampakkan bahwa dia sedang menikmati kopi yang enak, di meringis seperti menahan ingin membuang sesuatu, apa dia mules, fikirku.

"Kenapa Mas?" tanya ku, mengeryit Mas Rio mengusap tengkuknya.

"Eum, kopinya asin banget," gumamnya, mencondongkan tubuh kedepan, sembari memincingkan mata. Ia ambil tissue dari meja lalu mengusap bibirnya dari sisa kopi. 

Aku menoleh ke arah Bimo dengan tatapan setajam mungkin.

"Bimo, hm." Aku menggertakkan gigi, ternyata ini di balik ajakannya yang begitu ramah, ternyata ada garam di dalam kopi.

"Hehe." Bimo hanya nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Awas, kamu Bimo!" ancam ku bangkit mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi siap-siap untuk mencengkramnya.

"Apa?" jawabnya polos tanpa dosa.

"Bimo... kenapa kopi Mas Rio di kasih garam?" Aku menyerbu dia. Gegas Bimo bangkit bersiap untuk lari.

"Biar, kapok Luh!" Bimo mencebik bibirnya pada Mas Rio, secepat kilat dia berlari menuju tangga meninggalkan kami, aku sangat malu dengan kelakuan adik kecilku.

"Maaf ya Mas!" sesal ku.

"Gak apa-apa! Harap di maklum!" 

Mas Rio memang sudah tau sikap Bimo yang tak pernah rela kalau aku deket sama lelaki sebayaku, aku pernah menceritakan kepada dia, agar dia bisa memaklumi di saat yang tak terduga seperti ini.

Aku hanya bisa mengurut dada dengan kejadian ini, malu rasanya pada Mas Rio, moga saja dia masih mau menjadi temanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkat   29

    Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb

  • Adik Angkat   Bab 28.

    Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m

  • Adik Angkat   Bab 27.

    POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba

  • Adik Angkat   Bab 26.

    "Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status