Home / Romansa / Love The Way You Lie / 4. Selangkah lebih dekat

Share

4. Selangkah lebih dekat

Author: Erdes04
last update Last Updated: 2021-03-11 09:32:28

      Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya.

      “Dave, bagaimana kabarmu?” 

     Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut.

      Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.        

      Dave... Ayo kita pergi ke pantai.

      Dave, kau mau membelikanku ini?

   

       Dave meremas rambutnya dengan kuat, “Hentikan. Hentikan!” Kepalanya terus menggeleng, ingatan itu terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya. “Hentikan!”

      Dave....

      Dave...

      Dave..

       “Hentikan!!” teriaknya. Dave melempar ponsel sembarangan, napasnya terengah-engah. Dari sekian banyak orang, kenapa harus orang itu yang menghubungi. Dave menggeram marah, setelah semua berhasil dirinya lewati, apa orang itu akan datang dan membuat hidupnya hancur kembali? Dave tertawa seperti orang gila, dia bukanlah Dave yang dulu.

~

      Dave menyugar rambutnya yang masih basah, dia baru saja menyelesaikan ritual mandi pagi. Ya, meskipun tidak bisa dikatakan pagi ketika matahari sudah mulai naik.

Pikiran dan hatinya yang kalut memang tidak begitu saja hilang setelah menenangkan diri dengan berendam di air hangat, tetapi setidaknya hal itu dapat merilekskan tubuhnya yang terasa kaku.

Ia berjalan menuju lemari putih, kemudian tangannya mulai memilah pakaian apa yang harus dikenakan. Pilihannya jatuh pada kemeja hitam dan jeans, lagi pula tidak banyak pilihan yang tersedia. Selain beberapa pakaian formal, dan beberapa kaos juga mantel berwarna gelap. Handphone yang bergetar di atas nakas membuat Dave menoleh, ia menghampiri lalu meraih ponselnya. 

        

        “Aku mengizinkanmu kabur ke Busan, katakan saja aku sedang berbaik hati memberimu libur.”

       Dave mendengus melihat isi pesan singkat dari ayahnya, dia sudah dewasa, tetapi mengapa kedua orang tua itu khawatir. Dave tertawa sinis, dia hampir lupa. Mereka tidak pernah khawatir kepadanya, mereka hanya khawatir dia membuat pekerjaan di perusahaan terbengkalai. Terlebih, mereka tidak mau perusahaan yang sudah payah dikembangkan itu, hancur dalam sekejap.

       Ting.

       Beberapa pesan masuk ke email-nya, Dave membuka satu file dan sesuai dugaan. Sang ayah mengiriminya file berisi pekerjaan. Benar, kan? Mereka hanya khawatir mengenai perusahaan. Dave keluar dari aplikasi Gmail, ia beralih menuju aplikasi pesan. Ia mulai mengetik sesuatu kepada salah satu bawahan, tetapi kemudian dia pun terdiam.

       Dave menghapus kembali pesan yang hendak ia kirim pada tangan kanannya, untuk saat ini tidak ada seseorang yang harus ia percaya. Tangan kanannya itu bisa saja bekerja sama dengan ibu atau ayahnya dan yang lebih parah adalah ketika kedua orang tuanya ikut campur, Dave menggeleng beberapa kali. Ia harus melakukannya sendiri, lagi pula mencari identitas seseorang bukan hal sulit untuknya, hal itu pernah ia lakukan.

      Dave memandang pantulan dirinya di dalam cermin seukuran tubuh, dada bidangnya terekspos tanpa ada kain yang menutupi. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan hingga memperlihatkan lengan kirinya, bekas luka bakar terlihat di belakang lengan atas kirinya.

      Dave menatapnya dingin, ia sangat membenci luka itu. Nyatanya, kesempurnaan yang selalu orang-orang agungkan kepadanya, sama sekali tidak ia miliki. Jika saja Dave bukanlah orang beruntung yang bisa mendapatkan segala kemewahan ini, ia sangat yakin orang-orang akan memalingkan wajah mereka. Dave mengambil kemeja hitam di ranjang, kemudian mulai mengenakannya. Ia melipat lengan panjang kemeja tersebut sampai ke siku, setelahnya keluar dari kamar apartemen.

~

       Langkah lebar yang terlihat tenang itu, nyatanya tak sesuai dengan pikirannya saat ini. Dave kalut, mimpi buruk terbesarnya itu seolah membelenggunya. Mengurungnya bersama tembok tak kasat mata, jika ada sebuah obat yang dapat membuat ia menghilangkan keresahannya, maka dengan senang hati Dave akan membelinya. Sekalipun dengan harga yang mahal, ia menghela napas kasar.

Kepalanya terasa pusing, Dave memejamkan mata sejenak. Sejauh ini, tidak ada hal yang dapat menenangkannya bagai anti-depresan maupun seperti analgesik atau painkiller.

       Dave memasuki mobilnya begitu dirinya tiba di parkir apartemen, mungkin dengan pergi ke klub untuk minum dapat membantunya meringankan pikirannya yang berantakan.

~

       Rasanya Dave ingin menertawakan dirinya sendiri, sejak kapan orang asing menjadi salah satu bagian dalam ingatannya. Restoran Choo merupakan restoran yang  dua hari ini dirinya kunjungi, ia tidak terlalu lapar, tetapi tangannya bergerak sendiri untuk mengendalikan setir mobil. Bahkan Dave mengingat dengan jelas ketika ia membelokkan arah mobilnya, padahal ia hampir saja tiba di klub.

        

      Pandangan Dave tidak pernah berpindah ke tempat lain, ia terus memperhatikan restoran tempat dirinya makan semalam. Sudah sedari dua puluh menit yang lalu, Dave duduk tenang di dalam mobil yang terparkir di tempat yang sama ia menunggu semalam. Tak berapa lama, seseorang yang sedari tadi ditunggunya muncul. Dave memajukan badannya sedikit, ia memfokuskan perhatian pada sosok asing yang berjalan di samping Bella. Mereka terlihat akrab, bahkan sesekali seseorang di samping Bella itu, mengelus rambut Bella. Satu hal yang mengganggunya, sosok itu adalah seorang pria. Tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras, tatapannya semakin dingin. 

      Dilihat sebanyak apa pun, Dave sangat yakin jika pria itu mempunyai tempat spesial dihati perempuan itu. Sepasang manusia itu memasuki restoran, Dave menghela napas pelan.

Apa pilihannya untuk ke sini adalah kesalahan, Dave rasa ia memang harus pergi ke klub. Tangannya baru saja bergerak memegang setir mobil, sebelum akhirnya satu hal hinggap di kepalanya. Dave kembali pada posisi awal, ia akan menunggu pria itu pergi.

       Entah sudah berapa lama Dave menunggu, ia beberapa kali melirik jam tangannya. Jarum jam selalu bergerak ketika matanya melihat, ia kembali memperhatikan pintu restoran. Sebuah napas lega dikeluarkannya, pria yang bersama Bella tadi, akhirnya keluar dari dalam restoran.

      

        Dave keluar dari dalam mobil ketika melihat pria yang bersama Bella benar-benar pergi, ia berjalan dengan langkah lebar memasuki restoran. Bella menoleh ke arah pintu yang terbuka, ia mengernyit saat melihat kehadiran sosok tak asing di retina matanya. Bella berdiri dan menghampiri, “Maaf, Tuan. Restoran buka pukul dua belas siang.” Dave tersenyum samar, dia tidak bodoh karena sebelumnya telah melihat papan kayu di luar restoran.

“Ah, benarkah? Aku berniat mencari sarapan,” sahut Dave. “Tetapi aku tidak terlalu paham dengan daerah sini, karena itu aku kembali ke sini.” Dave merutuki mulutnya yang masih pandai berbohong, lagi pula tanpa perlu susah payah mencari tempat makan, di apartemen telah disediakan segala hal yang dirinya butuh. Bella mengangguk paham, “Jika Anda ingin mencari restoran yang buka di pagi hari, sebaiknya Anda pergi ke kedai yang jaraknya hanya sekitar 290 meter dari sini.” 

      “Kau bisa merekomendasikan makanan yang enak di sana?” tanya Dave. Bella terdiam, sepertinya ia tidak mengerti maksud pria di depannya ini. “Maaf, saya tidak terlalu tau semua menu di sana. Jika Anda masih bingung, saya bisa mengantar Anda,” sahutnya.

Dave menaikkan sebelah alisnya, “Kau mau pergi bersamaku?” Dave rasanya ingin tertawa, tatapan polos dan bingung perempuan di depannya, sangat menarik untuk dilihat. “Apa kau... “ belum sempat Dave melanjutkan ucapannya, Bella terlebih dahulu memotongnya.

      “Ed!” seru Bella sembari berjalan melewati Dave. Dave mengikuti arah tubuh Bella, seorang pria yang ia kira sudah pergi, nyatanya kembali dengan kantung plastik di tangannya. Dave menatap datar Ed yang ikut menatapnya bingung, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk Dave datang.

“Apa dia temanmu, Bella?” tanya Ed menunjuk Dave dengan dagunya. Bella mengikuti arah pandang Ed, kemudian menggeleng. “Dia hanya bertanya tentang restoran,” jawabnya berbisik. Ed mengangguk, keduanya kembali menghampiri Dave.

       “Tuan, mengenai perkataan Anda tadi. Anda bisa bertanya pada kekasih saya, dia yang selalu membawaku pergi ke kedai itu,” ujar Bella. Dave melirik Ed dengan tatapan datar, tetapi untuk seorang pria teliti seperti Ed. Dirinya sangat yakin melihat tatapan meremehkan pria itu, Ed sudah sering berhadapan dengan pria seperti pria di depannya.

Ed berdeham, “Ya, aku bisa merekomendasikannya.” Dave menoleh ke arah Bella, “Ah, aku ada urusan. Kita bisa bertemu lagi nanti, sampai jumpa.” Dave berlalu tanpa berniat merespons ucapan Ed, Bella memandangnya bingung.

        Bella menoleh pada Ed, “Ayo, kita duduk dulu.” Kemudian ia membawa Ed menuju salah satu meja, ia duduk di sana diikuti Ed. “Ada apa? Kenapa kau terus memandang pintu?” tanya Bella membuat Ed tersadar dan menoleh padanya. Pria itu menggeleng, “Tidak ada.”

Seolah teringat sesuatu, Ed mengambil kantung plastik kecil yang dibawanya tadi dan meletakkannya di atas meja. “Aku membelikan Cinnamon roll untuk makan siangmu,” kata Ed. Mata Bella berbinar cerah, perempuan itu meraih kantung plastik tersebut. “Terima kasih, Ed.”

~

     “Bella, kau kenal dia?” tanya Ed setelah suasana hening yang terjadi beberapa saat. Bella menoleh, lalu menggeleng. “Dia pria sombong yang membuatku terjebak di restoran malam kemarin,” jawabnya dengan malas. 

      “Sepertinya dia tertarik padamu,” kata Ed dengan wajah datar. Bella tersentak, “Itu tidak mungkin, Ed.” Ed meliriknya, “Kenapa tidak mungkin? Kau cantik dan manis, juga perempuan cerdas, dan pandai memasak.” Bella tertegun, ia memasang senyum malu. “Terima kasih sudah memujiku,” sahutnya.

“Aku tidak memujimu, aku hanya berkata sesuai fakta. Sekarang jawab, apa kau yakin tidak mengenal pria itu?” tanya Ed kembali. Bella menghela napas, “Ed, selama ini orang selalu berada di sampingku dan sangat.. sangat dekatku adalah dirimu. Jadi, apa kau pernah melihat aku dengan dia sebelumnya?”

Ed tersenyum tipis, “Maaf, sepertinya aku terlalu khawatir.”

Bella memandang tak mengerti kepada Ed, “Apa yang kau khawatir, kan?” Bella tersenyum jahil, “Ah.. apa kau khawatir dia akan merebutku darimu? Atau kau takut aku berpaling?” Ed tertawa geli, “Katakan saja iya.” Bella memandang tak percaya ke arah Ed, “Kau seperti tidak tulus mengatakannya.”

       “Lalu aku harus melakukan apa untuk membuktikan  jika ucapanku benar?” tanya Ed. “Jangan lepaskan tanganku,” sahut Bella dengan wajah merona merah. Ed melebarkan senyumnya, “Oke. Aku akan selalu menggenggam tanganmu.” “Bukan melepaskan yang seperti itu maksudku,” rajuk Bella. Ed tertawa, “Aku paham. Maksudmu itu... “ 

       “Bella!” panggil Madam Choo di dalam ruangannya. Bella mendengus, “Astaga, Madam. Padahal aku masih ingin mengobrol denganmu.” Bella berdiri, “Kau harus ke tempat kerja, kan? Pergilah, aku akan langsung pulang.” Ed mengangguk, “Oke. Aku akan melihatmu sampai ke ruangan madam dulu, setelah itu aku akan pergi.” Bella menggeleng-geleng tak percaya, kemudian berjalan pergi menuju ruangan madam Choo. Ed terus memperhatikan hingga Bella menghilang di balik pintu, kemudian ia berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.

       Ed menghembuskan napas kasar, ia memandang dingin ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan restoran. Ed tau jika sedari tadi mobil tersebut telah berada di sana, si pemilik pun sepertinya memiliki ketertarikan pada Bella.

Hal serupa dilakukan oleh si pemilik mobil.

       Dave menghembuskan napas kasar melihat kedekatan Bella dan pria itu, ia tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Dave tidak pernah merasa kesal hanya karena seorang wanita, ia juga tidak pernah memperhatikan wanita seperti dirinya memperhatikan Bella. Dave mengacak rambutnya frustrasi, matanya menatap tawa Bella di dalam restoran. “Kau membuatku gila... “ lirihnya.

       Dave memasuki  apartemennya dengan langkah malas, ia mendudukkan dirinya di sofa. Punggung dan kepalanya bersandar pada sandaran sofa, matanya memandang lurus langit-langit ruangan. Hatinya terasa panas oleh hal yang tidak ia mengerti, Dave merasa malas melakukan apa pun. Derap langkah kaki membuat Dave menoleh ke asal suara, ia rasa mood-nya akan semakin memburuk sekarang.

       “Hai, Dave. Kau pasti tidak menyangka aku akan berada di sini,” ucap Theo kemudian mendudukkan dirinya di samping Dave. “Menyingkir dariku,” desis Dave sembari mendorong Theo dengan lengannya.

Theo berdecap kesal, kemudian menjauh sedikit dari Dave. “Kau sepertinya sedang dalam suasana hati yang buruk, ada apa? Apa ada yang membuatmu kesal di sini?” tanyanya. Dave mendengus, “Kenapa kau kemari?”

       “Astaga, kukira kau akan sedikit berubah setelah tidak bertemu denganku... “ keluh Theo. “.. aku kabur,” lanjutnya membuat Dave menoleh cepat padanya. Theo menahan tawa, tetapi sesaat kemudian dia pun tertawa keras. Theo baru menghentikan tawanya setelah mendapat delikan tajam Dave, ia berdeham.

“Aku tidak kabur, mana mungkin aku meninggalkan tanggung jawabku di sana,” sindirnya sembari melirik Dave yang memandangnya datar. Theo mendengus, “Kau ini tidak bisa di ajak bercanda.” Dia mengambil tas kerja di sampingnya, kemudian membuka dan mengeluarkan isinya.

Theo meletakkan beberapa dokumen penting di atas meja kaca, “Ini adalah proposal yang ayahmu kirim. Beliau juga yang mengirimku kemari untuk menemanimu, sekaligus beliau juga memberikanku libur selama 2 hari.”

       Dave mengambil satu dokumen, lalu mengeceknya. Dokumen yang diambilnya berisi tentang kerja sama dengan perusahaan luar, tandatangan sang ayah telah berada di sana. Dave kembali meletakkan dokumen itu di tempat semula, “Aku akan tandatangani nanti.”

Theo mengernyit, “Aku tau kau seorang pria yang dingin, tetapi kenapa kali ini aku merasa kau sangat dingin? Ada apa? Kau tidak menikmati masa kaburmu?” Dave mendengus, “Kau terlalu banyak bicara.” “Jangan katakan kau akan tidur di sini,” Dave memberikan tatapan permusuhan.

