Share

3. Edmund

        Dave tersenyum puas, perdebatan tidak berguna itu dimenangkan oleh dirinya. Kedatangan seorang wanita yang sepertinya adalah pemilik restoran, mampu membuat perempuan bernama Bella itu tak berkutik. Akan tetapi, masalah baru sepertinya datang. Wanita yang mungkin seusia ibunya itu terus mengoceh, wajahnya mengeras ketika wanita itu bertanya hal yang sama seperti ibunya.

     “Siapa namanya?” tanya Dave menyela, sebenarnya ia sudah tau, ia melakukannya untuk menghentikan mulut berisik itu. “Ah, apa?” tanya wanita itu memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur.

        Beberapa menit kemudian, perempuan yang sedari tadi mendapatkan perhatiannya, keluar dari dapur dengan nampan di kedua tangan. Dave rasa ia harus mengganti panggilan perempuan itu menjadi Bella, ia sudah tau namanya, kan? Bella meletakkan semangkuk sup krim di mejanya, Dave menahan lengan Bella ketika melihat perempuan itu hendak kembali. Bella menoleh, ia yakin perempuan itu sudah tau siapa yang menahannya.

“Kau bisa duduk di sini, kan? Kau tidak mau mendengar komentarku?” pertanyaan bernada perintah itu keluar dari mulut Dave.

      Dave tersenyum puas ketika Bella mengikuti apa yang ia ucapkan, ah, mungkin perempuan itu sama sepertinya yang tidak suka berdebat dan membuang waktu. Setelah memastikan Bella duduk di kursi samping, kemudian tangannya terangkat untuk mengambil sendok di sisi mangkuk berisi sup. Satu suapan berhasil masuk ke dalam perutnya, ia tersentak ketika merasakan sesuatu yang tak asing kala memakan sup tersebut.

Rasa ini, ia ingat betul meski beberapa jam lalu dirinya menyatakan telah lupa dengan masa lalu. Namun, sup dengan bahan sederhana ini mampu membuat kenangan pahitnya bermunculan. 

      “Tu.. tuan Dave, bagaimana rasa makanannya?” suara itu menyadarkan Dave dari lamunan. Pria itu tersenyum tipis, “Sesuai seleraku.” Dave dapat mendengar helaan napas lega dari bos restoran itu dan Bella. Ia melanjutkan makannya dengan cepat, mencoba mengembalikan fokusnya. Sebuah suara pesan masuk terdengar di telinga, Dave menoleh dan mendapati Bella tengah memandang ponselnya dengan senyuman yang entah mengapa Dave tidak sukai.

     Rasa penasaran membuat Dave tak kuasa untuk bertanya, “Siapa?” Bella tersentak, perempuan itu kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Madam, bolehkah aku pulang sekarang?” tanya Bella tanpa berniat menjawab pertanyaan pria di depannya.

       Rahang Dave mengeras, ia paling tidak suka diabaikan. “Kau boleh pulang ketika Tuan Dave selesai dengan makanannya,” ujar bos restoran tersebut. “Kenapa kau ingin cepat pulang? Siapa memangnya yang menunggumu? Si berandal itu?” tanya wanita itu mewakili rasa penasaran Dave. Ia menoleh ke arah Bella menanti jawaban perempuan itu, Bella memasang wajah datar. Sepertinya perempuan itu mencoba menahan emosinya, bosnya itu memang memiliki mulut yang pedas. Tetapi tunggu... Si berandal? Dave terdiam sejenak, sepertinya ia mengerti apa yang dimaksud oleh wanita pemilik restoran.

       Diam-diam Dave tersenyum remeh, jika memang benar apa yang dipikirkannya benar. Ia melirik ke arah Bella, perempuan itu memaksakan sebuah senyum. “Ah, kurasa itu bukan urusan Anda,” ujar Bella. Suasana hening seketika, Dave berdiri kemudian mengeluarkan dompet hitamnya dari dalam saku jas.

Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya di meja, “Saya permisi. Terima kasih atas makanannya.” Usai mengatakan hal itu, Dave beranjak pergi keluar restoran.

       Tidak, dirinya tidak benar-benar pergi. Hei, mana mungkin ia pergi dengan rasa penasaran? Dave berjalan menuju mobilnya yang tak jauh dari restoran, begitu tiba di dalam mobil, ia mulai melajukannya mendekat ke arah restoran tadi. Mencari tempat yang pas untuk rencananya. Tak berapa lama, seseorang yang ia tunggu akhirnya keluar dari restoran. Dave memberikan sedikit jarak, tetapi sepertinya jika pun ia mendekat, Bella tidak akan sadar. Perempuan itu terlihat mengeratkan mantelnya, kemudian berjalan meninggalkan restoran.

