"Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik.
"He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio.
"Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang.
"Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.
Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.
Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng.
"Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia hanya menoleh dan begitu tenang seperti air di kolam.
"Eh Mbak Tia, baru pulang ya?" tanya Bimo dengan santainya, senyumnya begitu lebar seperti balita baru bangun tidur.
"Bim, lagi ngapain di sini?" tanya ku mendeku di sampingnya.
"Nunggu yang lewat?" jawabnya singkat.
Aku mengernyit heran, dia mengatakan nunggu yang lewat, Sebenarnya dia menunggu siapa? hm, aku menarik nafas pelan, 'anak ini kadang susah di tebak' batinku.
"Kamu, nunggu siapa sih?""Tuh." Bimo menoleh seraya menggerakan kepalanya ke arah Mas Rio, yang berdiri dekat sepeda motor, sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana.
"Tumben nunggu Mas Rio, emang kamu sudah janjian, sampe kamu tau, mas Rio mau nganterin Mbak?" telisik ku, aku merasa ada yang janggal dengan sikapnya yang aneh.
"Insting Mbak, sebagai calon adik ipar yang baik, pasti tau lah, kalau Mas Rio mau kesini anterin Mbak pulang!"
"Hm, emang, mau ngapain nunggu Mas Rio?" tanya ku lagi.
"Mau ngajak ngopi, Sama calon Kakak ipar!" ujar Bimo, bangkit lalu menepuk-nepuk bokongnya yang sedikit kotor bekas dia duduk di aspal.
Sejak kapan Bimo doyan kopi, perasaan dia gak pernah meminum cairan tersebut, meskipun kopi latte, ataupun kopi yang manis sekali pun, aku patut curiga nih.
"Bim, rupanya kamu sudah merestui hubungan Mas, sama Mbak mu!" timpal Mas Rio, mendekat ke arah kami.
"Iya lah, demi kebahagiaan Kakak semata wayang ku, aku akan merestui hubungan kalian!" ujar Bimo.
Aku menatap mata Mas Rio yang berbinar, menyiratkan bahwa dia begitu gembira mendengar penuturan Bimo.
Tapi aku merasa ada yang aneh dengan tingkahnya, lah aku tak boleh berprasangka buruk dulu, Bimo anak yang baik, dan gak pernah neko-neko, hilangkan ke curiga'an mu Tia! Ku tepis fikiran yang tak jelas ini.
"Ya udah kalau gitu, kita masuk yuk?" ajak Bimo menepuk bahu Mas Rio.
"Ayok Mas! Mumpung adikku belum angot." Aku menimpali ajakan Bimo.
"Iya," jawab Mas Rio, kami bertiga masuk ke dalam gerbang, sampai di ruang tengah Bimo mempersilahkan Mas Rio duduk.
"Mbak, sana ganti baju dulu, biar cantik! Mas Rio duduk dulu aja ya! aku mau bikinin kopi, doyan kopi kan Mas?" ucap Bimo, begitu ramah, entah kesambet atau kenapa? Kepala ku mulai banyak tanda tanya.
"Mas, aku mau ganti baju dulu!" ucapku. Lalu sku bangkit dan meninggalkan Mas Rio di ruang tengah sendirian.
Ku kenakan baju santai, celana jeans se-dengkul dan kaos t-shirt warna merah muda, rambut ku ikat kuncir kuda, aku kembali menemui Mas Rio, kami duduk berdua di ruang tengah berseberangan di sofa warna putih.
Rasanya begitu canggung, baru kali ini dia di perbolehkan masuk ke rumah ini sana Bimo, setelah dua bulan aku berkenalan dengannya.
Biasanya dia hanya mengantarku sampai gerbang saja, kali ini ada yang beda dengan Bimo, dia malah mengajak Mas Rio untuk ngopi bareng.
"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya."Iya Mas, ada apa?" tanya ku."Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung."Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu."Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur."Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk."Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi."Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya."Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan."Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil."Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja
Si Bimo bener-bener bikin aku naek darah, apa... coba maksudnya, pake ngerjain Mas Rio segala. Gak manusiawi banget, aku kan jadi merasa sangat bersalah, sama dia.Ku ambil gelas yang ada di hadapanku, isinya masih utuh belum sama sekali aku sentuh."Mas, ini minum coklat ku! Biar mulut mu gak keasinan!" ucap ku seraya menyodorkan gelas berisi coklat dingin, semoga saja rasanya manis gak di kasih garam oleh Bimo, gak mungkin juga sih, masa dia mau mengerjai kakaknya."Gak usah Tia! Mas gak apa-apa," sergahnya. Aku kasihan melihat Mas Rio, yang meringis karena minum kopi campur garam, dasar bocah kurang kecut.Ku letakan kembali gelas berisi coklat tersebut di meja, karena Mas Rio menolaknya, mungkin dia trauma dengan kejadian tadi.'Awas saja nanti, akan ku balas dia dengan cara halus' batinku menggerutu."Sorry banget ya Mas! kamu udah di jahilin Adikku." Ku menangkupkan kedua telapak tangan, sembari menunduk penuh sesal."Hm, gak usa
"Duluan ya!" ucap Mas Rio."Biar ku antar, kamu Mas!" tawar ku.Kami berjalan lewati ruang tamu, dan sampailah di pekarangan rumah, yang banyak di tumbuhi tanaman hias juga bunga-bunga yang bermekaran."Aku minta satu ya!" ucapnya tatapan matanya mengedar ke seluruh bunga-bunga yang tumbuh subur."Silahkan!" jawabku singkat.Mas Rio membungkuk, dan memetik salah satu bunga. Mawar putih yang ia pilih, diantara jejeran bunga-bunga yang cantik, panca warna juga, bunga melati, tak kalah cantik, lalu ia menempelkan dekat hidung dan menghirupnya."Hm, Wangi," lanjutnya sembari memejamkan mata."Kamu, suka bunga ya Mas? Kalau suka, ambil aja sama pot-nya! Lagian itu juga punya Om Doni," ujar ku. Mas Rio memutar tubuhnya, kami saling berhadapan, dia mengambil sejumput rambutku, dan menyelipkan mawar tersebut di telinga ku.Ahai, So sweet banget, aku bahagia di kasih bunga oleh Pria tampan, meskipun bunganya dapat metik dari halaman rumah k
Setelah sepersekian menit aku habiskan waktu untuk mengerjakan PR dan belajar, tubuh ku mulai lelah ingin istirahat sejenak, ku rentangkan kedua tangan dan menggeliat meregangkan otot-otot.Aku beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuh, rasa kantuk mulai menyergap, ku putuskan untuk tidur siang setengah ataupun satu jam.Bukannya aku melupakan janji pada Bimo, untuk mengantarkan dia ke pangkas rambut. Namun, aku ingin memberi dia sedikit pelajaran, agar dia menyesali perbuatannya, karena telah mengerjai Mas Rio tadi siang.Biar lah dia menunggu sesekali, jangan terlalu di turuti terus setiap keinginannya, mungkin nanti, sore hari aku mengantar dia, untuk memangkas rambutnya.Aku mulai menguap hingga beberapa kali, tak kuasa mata ini ingin terpejam, dan tak sadar lagi, aku sudah pindah tempat, ke alam mimpi.*Lantunan adzan ashar begitu syahdu masuk ke indera pendengaran, membangunkan ku dari tidur, karena jendela kamar ku terbuka."Alha