        Theo tertawa kaku, “Eum.. ya? Lagi pula apartemenmu besar dan punya tiga kamar, kan? Jangan pelit kepada teman kecil!” Dave melirik sekilas tanpa berniat membalas ucapan Theo, ada satu hal yang terpikirkan olehnya. Ia menoleh ke arah Theo, “Kau bisa memata-matai seseorang?” Theo mengernyit,

“Kenapa? Ada seseorang yang ingin kau dekati?” Theo bukanlah pria bodoh, dirinya dapat melihat ekspresi gelisah di wajah Dave. “Kalau begitu tidak perlu,” ujar Dave membuat Theo buru-buru menghampiri. “Kenapa tidak jadi? Katakan saja, siapa yang harus aku selidiki?” tanyanya.

        “Aku tidak bodoh, Theo. Kau pasti akan memberi tahukan semua kegiatanku di sini kepada ayahku, kan?” pertanyaan bernada curiga itu terdengar jelas ditelinga Theo. Pria itu meringis, kadang ia lupa berhadapan dengan siapa. Tujuan utamanya kemari memang seperti dugaan Dave, Theo sebenarnya bisa saja menolak, tetapi ini kesempatan dia libur kembali. “Astaga, maafkan aku. Oke, katakanlah apa yang kau mau. Aku akan melakukannya sebagai teman kecilmu,” tukasnya.

       Dave menatap Theo dengan datar selama beberapa saat, “Besok ikutlah denganku.” Mata Theo berbinar, “Kau mau mengajakku jalan-jalan?!” Dave mendelik tajam ketika mendengar seruan Theo, “Sekali lagi kau melakukannya, aku akan menendangmu keluar dari sini.”

   

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love The Way You Lie   32. Semuanya berakhir sekarang (END)

    Bella terus menunduk, ia tidak berani mendongak untuk memandang dua sosok yang kini duduk di depannya. Entah bagaimana kedua pria itu datang bersamaan, mendatanginya dan mengajaknya kembali. Bella mendongak, kedua pria itu saling menatap tajam. “Bisakah kalian pergi?” ucapannya sontak saja membuat kedua pria itu menatapnya.“Tidak bisa,” ujar mereka bersamaan. Bella menghela napas lelah, ini tidak akan mudah. “Kau harus ikut denganku,” terdengar nada perintah dalam ucapan Dave. “Kau tidak bisa memaksanya,” kini giliran Ed yang berbicara. Ya, kedua pria itulah yang sedari dua jam memaksanya.Sudah seminggu Bella berada di Los angeles, beruntung baginya karena bertemu dengan salah satu ibu panti ketika tiba di bandara. Panti kini telah pindah ke salah satu bangunan sederhana milik seorang pengusaha, bahkan pengusaha yang tidak diketahui namanya itu telah menjadi penyumbang terbesar untuk panti.

  • Love The Way You Lie   31. Keputusan akhir

    Kelopak mata itu tampak bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka secara perlahan. Hal pertama yang tertangkap oleh retina matanya adalah langit-langit ruangan berwarna putih, kepalanya menoleh ke samping. Dinding bercat putih juga menyambutnya, Bella mengerutkan hidungnya ketika bau obat-obatan tercium jelas. Ah, rumah sakit. Bella menghela napas pelan, ia melirik pergelangan tangan kirinya yang terbalut perban. Ingatan kembali membawanya pada kejadian sore tadi, ketika Bella dengan bodohnya melukai pergelangan tangannya. Ia tersenyum miris, dibandingkan dengan bodoh, Bella akan menyebutnya sebuah usaha melarikan diri.Tentu saja dirinya tidak akan mungkin bertahan lebih lama dari penjara yang dibuat Dave, pria itu sungguh-sungguh sudah tidak memedulikannya lagi. Bella tidak dapat mengetahuinya dengan pasti berapa lama Dave pergi, tetapi Maid beberapa kali yang mengantarkan makanan untuknya. Ia tidak dapat menahannya lagi, terlebih ketika hujan badai terjadi sor

  • Love The Way You Lie   30.2 Aku lelah..

    Bella terus mundur, hingga kemudian punggungnya menyentuh tembok. Bella jatuh terduduk, ia meringkuk disudut kamar, matanya memandang takut ke arah Dave yang melangkah mendekat. “Kau sakit, Dave.” Dave membulatkan matanya mendengar perkataan Bella, “Aku tidak sakit.” Bella menggeleng cepat, “Mentalmu sakit!” ekspresi mengeras di wajah Dave, berganti menjadi raut wajah datar. “Katakan sekali lagi dan kau akan mati,” desis Dave. Entah mengapa keberanian Bella mulai terkumpul, ia menatap Dave dengan ekspresi wajah meremehkan. “Kau tidak akan berani melakukannya, Dave.” “Karena selama ini hanya aku yang masih bertahan denganmu, benarkan?” rahang Dave mengeras kembali. Dia berjongkok, lalu jari telunjuk dan jempol tangan kanannya mengapit dagu Bella. “Apa kau mau aku melepaskanmu?” suara Dave terdengar dalam. Bella mengepalkan kedua tangannya, intimidasi yang dilakukan Dave, nyatanya telah membuat ketakutan kembali menghampiri. Ia mengang

  • Love The Way You Lie   30.1 Aku lelah..

    “Dave, kumohon buka pintunya! Ayo kita bicara! Dave!” seru Bella seraya terus menggedor pintu di depannya. Ia menghela napas lelah, tangannya terasa kebas setelah menggedor-gedor pintu selama beberapa menit. Bella tahu Dave berada di luar ruangan, karena itulah ia terus berteriak hingga membuat tenggorokannya terasa kering. Bella berbalik, ia memandang hampa pada ruangan tempatnya berada kini. Bukan kamar dengan ranjang empuk dan cahaya lampu yang terang, melainkan sebuah ruangan tanpa ada satu pun perabotan dan jendela. Hanya ruangan kosong dengan satu lampu temaram dan sebuah lubang ventilasi kecil, Bella menunduk. Entah sudah berapa hari dirinya berada di sini, Dave benar-benar mengurungnya seperti seorang tahanan. Pintu yang merupakan satu-satunya jalan keluar, tidak pernah terbuka seperti ketika ia dikurung di kamar. Makanan akan tiba di ruangan melalui sebuah lubang yang hanya muat untuk satu nampan, tidak lagi melalui Maid. Bella benar-benar

  • Love The Way You Lie   29.2 Aku bersamamu

    Bella tidak dapat memercayai penglihatannya sekarang, matanya tak pernah lepas pada layar laptop di depannya. Sebuah video sedang di putar, terdapat seorang anak laki-laki dengan seorang wanita berpakaian dokter. Wanita tersebut tampak mengajak bicara anak itu, tetapi respons yang diperlihatkan anak laki-laki itu sungguh membuatnya terkejut.Tanpa diberitahu, Bella dapat menebak bahwa anak itu adalah Dave kecil. Video enam menit itu akhirnya berakhir, Bella masih mencoba mencerna apa yang dirinya lihat tadi. Ia melirik ke arah kertas-kertas yang kini berada dalam pangkuannya, Bella telah selesai membaca beserta dokumen-dokumen lain yang kini tercecer di atas lantai.Tangannya terangkat untuk meraih sebuah foto usang dengan bergetar, foto yang memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah menatap ke arah kamera dengan tatapan hampa. Tanpa sadar air matanya jatuh, lihatlah tubuh yang tampak seperti hanya tulang berbalut kulit.Bahkan perban yang

