Share

Pesona Prince Adrien

“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.

“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”

“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”

“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”

“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”

“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. “Kita cuma hiasan.”

“Munafik!” Anne de Collins mengingatkan. “Kalian mengeluh tentang kerajaan sementara kalian sendiri berdiri disini dengan uang kerajaan. Sudah sepantasnya kalian sadar posisi dan tugas kalian. Tidak lain dan tidak lebih, supaya rakyat mengira negeri ini demokratis.”

“Oh ya? Dasar kau si pembela kerajaan?” Glen Moritz meledek.

Beberapa saat kemudian, Adrien lewat di depan mereka. Semua berbaris rapi dan memberi hormat. Pria itu memandangi para anggota Konggres satu per satu. Air mukanya serius. Saat berada dihadapan Glen Moritz, ia menancapkan matanya tajam, “Jangan terlalu cepat menghakimiku, bung. Kau tidak tahu apa yang telah aku lalui.”

Glen Moritz mengangguk perlahan. Adrien beralih mendekati Marie Roose, ia melipat tangannya dengan angkuh, “Berhati-hatilah dengan siapa Anda berbicara, nyonya.”

Marie Roose tak bergeming. Adrien berbalik dengan kesal. Bersamaan dengan itu, Sang Ketua Parlemen dan Menteri Keuangan hadir. Setelah berjabat tangan dan berbasa basi formal, mereka bertiga berjalan beriringan melewati para anggota Konggres, berbelok mekanis di sudut ruangan dan menghilang dibalik dinding. Glen Moritz dan Marie Roose menarik napas lega.

“Ah, biar bagaimanapun juga, Prince Adrien itu sangat tampan!” Anne de Collins girang sendirian. Siapapun yang mendengarnya jadi tersenyum geli. Ya ampun!

*****

Adrien bertemu dengan ibunya di ujung koridor. Sontak saja wajahnya berubah tegang. Lady Earlene mencoba lewat begitu saja dengan pengawal-pengawalnya, namun lelaki itu menahan.

“Kau berkeliaran di gedung parlemen tapi kau tidak menghadiri rapat?” Adrien tak habis pikir. “Mau kemana kau, Ratu?”

“Berhentilah mencampuri urusanku!” Lady Earlene terperanjat. “Aku memberikan Gavin Marshall ruang, kalau aku datang, maka dia tidak seharusnya datang. Ini hanya trik.”

“Tapi kau tidak mencoba untuk memanfaatkannya bukan?” Adrien mengantisipasi. “Mau kemana, mama?” Adrien melunakkan cara bicaranya.

“Kau ingin menemui dia lagi?” lanjutnya ketika Lady Earlene tak kunjung menjawab. “Bukankah sangat berbahaya jika kau menemuinya?”

“Sudahlah,” Lady Earlene mengeluh. Dengan sangat anggun, ia tersenyum penuh kekesalan pada anaknya. Kemudian, ia mengatakan hal yang biasa ia katakan kepada Adrien, betapapun ia menyayangi anak semata wayangnya itu.

“Ada hal-hal yang tidak kau mengerti, sayang. Tapi tidak apa-apa, karena itu bukan urusanmu.”

Adrien membisu. Lady Earlene dan pengawal-pengawalnya berjalan melewati Adrien, melanjutkan perjalanan dan meninggalkannya sendirian.

***

Decit suara mobil nyaring menggesek jalanan, berhenti tepat di depan pintu istana utama. Adrien keluar dari La Ferrarinya dan langsung disambut sejumlah petugas dengan hormat. Ia terus berjalan tegak menuju ruang tengah, diikuti oleh Carter dan beberapa pelayan istana.

“Apa Lady Earlene sudah kembali?” tanyanya sambil melepas jas hitamnya dan memberikannya kepada Carter. Pelayan itu menggeleng. Adrien menghela napas dan terduduk di sofa. Ia sedikit mengendurkan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya, membuatnya tampak sedikit berandal. Tapi disitulah daya tariknya; Sang Pangeran berambut emas yang nampak brutal. Beberapa pelayan wanita lewat di dekat Adrien, pura-pura mengelap sesuatu untuk kemudian kembali ke dapur dan kegirangan melihat pesona Adrien yang sedang lelah.

“Oh ya ampun, jarang-jarang Prince Adrien berkunjung ke istana utama, hari ini benar-benar anugrah!” seru Gina. Rodrigue ikut tertawa. Isadora, si anak baru, sama sekali tidak mengerti. Selama ini ia hanya melihat Adrien dari surat kabar atau televisi, itu pun tidak banyak. Adrien selalu digambarkan sebagai sosok baik yang diidamkan semua orang, tapi juga sulit digapai. Seakan-akan mestilah seorang putri dengan kecantikan luar biasa yang mampu menggaet sang Pangeran, seperti layaknya cerita negeri dongeng. Tetapi sejak awal, bahkan sejak kemunculannya di media nasional hingga kemarin ketika Adrien menjamu Gavin Marshall, Isadora merasa pria itu sebenarnya biasa-biasa saja.

“Kemarin kalian bilang dia kasar suka bertengkar dengan Lady Luna. Sekarang kalian memuji-muji ketampanannya.” Isadora tak habis pikir.

“Heh, permasalahan dia dengan Lady Luna dan ketampanannya adalah dua hal yang berbeda,” Gina tak terima.

“Kau hanya belum pernah berbicara dengannya,” Rodrigue menerangkan. “Dia memang agak nakal, tapi itulah yang disukai para gadis.”

“Aku takut dia tidak bisa memperlakukan wanita dengan baik.” Isadora ceplas-ceplos. “Kalian seperti melihat monster di depan mata, dan kemudian jatuh cinta! Tidak masuk akal!”

“Sejak kapan cinta masuk akal, heh?” Rodrigue menyiapkan segelas jus melon di atas nampan dan memberikannya kepada Isadora. “Antarkan ini padanya.”

Sontak pelayan lain bersungut-sungut, riuh rendah keributan berkumandang.

“Astaga, kemarin kalian bilang Lady Luna yang terbaik?”

“Hidup Lady Luna!” Gina bersorak. “Tapi Prince Adrien adalah putra mahkota dan dia tampan dan aku perempuan. Aku menyukai Lady Luna, tapi tentu aku hanya tertarik dengan laki-laki!”

Semua terbahak-bahak.

*****

Dengan terpaksa, Isadora berangkat mengantarkan segelas jus melon kepada Adrien, sesosok pria yang tengah berlelah-lelah di atas sofa. Jarak antara ruang tengah dan dapur begitu jauhnya, melewati berbagai ruangan, koridor berkelok-kelok dan pengecekan berulang-ulang. Isadora merasa tengah membawa baki bendera, begitu sakral dan khidmat. Semua prajurit yang berjaga di istana memperhatikannya, menyuruhnya berhenti, mengecek minumannya, lagi dan lagi, terus sampai ia melihat sosok Adrien dengan kemeja putihnya. Rambut emasnya berantakan dan tubuhnya berkeringat, menyeruakkan aroma laki-laki yang khas. Isadora membungkuk di hadapan The Duke of The Young Majesty of Alegra.

“Taruh disitu,” kata Adrien, suaranya dalam dan dingin. Isadora patuh, meletakkan segelas jus melon di atas meja dengan hati-hati. Adrien mengangkat kakinya dan meletakkannya di atas meja.

“Pijat kakiku,” perintahnya lagi, lebih dingin. Perempuan itu merunduk hormat. Pelan-pelan sekali, tangannya memijit. Dari tempurung hingga ke mata kaki. Dari mata kaki ke tempurung. Terus bergiliran. Waktu berjalan tanpa suara.

“Kau pelayan baru?”

Tiba-tiba pertanyaan itu mengagetkan Isadora. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati Adrien sedang memandang dirinya. Mata birunya menusuk dalam. Sesuatu di dalam jiwa Isadora mendadak bergejolak kencang. Pandangannya...

“Siapa namamu?”

Pertanyaan itu terdengar seperti lecutan. Isadora menjawab dengan terbata-bata. Tapi Adrien tidak mendengarkan dan langsung mengalihkan matanya kepada Carter yang datang sambil membawa gagang telepon.

“Ini tentang kelompok Rebelution,” kata William, dari seberang telepon.

“Ya?” Adrien mengerang. Kemudian terjadi percakapan satu arah manakala William terus bercerita dan Adrien mendengarkan dengan berang. Wajahnya merah padam. Ketika telepon selesai, ia membantingnya, membuat Carter dan Isadora terkejut bukan main. Carter lalu mengambil gagang telepon yang tergeletak di lantai itu dan dengan gemetaran, ia permisi pergi. Sementara Isadora, tetap memijit kaki tuannya dalam ketakutan. Waktu berjalan tanpa suara lagi. Di dalam hati, secara ganjil Isadora merasa dikecewakan.

Adrien menarik kakinya ke bawah meja. Ia tampak gelisah. Dengan isyarat tangan, bahkan tanpa memandang wajahnya, ia menyuruh Isadora pergi. Maka, gadis itu bangkit dan mengangguk pergi. Di tikungan, ia melirik sebentar ke arah Adrien. Pria itu tidak memandangnya lagi, pikir Isadora. Sekali lagi, secara aneh, hatinya mendadak sedih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status