Kami baru kembali dari tempat pangkas rambut, menjelang Maghrib sampai ke rumah. Saat kami hendak memasuki gerbang."Tia!" tiba-tiba ada yang memanggilku, membuat ku dan Bimo serentak menghentikan langkah, Aku menoleh ke sumber suara tersebut, sembari berjingkat kaget."Eh, Mas Rio," seketika lengkungan di bibirku merekah, melihat sosok yang sangat ku kenal. Lalu dia berjalan ke arah ku, dengan menampilkan senyumnya yang manis."Kamu abis dari mana Tia, sore-sore gini?" tanya Mas Rio.Dia terlihat begitu berwibawa mengenakan baju Koko putih dengan bordir warna coklat, di bagian dada memanjang ke bawah, di padukan dengan celana bahan warna hitam, juga lengkap peci hitam di kepalanya.Aku terpana melihat Mas Rio, yang tambah ganteng Pake baju Koko. Aku semakin suka sama dia.Aku berfikir sejenak, apakah aku bisa jadian sama dia? Di suatu saat nanti, ketika aku sudah benar-benar dewasa.Tapi, Bimo sel
"Mbak Tia, masuk!" tegas Bimo, sembari menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa aku harus segera masuk dan meninggalkan Mas Rio."Iya Bimo, ini juga Mbak mau masuk," sanggah ku mendelik, pada bocah gemuk berbalut kaos hitam dan celana Jogger se-dengkul. Aku menoleh ke arah Mas Rio yang berdiri menyedepkan tangannya di depan dada."Mas, aku masuk dulu ya! Takut Bimo marah," ucapku sembari meletakkan telapak tangan di samping mulutku. Mas Rio mengangguk seulas senyuman tipis yang ia tampilkan, entah senyum pahit atau mengejek. Karena aku di seret oleh Bimo masuk ke dalam."Iya," jawab Mas Rio melambai kecil di iringi menaikan alis tebalnya kilas."Bimo, jangan begini dong!" sergah ku menekuk wajah. Bimo menarik tangan kiriku menyeretnya ke dalam rumah."Mbak ke ganjenan sih!" tukas Bimo, kami berdua sampai di ruang tengah. Dia melepaskan tangannya dari lenganku."Bim, maksud kamu apa sih? Jangan kasar begini dong sama Mbak!" Aku menghempaskan bo
"Bim, ini udah masuk waktu Magrib. Kamu, udah solat 'Ashar belum?" tanyaku pada Bimo yang masih terlihat sedih. Dia menggeleng pelan."Belum Mbak," jawabnya lirih dan singkat."Ya Allah... Bimo, kok kamu belum solat sih! Ini udah lewat loh! Noh, liat jam!" Aku mendongak seraya menunjuk jari ke arah jam dinding."Lagian Mbak sih,""Lah, kok nyalahin Mbak?""Iya lah, Mbak yang salah, tadi aku bangun tidur langsung di ajak ke pangkas rambut, bukannya di suruh solat dulu, harusnya Mbak ingetin Adeknya!"Halaah ini bocah bikin jengkel aja, ingin ku plintir bibirnya yang ranum dan imut kaya buah Cherry."Kan kamu yang minta, Mbak cuma anterin ke sana! Kamu tuh selalu ngelak, ya udah sana mandi! Kamu nanti qodho ya! Mbak tunggu di mushola, kita sholat berjama'ah!""Ok Mbak, aku yang jadi imam ya!" ucap Bimo sembari menaik turunkan alisnya."Tumben." Aku mengernyit heran."Kan, sekalian latihan Mbak!" Bimo menyenggol bahu ku, denga
Selepas sholat Maghrib, dan di susul tadarusan membaca ayat suci Al-Qur'an, bersama Bimo hingga waktu isya pun tiba, kami berdua lanjut melaksanakan shalat isya dengan berjama'ah.Bimo sudah duluan masuk ke kamarnya, sementara aku masih merapikan tempat beribadah kami."Assalamualaikum?" ada yang mengucap salam dari depan pintu masuk."Waalaikumsalam," jawab ku cepat, dan menoleh seketika."Eh Om Doni, baru pulang Om?" tanyaku dengan seluas senyuman. Aku memang ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali sehingga gampang untuk ku memberikan senyuman, pada siapapun."Iya, baru aja sampe. Tia, kita makan malam yuk!" ucap Om Doni."Ayo! tapi sebentar ya Om, aku mau panggil Bimo dulu!" jawabku.Gegas ku lepas mukena dan melipatnya setelah selesai sholat isya. Ku lirik sekilas jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam."Iya, Tia, Om duluan ya, nanti kamu nyusul, kita makan malam bareng! Om bawakan steak, kesukaan kamu dan Bimo,"