  • Love The Way You Lie   29.1 Aku bersamamu

    Pemandangan di sore hari ini tampak indah, pantulan cahaya jingga menerpa kaca besar ruangan yang terlihat gelap itu. Bella memandang lurus pada pemandangan langit sore dari balik kaca kamarnya yang membentang luas, sekalipun pandangan itu tidak benar-benar menikmati apa yang tersaji. Di tengah lamunan, suara gemercik air sesekali terdengar dan memecahkan keheningan ruangan itu.Empat belas hari sudah berlalu semenjak kejadian besar itu, hingga saat ini Bella tidak pernah mengetahui kabar Ed. Apakah pria itu baik-baik saja? Bagaimana kehidupannya sekarang? Pertanyaan yang beberapa hari terakhir mengganggu pikirannya itu terus menghantui, Bella bahkan tidak dapat tidur nyenyak.Tidak ada hal berarti yang dilakukannya, setiap hari ia selalu melamun di kursi yang menghadap ke arah kaca. Sudah dua minggu itu pula, Bella terkurung dalam rumah mewah Dave. Pria itu benar-benar tidak membiarkan dirinya melangkah sejengkal pun keluar dar

  • Love The Way You Lie   28.2 Sekeping hati yang dipatahkan

    “Bella!” suara tak asing yang memanggil namanya, sontak membuat Bella dan Ed sama-sama menoleh ke asal suara. Mata mereka membulat, kehadiran Dave dan Clara juga sekitar lima orang pria berbadan besar dalam balutan pakaian serba hitam, mengejutkan mereka. Bella terlebih dahulu berdiri, ekspresi wajahnya berubah panik.“Dave?’ gumamnya. Dave melangkah menghampiri, diikuti Clara dan kelima pria itu. “Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku saat aku sibuk bekerja? Kau mengkhianatiku?!” sentak Dave. Ekspresi dingin yang kentara di wajah Dave, tanpa sadar membuat tubuh Bella bergetar. Karena dibandingkan dengan ekspresi itu, Bella lebih memilih Dave berekspresi marah.“Ed,” suara lirih itu berasal dari satu-satunya perempuan selain Bella. Clara memandang Ed dan Bella bergantian, tatapan mata yang terluka itu sontak membuat Bella diliputi rasa bersalah. Ia mendekat ke arah Clara, kemudian berdiri di depanny

  • Love The Way You Lie   28.1 Sekeping hati yang dipatahkan

    Arah matanya tak pernah lepas dari pintu masuk kedai, tak berapa lama senyuman manis terbit di bibir merah meronanya. Seorang pria dalam balutan mantel hitam tengah mendekat dengan buket bunga di tangannya, senyumnya terukir indah ketika matanya menangkap sang terkasih. “Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” ujar pria tersebut seraya mendudukkan dirinya di depan perempuan itu. Bella menggeleng, senyum tak jua lepas dari bibirnya. “Tak apa, kau pasti sangat sibuk. Eum.. apa bunga itu untukku?” tanyanya seraya menunjuk buket bunga di tangan pria di depannya.Ed terkekeh geli, kemudian mengangguk. “Untuk perempuan istimewa yang menempati seluruh ruang dihatiku,” sahutnya seraya menyodorkan buket berisi bunga anyelir putih. Bella menerimanya, senyumnya semakin lebar ketika menghirup aroma bunga anyelir yang harum. “Terima kasih, Ed. Padahal kau tidak perlu repot-repot membawakannya untukku, kau datang saja aku sudah sangat bahagia.&

  • Love The Way You Lie   27. Hanya kau dan aku

    Cengkeraman kuat pada sabuk pengaman seolah menjadi satu-satunya cara agar sesuatu yang buruk tidak terjadi, sekalipun Bella tahu harapannya itu tidak akan pernah terjadi. Meskipun ketakutan merasuki, ia tidak dapat menghentikan atau setidaknya meminta Dave menurunkan kecepatan mobil. Pria itu tengah kalap, terlihat dari wajahnya yang memerah.Bahkan di saat emosi mengusai, Dave tetap bisa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kendaraan lain mencoba menghindar agar tidak terjadi kecelakaan, tak jarang ada yang menghentikan kendaraannya ketika mobil Dave melintas dengan cepat.Bella sungguh takut, seperti dalam adegan film laga. Dave mengendarai mobil dengan kegilaan, Bella tidak bisa lagi menahan ketakutannya. Ia harus menghentikan Dave, terlebih ketika seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang hampir tertabrak.“Dave, hentikan mobilnya. Sadarlah!” sebisa mungkin dirinya berteriak, meskipun yang keluar hanya seruan yang tercekat. Dave

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status