    Setiap langkah yang diambilnya begitu hati-hati, Dave masih terus mengikuti. Ia sedikit berpikir jika perempuan itu sedang menuju ke halte, tetapi sepertinya itu mustahil dilakukan tengah malam.

      Dugaan Dave benar, Bella memasuki sebuah taksi. Ia tidak tau berapa banyak waktu yang dihabiskan hingga taksi yang ditumpangi Bella, berhenti tepat di sebuah gang. Perempuan itu turun dari taksi, kemudian berjalan lurus memasuki salah satu gang di sana. Dave masih terus memperhatikan sampai Bella memasuki sebuah rumah yang tampak kecil di luar, ia memandang sekitar. Rumah-rumah tradisional maupun modern berjajar rapi, tetapi tak terlihat rumah besar.

     Matanya beralih memandang gang yang dimasuki oleh Bella, gang itu lumayan gelap. Pencahayaan yang kurang ditambah gang yang mungkin hanya muat untuk kendaraan bermotor saja, tempat yang sepi dan meskipun bersih. Tempat yang tidak terlalu aman untuk wanita, terlebih jika pulang larut seperti ini.

       Dave terdiam, ia menyadari satu hal. Sejak kapan ia peduli pada hal seperti ini? Dave mendengus, ia menyalakan mobilnya kemudian pergi meninggalkan kawasan itu. Saatnya ia kembali, sudah tidak terdengar dering panggilan dari handphonenya, dan itu membuatnya sedikit tenang.

       Tepat pukul dua belas malam, Dave tiba di sebuah apartemen mewah. Ia keluar dari mobil, kemudian berjalan santai memasuki apartemen. Petugas keamanan yang menjaga pintu masuk, membungkukkan badannya sedikit ketika mengetahui siapa yang datang.

     “Selamat malam, tuan Dave,” sapa seorang penjaga. Dave mengangguk, ia terus berjalan menuju lift untuk tiba di kamarnya. Terakhir kali dirinya kemari adalah dua minggu yang lalu, kedatangannya pun untuk alasan yang sama. Dave menyusuri lorong begitu lift yang membawanya tiba di lantai kamar apartemennya, lorong panjang dengan dinding pola hitam dipadukan dengan lantai marmer krem, apartemen ini cukup nyaman untuk ditinggali. Pintu apartemen berhasil dibuka ketika Dave mengetukan kartu ke kotak sensor, ia memasuki apartemen itu.

     Dave langsung berlalu menuju kamar, tubuhnya sangat lelah. Mungkin malam ini, dirinya akan tidur hingga siang hari. Dave membuka jas kerjanya, kemudian melempar sembarangan ke ranjang putih besar. Dave mengeluarkan handphone lalu mengeceknya, daya baterai sudah berwarna merah. Ia memutuskan men-charge ponselnya, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

     Mandi tengah malam mungkin seharusnya tidak ia lakukan, tetapi Dave merasa tidak nyaman jika harus tidur dalam keadaan berkeringat. Seluruh pakaian telah Dave lepas, ia berjalan menuju shower, kemudian berdiri di bawahnya. Menikmati sensasi dingin dari air yang berasal dari shower, sekitar 5 menit kemudian, ia beralih menuju bath tub berisi air hangat yang baru saja siap. 

       Ia butuh berendam beberapa menit, Dave rasa peredaran darahnya akan lancar dengan hal itu. Ia mencoba merelakskan tubuh dan mungkin pikirannya, kedua matanya terpejam dengan pikiran melayang.

 

       Dave keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya membalut tubuh bagian bawahnya, tetesan air menuruni bagian atas tubuhnya yang terbentuk dengan sempurna. Dave berjalan ke arah lemari pakaian yang berada di hadapan ranjang, ia membukanya dan memilih pakaian untuk dikenakannya tidur. Sepasang piama tidur berwarna hitam dengan garis putih menjadi pilihannya, Dave memakai celana panjangnya terlebih dahulu.

Baru saja ia hendak mengenakan baju, ponsel yang berada di atas nakas, berdering. Ia berjalan menghampiri, kemudian menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang menelepon.

      “Kau berada di Busan?!”

       Dave menjauhkan ponselnya dari telinga, tanpa perlu mengecek, sepertinya ia tau siapa gerangan yang mengganggu waktu menjelang tidurnya.  “Hm,” balasnya.

      “Sedang apa kau di sana, huh?! Menikmati pemandangan para wanita dengan bikini?”

       Dave hanya diam tak membalas, perjalanan malam ini sepertinya menguras banyak tenaga. Rencana untuk tidur sehari penuh, mungkin hanya tinggal rencana.

      “Setidaknya sebelum berlibur, kau selesaikan dulu pekerjaan di sini! Kau meninggalkanku dalam kegilaan!”

     Dave terkekeh, “Jadi, bagaimana rasanya?”

     “Gila! Apa ini yang kau rasakan setiap hari?”

      “Ya, kurang lebih seperti itu.”

       “Sepertinya pilihan ku tepat, untung saja kakakku yang menggantikan bisnis keluarga.”

       Dave menguap, ia tidak terlalu fokus pada perkataan Theo. Dave berbaring di ranjang begitu baju tidur telah melekat ditubuhnya, “Aku akan menghubungimu nanti.”

Usai mengatakan hal itu, Dave mematikan panggilan. Ia memandang langit-langit kamar, tak berapa lama, matanya pun terpejam dan perlahan dirinya memasuki alam mimpi.

~

      Rumah kecil tanpa penghangat ruangan itu membuat seseorang yang bergelung di bawah selimut, semakin mengeratkan selimut yang melilit tubuhnya. Seorang pria terkekeh geli, “Bella, bangunlah.” Perempuan yang tengah tertidur itu, mencoba menghindari tangan kekasihnya yang menyentuh pundaknya.

“Aku masih mengantuk,” gumam Bella. “Kau harus sarapan dulu, setelah itu lanjutkan tidurmu. Perutmu akan sakit seperti waktu itu,” bujuk pria dengan dandanan yang berantakan. Bella membuka kedua matanya sedikit, “Ed, biarkan aku tidur 5 menit lagi.”

       Ed menghela napas, “Baiklah, lanjutkan tidurmu. Sepertinya kau sangat lelah.” Pria dengan nama asli Edmund itu, memutuskan untuk kembali melanjutkan masaknya. Meski dirinya tidak terlalu pandai masak, tetapi mau bagaimana lagi, Bella pasti terlalu lelah jika harus melakukan kegiatan rumah tangga.

      Pria dengan lesung pipi yang terlihat kala tersenyum itu, kembali membayangkan arti kata rumah tangga. Ed menghela napas panjang, lagi pula hal itu sepertinya akan sulit dicapai oleh dirinya dan Bella.

      Ed mulai berkutat dengan beberapa bahan masakan yang paling mudah dibuat, apalagi jika bukan nasi gulung atau Kimbab.

Ed meletakkan rumput laut kering di atas talenan, dilanjut dirinya mengambil semangkuk kecil nasi hangat lalu meratakannya di atas rumput laut, ia menambah sayuran rebus ; wortel, mentimun, telur, dan bayam. Begitu selesai, Ed mulai menggulungnya secara perlahan.

Senyum penuh kepuasan terbit di bibir dengan luka di ujungnya, bertepatan dengan Ed yang hendak memotong Kimbab, Bella muncul dari dalam kamar dengan wajah mengantuk.

      Perempuan itu menghampirinya, “Kau memasak sesuatu?” Ed tersenyum kaku, “Ya. Tapi maaf, aku hanya membuat nasi gulung.” Bella melirik nasi gulung yang dimaksud Ed, terlihat menggiurkan meskipun tidak terlalu rapi bentuknya. Ia tersenyum, kemudian tangannya meraih kepala Ed untuk memberinya sebuah kecupan dipinggir bibir.

     Pria itu tersentak, meski hal itu sering Bella lakukan, tetap saja dirinya terkejut. Tangan Bella terangkat untuk menyentuh rahang dengan sedikit rambut tipis yang mulai tumbuh, matanya melirik luka lebam disudut bibir Ed.

      “Apakah sakit?” tanyanya. Ed menggeleng, tangan besarnya menggenggam tangan Bella di wajahnya. “Sudah kubilang untuk berhenti, aku sudah mengatakannya, kan? Kenapa kau tidak mau mengerti? Aku percaya kau bisa melindungi dirimu sendiri, tetapi bagaimana jika kejadian dua hari terulang lagi?” nada kekhawatiran terdengar jelas dari pemaparan Bella. Putus asa, mungkin hal itulah yang kini Bella rasakan.

     Masih hangat dalam ingatannya kejadian dua hari yang lalu, ketika Ed pulang tengah malam dalam keadaan penuh luka. Meskipun hanya luka luar dan tidak parah, akan tetapi hal itu sudah cukup membuat dirinya sangat khawatir. Mengingat itu membuat matanya memerah dan terasa perih, hingga sesaat kemudian kedua bola matanya berkaca-kaca.

        Ed tersentak, kini kedua tangannya beralih menyentuh sisi wajah Bella. “Tidak, sayang. Maafkan aku, aku janji sebentar lagi akan berhenti.” Bella mendengus, “Kau selalu mengatakan itu, tapi apa? Besoknya kau melakukannya lagi.” Ed tersenyum samar, Bella dalam keadaan merajuk lebih baik daripada dalam menangis. “Ya.. aku memang tidak menepati janji. Tetapi setidaknya selama sebulan ini, aku sudah bersikap baik, kan?” Bella mendelik, air mata yang sempat akan turun, kembali digantikan dengan wajah merajuknya. Ed terkekeh geli, “Sudah, nanti lagi merajuknya. Sekarang ayo kita sarapan!”

         Bella mengangguk, ia kembali melirik Kimbab buatan Ed. “Kau harus menggulungnya secara perlahan agar isinya tidak berantakan, lalu kau juga harus menekannya supaya padat,” jelas Bella. “Tapi kau sudah melakukannya dengan baik, Ed.. “ pujinya kemudian berjinjit supaya dapat mengelus rambut berantakan Ed. Ed tertegun, Bella selalu memperlakukannya seperti anak kucing. Ia menghela napas, apa boleh buat, jika Bella yang melakukannya itu tak masalah. Ed memotong Kimbab tersebut menjadi beberapa bagian, lalu meletakkannya di piring kembali.

         Ed merangkul pundak Bella, “Ayo, kita duduk dulu.” Kemudian keduanya berjalan menuju ruangan kecil yang dijadikan sebagai ruang tamu, ruangan itu terletak tepat di depan dapur tanpa dihalangi sekat apa pun. Ed meletakkan nasi gulung buatannya ke meja kecil di sana, ia baru saja akan duduk, tetapi Bella terlebih dahulu kembali ke dapur. “Ada apa?” tanya Ed. “Aku akan membuat telur gulung,” ujar Bella sembari mengambil empat butir telur dan sebuah mangkuk. “Kau boleh makan duluan,” ucap Bella. Ed menggeleng pelan, “Aku akan menunggu.”

        Tak berapa lama, telur gulung pun berhasil Bella buat. Ia menghampiri Ed dengan sepiring telur itu, lalu meletakkannya di meja. “Selamat makan!” keduanya pun memulai sarapan dengan hening.

     ~

       “Kita berangkat bersama,” sahut Ed. Bella menghentikan suapan terakhirnya, ia menatap Ed dengan cepat. “Kau akan pergi ke tempat itu lagi?!” nada suara Bella naik satu oktaf. Ed meringis, “Tidak, aku sudah janji, kan? Paman Sid memintaku untuk membantunya di Car wash.” Bella menyipitkan matanya curiga, “Kau tidak berbohong padaku, kan?” Ed tersenyum lebar, “Tidak. Apa wajah seperti ini terlihat seperti pembohong?” selama beberapa detik, Bella terus menatap Ed curiga. Ia mendengus, “Oke. Jika kau berbohong, aku akan membuatmu tidur di luar.” 

       Bella berdiri, ia berjalan menuju dapur dengan tangan membawa piring kotor. “Biar aku yang melakukannya,” tukas Ed sambil menahan tangan Bella yang hendak mencuci piring. “Mandilah, biar aku yang mencucinya,” lanjut Ed. Bella tersenyum, “Terima kasih.” Ia berlari kecil menuju kamar, Ed terkekeh geli dibuatnya.

~

       Udara pagi ini lebih dingin daripada kemarin, Bella semakin mengeratkan mantelnya. Ed melirik ke depan, restoran tempat Bella bekerja tinggal melewati satu toko lagi. Ed menatap Bella, tangannya meraih kedua tangan Bella. Perempuan itu tersentak dan ikut menghentikan langkah, hatinya turut menghangat ketika Ed menggosokkan telapak tangan ke kedua tangannya yang berada dalam genggaman pria itu. Ed menatapnya sambil sesekali mulutnya mengeluarkan udara untuk menghangatkan tangan kekasihnya, ia tersenyum lembut. “Terima kasih,” balas Bella. Hal-hal sekecil ini mampu membuatnya berdebar, Ed selalu tau cara membuatnya merasa dibutuhkan.

      Tangan Ed beralih menuju rambut Bella, ia mengusapnya lembut. Keduanya tertawa tanpa menyadari seseorang yang sedari tadi memperhatikan dengan tangan terkepal kuat 

~

      Pandangan Dave tidak pernah berpindah ke tempat lain, ia terus memperhatikan restoran tempat dirinya makan semalam. Sudah sedari dua puluh menit yang lalu, Dave duduk tenang di dalam mobil yang terparkir di tempat yang sama ia menunggu semalam. Tak berapa lama, seseorang yang sedari tadi ditunggunya muncul. Dave memajukan badannya sedikit, ia memfokuskan perhatian pada sosok asing yang berjalan di samping Bella. Mereka terlihat akrab, bahkan sesekali seseorang di samping Bella itu, mengelus rambut Bella.

Satu hal yang mengganggunya, sosok itu adalah seorang pria. Tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras, tatapannya semakin dingin. 

     Dilihat sebanyak apa pun, Dave sangat yakin jika pria itu mempunyai tempat spesial dihati perempuan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status