"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!"
"Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"
Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini.
"Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku.
"Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku.
"Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.
Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat.
"Mau enggak Mbak, Kamu sama aku?" ucap Bimo begitu polos.
Haduuh... aku tepok jidat, bisa-bisa nya ini anak, ngomong nya ngelantur, jangan-jangan dia ke sambet mahluk halus yang nangkring di pohon beringin depan gedung sekolahan.
Apa perlu di rukiyah nanti sore si Bimo, selepas pulang sekolah, sama pak ustadz, agar fikirannya netral kembali seperti halnya bocah ingusan.
"Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, dan hanya bisa geleng-geleng kepala, mulai migrain kepalaku ini mendengar ucapan dari bibir mungilnya yang ranum kaya buah lobi-lobi.
"Jawab dulu Mbak!" ucap Bimo di susul senyum Close up bukan Pepsodent lagi.
"Bimo, udah ah, jangan ngoceh mulu! Kepala Mbak bisa pecah, dengerin omongan kamu, belum waktunya kamu bicara seperti itu, di sunat aja baru sebulan yang lalu, udah ngomongin nikah,"
"Hehe." Dia ketawa lagi.
"Apa? Ada yang lucu," balasku sembari mencebik bibir dengan sedikit menggerakan kepala membuang wajah.
"Ih Mbak, sensi? Iya kan, aku ngomong nya buat nanti, di masa depan, gak ada yang salah kok?"
Ya Tuhan, aku bisa diabetes lama-lama nanggepin ucapan bocah ingusan ini.
"Hallaah, udah Kita turun yuk, sarapan pagi dulu! Nanti Om Doni marah loh sama kita! Kalau telat,"
"Mbak, Om Doni, berani marahnya sama aku, bukan sama Mbak, dia mah pilih kasih!"
"Berisik, yuk keburu siang!"
Aku menggandeng pundak Bimo, tinggi badannya kini kuping ku, sekitar seratus empat puluh lima centimeter kurang lebih, cukup tinggi untuk anak usia sembilan tahun delapan bulan.
Fostur tubuhnya tinggi seperti Ayah, namun badannya agak gemuk karena terlalu banyak ngemil kali.
"Oke!" jawabnya.
Kami berjalan menuruni tangga melewati ruang tengah temboknya terhubung dengan ruang makan.
Om Doni sudah On Time menunggu kami di ruang makan, dia duduk di kursi satu tangannya di lipat di atas meja, dan tangannya yang lain memegang ponsel.
Tatapannya begitu serius ke layar benda pipih yang berada di genggamannya, menurut asumsi ku dia kiranya sedang mengirim pesan kepada calon istinya, atau siapalah, aku tak tau.
Om Doni mengangkat wajahnya sekilas menatap pada kami, lalu menaruh ponselnya lagi di meja samping piring berisi nasi goreng.
"Eh, kalian, sini makan bareng!" ucap Om Doni seraya mengulas senyuman. "Bimo, tadi kamu kenapa lari ke kamar, di panggil gak nyahut? Lagi ngambek sama siapa, hm?" Om Doni menaikan alisnya.
"Eum," jawab Bimo menggeleng kecil sambil mencebik bibirnya, lalu dia duduk di seberang pria berkemeja putih dan celana bahan warna hitam.
"Om... Bimo tuh lagi galau, tapi aku gak tau, dia galau mikirin apa?" timpal ku. Sambil menggeser kursi untuk ku duduk.
"Galau." Om Doni tersenyum seraya mencondongkan tubuhnya ke depan. "Hm. Anak kecil juga bisa galau ya," cetus Om Doni.
Bimo memutar bola matanya dan menarik nafas panjang. "Males ah, jadi gak nafsu makan," ucap Bimo bangkit.
Ku tarik lengannya menahan dia agar tidak pergi. ku tatap wajah lekat-lekat imutnya yang di tekuk.
"Dek." Aku mengangguk memberi isyarat agar dia duduk kembali, akhirnya Bimo pun menurut meski terpaksa.
Sarapan pagi pun di mulai suap demi suap masuk ke mulut kami hingga nasi di piring habis tak tersisa, dan di akhiri minum segelas susu putih.
"Om, enak banget nasgornya," pujiku pada Om Doni. Sambil melempar senyuman termanis dari bibirku yang di poles lipbalm.
"Masa," jawab Om Doni singkat.
"Bener, enak banget loh Om, Om Doni tuh emang paling juara, jago dalam segala hal," pujiku lagi sambil mengacungkan satu jempolku.
Om Doni hanya balas dengan senyuman, lalu ku menoleh pada adik kecilku.
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam