Selepas sholat Maghrib, dan di susul tadarusan membaca ayat suci Al-Qur'an, bersama Bimo hingga waktu isya pun tiba, kami berdua lanjut melaksanakan shalat isya dengan berjama'ah.
Bimo sudah duluan masuk ke kamarnya, sementara aku masih merapikan tempat beribadah kami.
"Assalamualaikum?" ada yang mengucap salam dari depan pintu masuk.
"Waalaikumsalam," jawab ku cepat, dan menoleh seketika.
"Eh Om Doni, baru pulang Om?" tanyaku dengan seluas senyuman. Aku memang ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali sehingga gampang untuk ku memberikan senyuman, pada siapapun.
"Iya, baru aja sampe. Tia, kita makan malam yuk!" ucap Om Doni.
"Ayo! tapi sebentar ya Om, aku mau panggil Bimo dulu!" jawabku.
Gegas ku lepas mukena dan melipatnya setelah selesai sholat isya. Ku lirik sekilas jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam.
"Iya, Tia, Om duluan ya, nanti kamu nyusul, kita makan malam bareng! Om bawakan steak, kesukaan kamu dan Bimo,"
* * *"Tia, mana Bimo?" tanya Om Doni yang baru keluar dari kamarnya, kami berpapasan di ruang tengah, saat aku hendak melangkah menuju dapur."Gak tau Om," jawabku ketus aku masih dongkol dengan ucapan Bimo, yang mengatai aku fackgirl.Om Doni mengeryitkan dahi menatap ku penuh tanya."Kamu kenapa Tia, kok cemberut? Abis bertengkar ya sama Bimo." Om Doni menatapku penuh tanya, aku memutar bola mata, dan belum aku jawab pertanyaannya.Lalu kami berjalan beriringan, sampai di ruang makan."Gak, aku cuma kesal," jawabku sembari menghempaskan bokong ke kursi meja makan."Kesal kenapa?""Aku sebel, sama Bimo!""Hah kamu, jangan anggap serius omongan Bimo! Kalau bertengkar di dalam keluarga itu udah biasa, tapi kamu jangan keras kepala!""Maksud Om? Keluarga apa? Emang kami keluarga kan, kakak beradik,""Ya kan selebihnya, Bimo itu, calon imam kamu!" ucap Om Doni terkekeh.Aku mendelik kesal, uh... Rasany
Akhirnya waktu yang di nanti-nanti Om Doni pun telah tiba, dia sekarang sudah menyandang status sebagai seorang suami dari Tante Almira, seorang wanita cantik asal Jawa timur.Kini saatnya kami melepas kepergian Om Doni, dan meninggalkan rumah yang beberapa tahun ia tinggali, menemani dan mengurus aku juga Bimo."Bimo, Tia, Om pamit ya! Kalian baik-baik di rumah!" ucap Om Doni, kami berjalan sejajar dari dalam rumah ke arah luar."Serius ni Om, mau pindah dari sini?" tanyaku meyakinkan."Iya Tia, Om kan sudah bilang, kalau Om udah nikah, bakalan pindah dari sini, ke rumah baru, sama istri Om," ucapnya sambil menyeret koper besar berwarna hitam menuju pintu."Ya udah Om, kalau itu udah menjadi keputusan Om! Kami gak bisa menghalangi apa pun itu, yang jelas kami akan selalu mendoakan, yang terbaik buat Om dan Tante,""Tapi, jangan lupakan kami ya!" lanjut ku, seraya mengantar Om Doni sampai ke depan rumah."Iya Om, terus kalau Om Doni gak di s
*Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m
*"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua
Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny