Share

5. Datang padamu

    Theo memandang bangunan sederhana di hadapannya, dari ekspresinya terlihat sekali pria itu tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. “Kenapa di antara restoran mewah, kau mengajakku makan siang di sini? Jika tau seperti ini, aku lebih baik makan dengan layanan apartemen,” keluh Theo.

“Kau terlalu banyak mengoceh,” cibir Dave. “Aku sudah memberikanmu tumpangan jadi, turuti saja apa yang kukatakan.” Theo memutar bola matanya malas, “Lalu apa yang tuan Dave ini inginkan?” dari nadanya terdengar jika Theo malas melakukan apa yang Dave inginkan.

      “Kita akan makan siang di restoran itu, selama di dalam, jangan pernah mengoceh yang aneh-aneh!” papar Dave. Theo mengernyit, tetapi ia memilih diam. Lagi pula di mana pun tempat makannya, paling penting adalah tempat itu bersih dan menyediakan makanan yang layak. 

      Dave membuka pintu restoran, suasana di dalam siang ini lumayan ramai. Dan itu adalah salah satu hal yang dibencinya selain suara berisik, Dave memindai pandangannya ke sekeliling. Senyum samar terlihat di bibir tipisnya, seseorang yang menjadi alasan kedatangannya ke sini berada di sana, Bella terlihat sibuk ke sana kemari melayani pelanggan yang datang memesan. Di belakangnya, Theo turut memperhatikan isi dalam restoran. 

       Theo merasa dirinya menyukai restoran ini, tempatnya lumayan nyaman. Dia menoleh ke arah Dave yang sudah berjalan lebih dulu ke salah meja, Theo berjalan cepat menghampiri. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Theo.

Dave melirik sekilas, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke pintu dapur restoran. Senyum samar terbit di bibirnya, Theo mengernyit kemudian menoleh ke arah pandang Dave. Seorang perempuan dengan rambut merah kecokelatan yang diikat tinggi dan pakaian pelayan restoran keluar dari dapur, Theo melirik ke arah Dave.

      Mata teman kecilnya itu seolah terpaku pada pelayan tersebut, bahkan Theo dapat melihat bagaimana kepala Dave bergerak mengikuti pergerakan perempuan itu. Theo terkekeh geli, sejak kapan Dave menjadi orang yang mudah ditebak.

“Ah, jadi dia alasanmu membawaku ke sini?” pertanyaan yang dilontarkan Theo membuat Dave menoleh. Theo mengangkat tangan kanannya, “Aku ingin memesan!” Bella menoleh, ia berjalan cepat menghampiri meja pelanggan. Ketika langkahnya semakin dekat, Bella merasa tak asing dengan sosok yang berada satu meja dengan si pemesan.

        “Ah, Anda kembali lagi, tuan?” terdengar nada tak percaya yang keluar dari mulut Bella. Dave berdeham, dia mencoba mengendalikan ekspresinya. Sedangkan Theo yang duduk di depannya menatap curiga pada Dave,  seketika satu pernyataan muncul dikepalanya. Dia menoleh cepat pada Dave, “Aku tau.” Dave mendelik tajam melihat senyum menjijikkan di wajah Theo, dia mengambil kotak tisu di meja dan melemparnya ke wajah Theo.

“Kenapa kau melemparkannya padaku?!” kesal Theo sembari meletakkan tempat tisu ke meja.

         Bella tersenyum kaku, sedari tadi dirinya hanya diam memperhatikan. “Anda pesan apa, tuan?” tanyanya sopan. Dave melirik, dia baru saja membuka mulutnya, tetapi Theo mendahuluinya. “Cantik, bisa aku meminta nomor handphone-mu?” Dave melirik tajam pada Theo, tetapi pria itu sepertinya sengaja melakukan hal yang menurut Dave memalukan itu.

Bella dapat merasakan ujung bibirnya berkedut menahan kesal, “Maaf, tuan. Pesanan itu tidak ada dalam menu.” Dave nyaris tersedak liurnya sendiri, dia mendongak untuk melihat ekspresi seperti apa yang dikeluarkan Bella. Pasalnya baru kali ini dirinya mendengar kalimat penolakan secara tak langsung untuk Theo, Theo terkenal playboy dan sudah dicap sebagai penakluk wanita.

       Katakan saja jika para wanita klub yang biasanya menjadi tempat hiburan mereka, sudah pernah berkencan dengan Theo. Dave melirik teman kecilnya itu, Theo tersenyum kaku. “Ah, seperti itu. Oke, aku pesan sesuatu yang istimewa dan mahal. Dan paling penting adalah makanan itu bisa kumakan,” ujar Theo penuh penekanan. Bella mengangguk, ia menoleh ke arah Dave. “Anda ingin pesan apa, tuan?” tanyanya. “Apa pun itu, aku ingin kau yang membuatnya,” sahut Dave.

       Bella mengangguk ragu, “Apa ada yang ingin Anda pesan lagi?” “Apa di tempat seperti ini ada Wine?” terdengar nada meremehkan dari pertanyaan Theo, matanya mengitari sekeliling restoran. Bella menghela napas pelan, “Maaf, tuan. Untuk hal itu saya kurang tau, tetapi kami menyediakan Soju dengan kadar alkohol lebih tinggi. Apa Anda menginginkannya?”

        Dave menoleh cepat pada Theo, dimatanya seolah mengatakan untuk menolak tawaran Bella. “Astaga, kau sepertinya meremehkanku. Aku pesan tiga botol,” sahut Theo menghiraukan tatapan penuh ancaman dari Dave. “Baiklah, pesanan akan segera disiapkan. Mohon ditunggu,” usai mengatakan itu, Bella pun beranjak pergi dari sana. Dave menatap datar Theo, “Aku akan menendangmu jika kau mabuk.”

       Theo membulatkan matanya, “Itu tidak akan terjadi! Kau tau sendiri jika aku bisa minum dua botol Wine sebelumnya.” Dave menatapnya malas, “Kau bodoh? Soju memiliki kadar alkohol lebih tinggi dari Wine dan bir.” Theo mengibaskan tangannya, “Jangan meremehkanku. Lihat saja nanti, aku akan menghabiskan tiga botol Soju!” Dave menatapnya malas, tanpa berniat berbicara lebih jauh, ia memandang ke arah tempat perginya Bella. 

      Tak berapa lama, Bella menghampiri meja mereka dengan sebuah nampan berisi tiga botol Soju dan dua gelas kecil pesanan Theo. “Makanannya akan selesai beberapa menit lagi,” ucap Bella sembari meletakkan ketiga botol itu di atas meja. Bella baru saja melangkah, tetapi seseorang menahannya. Ia menoleh ke arah pergelangan tangan kirinya yang berada dalam genggaman Dave, Bella menatapnya datar.

“Kau tidak ingin bergabung?” tawar Dave. Bella menyentak tangannya pelan hingga terlepas dari genggaman Dave, pria itu terlihat terkejut.

       “Bukankah Anda yang menginginkan masakan yang saya buat? Maaf, saya tidak mengonsumsi alkohol di siang hari,” balas Bella kemudian berlalu menuju dapur.

Theo memandang tak percaya kepergian Bella, dia menoleh ke arah Dave dengan tawa tertahan. Theo menuangkan satu botol Soju ke dua gelas kecil itu, dia menyodorkan satu gelas di depan meja Dave. “Sepertinya kalian cocok,” sindir Theo membuat Dave melirik. Seringai tampak disudut bibirnya, pria itu mengambil gelas berisi Soju. Ditatapnya cairan bening itu dengan intens, “Aku rasa kau benar.” Dalam sekali tegukan, cairan beralkohol itu masuk ke dalam tubuhnya.

       Theo menggeleng tak percaya, Dave sangat pandai minum. Bahkan di saat mereka mencari hiburan di klub, Dave tak pernah sekalipun terlihat mabuk meski dua botol minuman alkohol diteguknya. Theo mencicipi Soju dalam gelasnya, sensasi rasa pahit membuatnya mengernyit. Namun, entah bagaimana rasa pahit itu terasa nikmat di tenggorokannya. Sehingga tanpa sadar, satu botol telah dia habiskan dalam beberapa tegukan gelas kecil.

      Dave terlalu sibuk dengan pikirannya, hingga tak menyadari botol kedua tengah diminum oleh Theo. Bella akhirnya keluar dari dapur dengan nampan yang kali ini berisi masakannya, Dave berdiri tegak sambil meletakkan gelasnya kembali. Bella meletakkan dua piring berisi daging sapi yang dipanggang ala Amerika, makanan ini dipilihnya karena daging sapi adalah daging mahal di restoran kecil ini.

       Bella melirik pria yang memesan Soju yang duduk di meja sama, “Sepertinya teman Anda mabuk, tuan.” Dave mengikuti arah mata Bella, seketika itu juga emosinya naik. Kepala Theo sudah terkapar di meja, botol Soju yang sudah kosong berada dalam genggaman tangannya. “Shit,” desisnya. Sejak kapan Theo mabuk, sepertinya Dave terlalu fokus pada Bella sehingga tidak menyadarinya.

       Dave mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, lalu meletakkannya di atas meja. Dia berjalan ke kursi Theo, kemudian menepuk sedikit keras pundaknya. “Bangun,” ujarnya tetapi tidak dapat respons dari Theo. Dave menarik pundak Theo, kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi. 

Wajah memerah Theo sudah membuktikan pria itu mabuk, Dave menghembuskan napas kasar. Ia meletakkan lengan kiri Theo di pundaknya, lalu tangannya sendiri bergerak ke punggung Theo sebelum mengangkatnya untuk membantu berdiri.

        Melihat pelanggannya yang sudah akan pergi, Bella pun melirik makanan yang belum sempat disentuh. “Tuan, makanannya apa ingin dibungkus?” tawarnya. Dave menoleh, “Kau makan saja.”

Kemudian pria itu pun berjalan keluar sambil memapah Theo, Bella mendengus tak suka. “Kenapa orang kaya senang sekali menghamburkan uang,” gumamnya. Bella kembali meletakkan piring berisi masakan buatannya ke nampan, tangannya meraih tiga botol Soju yang dua di antaranya telah habis dan meletakkannya juga di nampan.

        Keningnya mengernyit saat melihat benda berbentuk persegi panjang berada di meja, Bella mengambil ponsel yang terlihat mahal tersebut. Ia menoleh ke arah pintu, seketika itu pula dirinya berlari keluar restoran. Napasnya sedikit terengah-engah, tetapi Bella merasa senang jika pria kaya itu masih berada di daerah restoran. Bella menghampiri Dave, “Tuan.” Dave yang hendak membuka pintu mobil pun menoleh ke belakang, Bella berada di sana. “Ada apa?” tanyanya. 

        Bella menyodorkan ponsel di tangan kanannya, “Apakah ini handphone milik Anda?” Dave melirik ke arah ponsel di tangan Bella, ia menghela napas kasar menyadari kecerobohannya. Dengan susah payah karena menahan berat badan Theo, Dave berhasil mengambil ponselnya. “Sepertinya Anda terlihat kesulitan, apa bisa saya bantu?” tawar Bella.

       Dave mengernyit, ia seolah tidak suka dengan usulan Bella. “Tidak perlu,” balasnya singkat. Bella mengangkat bahunya acuh, terserah saja. Bella mencoba mengabaikan Dave yang kesulitan membuka pintu belakang mobil, ia sebenarnya ingin membantu. Bella menghela napas kasar, kemudian membantu Dave untuk membuka pintu belakang mobil. Dave terkejut, pria itu menatap Bella cepat. 

       “Maaf, tapi Anda terlihat kesulitan.”

       Dave baru saja akan memasukkan Theo ke dalam mobil, tetapi tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh jika saja Bella tidak membantunya menahan tubuh Theo. Namun, sebagai gantinya. Kini tubuh Theo berada dalam pelukan Bella, tangannya terkepal kuat.

Dia baru saja akan mendorong tubuh Theo menjauh, sebelum matanya membulat oleh aksi Bella selanjutnya.

        Bella membulatkan matanya ketika lidah Theo menjilat lehernya, sontak saja itu membuatnya mendorong tubuh Theo menjauh. Kemudian satu tamparan dirinya layangkan, tatapan penuh amarah Bella berikan pada pria mabuk di depannya. Dave tersentak, dia tak menyangka jika Bella berani menampar Theo. Tangan perempuan itu terangkat hendak menampar Theo kembali, tetapi Dave jauh lebih cepat mencegahnya.

        Bella menatap tajam Dave, “Lepaskan!” ia mencoba melepaskan tangannya dalam genggaman kuat Dave. “Kenapa? Kau mau membela temanmu yang kurang ajar ini?” cemooh Bella. Dave mengernyit, sebenarnya apa yang dilakukan Theo hingga membuat Bella sangat marah. Bukankah Theo hanya tak sengaja memeluk perempuan ini? Bella tersenyum sinis, “Dia menjilat leherku!” Dave tersentak, kini dirinya turut menatap tajam Theo yang terduduk di tanah. Sepertinya tamparan yang diberikan Bella cukup keras, dan Dave tau satu hal buruk akan terjadi sebentar lagi.

       Dave kembali dibuat terkejut oleh aksi Bella, perempuan itu berhasil melepaskan tangannya. Namun, tangan Dave sepertinya lebih cepat dari tangan Bella. Perempuan itu menoleh dan kembali mendapati Dave yang tengah menatapnya sambil menahan tangannya di udara. “Sudah cukup, jangan menamparnya lagi,”  ujar Dave. “Dia sudah berlaku tak sopan padaku! Meskipun aku hanya pelayan restoran, tak sepantasnya dia berlaku seperti itu! Apa karena dia temanmu?” sentak Bella.

     Dave mendorong tubuh Bella hingga bersandar di mobilnya, ia mengurung Bella di antara lengan kekarnya. Matanya menyusuri wajah Bella, sepasang mata bulat yang dihiasi bulu mata lentik, hidung mancung yang mungil, dan jangan lupakan bagian yang sudah menjadi perhatiannya sejak awal. Bibir merah merona yang terlihat alami itu seolah mengundangnya untuk mencicipi, tetapi kepalanya menggeleng. Bukan itu tujuannya sekarang, matanya turun ke bawah dan tiba di leher jenjang Bella.

     Bella mengikuti arah pandang Dave, seketika ia menyembunyikan lehernya dengan rambut agar menghalangi pandangan pria itu. Kini pandangan Dave jatuh pada kedua bola mata yang menatapnya tajam, dia tersenyum miring. Ah, Dave sangat menyukai mata bulat yang menatapnya tajam itu. Kepalanya maju perlahan, Bella memasang posisi siaga. “Untung saja tidak sampai memerah,” lirih Dave tepat di samping telinga kanan Bella.

     Dave melirik ke arah Theo yang terlihat mencoba berdiri, dia melepaskan tangan Bella lalu berjalan menghampiri Theo. Dave mengangkat tubuh Theo dengan mudah, semua itu berkat kesadaran Theo yang mulai pulih. Dengan cepat Dave memasukkan Theo ke dalam mobil, sesaat kemudian pria yang kini sudah berada di dalam mobil itu terduduk. Kepalanya mendongak, tamparan keras tadi sepertinya membuat Theo sedikit sadar.

       Dave menoleh ke arah Bella yang tengah menatapnya tajam, ia tersenyum miring. “Kau beruntung aku menyelamatkanmu,” ucapnya. Bella menautkan alisnya, “Menyelamatkan aku? Kau menyelamatkan temanmu! Seharusnya kau memberi pukulan pada pria kurang ajar itu!” Dave mengangkat sebelah alisnya, “Kau mau aku melakukannya?” Bella mengenyit tak mengerti, ia berbalik dan memutuskan untuk masuk kembali ke restoran.

       Dave memperhatikan Bella hingga tubuh perempuan itu menghilang di balik pintu, setelahnya Dave pun memasuki mobilnya. Ia akan kembali ke apartemen sekarang, Dave melirik ke arah kursi belakang. Tatapan tajam diberikannya pada Theo yang berada dalam keadaan linglung.

~

      “Sialan, pipiku sakit sekali... “ keluh Theo sambil memegang pipi kirinya yang kebas. “Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?” tanyanya. Dave melirik datar tanpa menjawab, dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Theo mendengus, pria itu berjalan menuju kamar mandi. Baru saja tangannya hendak membuka pintu, sekilas ingatan muncul. Tubuhnya tersentak saat mengingat tamparan keras itu, kini dirinya ingat sebab mengapa pipinya terasa sakit dan memerah. “Jadi perempuan gila itu yang membuat pipiku sakit!?”

      “Kau tidak ingat apa yang kau lakukan hingga membuatnya marah?” tanya Dave. Theo melotot, “Tentu saja tidak! Kau bodoh?! Aku sedang mabuk!” Dave melayangkan tatapan dinginnya, hal itu membuat Theo diam tak berkutik. “Jangan berteriak padaku,” desisnya. Theo bergerak kaku, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Di dalam kamar mandi, Theo merutuki mulutnya yang tidak bisa diam. Hampir saja dia membuat Dave menjadi monster.

       Dave memandang lurus ke depan, seringai terbit di sudut bibirnya. Ah, dia bahkan masih mengingat dengan jelas ketika bogem mentah berhasil mendarat di rahang Theo. Ya, dialah penyebab pipi pria itu merah bahkan sedikit bengkak. Hei, satu tamparan keras dari telapak tangan mungil tidak mungkin membuat pipi bengkak. Dave hanya membenci ketika seseorang menyentuh miliknya, sekalipun itu adalah temannya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status