Share

Luna Dan Gavin

Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.

“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.

“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-buat.

Gavin Marshall mengangguk, “Aku ingin berkeliling istana sebentar, Ratu, sudah lama aku tidak menikmati udara malam Great Alegra.”

“Oke, baiklah. Bersenang-senanglah.”

“Terima kasih.”

“Alexa!Linda!Biarkan dia sendirian!” bentak Lady Earlene saat melihat Alexandrina dan Linda bergerak mendekati Luna yang masih tersungkur di lantai. Seketika, kedua gadis itu segera berlari mendekati Lady Earlene dan menunduk lemah penuh kepatuhan.

“Kami akan tidur di Kastil Pribadiku,” ujar William sambil memegang jemari wanitanya, Linda. Dalam beberapa detik, mereka telah menghilang dibalik dinding-dinding istana. Mabuk dan malam akan melarutkan mereka dalam gairah panas cinta. Oh sepasang tunangan yang bahagia.

Adrien juga izin kepada Sang Ratu untuk menuju Kastil pribadinya. Tetapi saat sampai di gerbang pintu, ia melempar kunci mobil kepada Carter dan menyuruhnya ngebut mencari bar dan rumah bordil. Adrien sudah terbiasa melakukan. Ia memang begini. Carter mengelus dda, berusaha untuk terus bersabar.

Lady Earlene, Alexandrina, dan Frederich tetap tinggal di istana utama. Naik satu-dua lantai, mereka membuka gerendel pintu dan hanyut dalam mimpi masing-masing.

Sekarang tinggal Luna dan Gavin berdua.

***

“Luna...” Gavin bersua lemah lembut. Luna tidak menoleh. Gavin mendekat, tangannya memegang pundak Luna yang naik-turun oleh tangis.

“Jangan bersedih,” lanjutnya, seakan mengerti penderitaan Luna.

“Diamlah!” bentak Luna. Ia menghempaskan tangan Gavin. “Kemarin, kau meninggalkanku. Sekarang, kau mengorbankanku. Aku tidak tahu ide busuk apa lagi yang akan kau rencanakan padaku?"

“Bukan begitu, Luna...” kata-kata menggantung di bibir Gavin.

Mendengarnya, Luna menjadi semakin sedih. Ia mencoba berdiri dan menghapus air matanya sendiri. Gavin menarik tangan Luna, menahannya untuk pergi.

“Duduklah sebentar, ada beberapa hal yang harus aku katakan padamu.”

“Apa?”

“Ini tentang rencana ke Asrama Honeysuckle...”

“Oh,” potong Luna. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Apapun yang aku katakan, tidak pernah didengar. Jadi berbuatlah sesukamu. Sesungguhnya aku tidak berarti bagi keluarga ini.”

Gavin terhenyak. Diam.

Diusapnya pipi Luna, namun aliran itu semakin deras. Luna menghempaskannya.

“Kemarilah, Luna,” bujuk Gavin, lembut sekali.

Tapi Luna tidak peduli. Ia bangkit dan duduk di samping meja. Posisinya agak kacau tapi ia tidak memusingkannya. Dengan sekali sergapan, ia menuang anggur ke dalam gelas pialanya dan meminumnya seperti orang yang tidak pernah minum sebelumnya.

Hening. Sekali lagi, Gavin terdiam.

*****

“Oh...” keluh Gavin, setelah melihat Luna meminum anggur bergelas-gelas tanpa berhenti. Caranya minum yang tampak ganas dan frustasi, membuat Gavin prihatin. “Kau tahu anggur-anggur itu tidak akan menyelesaikan masalahmu, huh?” lanjutnya, sedih.

Luna tidak menjawab. Ia terus saja menuang anggur di gelasnya.

“Berhentilah,” tegas Gavin, seraya menarik gelas yang dipakai Luna.

Dengan sempoyongan, Luna menoleh ke arah Gavin. Tatapan bencinya begitu menusuk. Ia tarik lagi gelas yang lain dan mulai menuang lagi anggur di gelasnya. Ia minum lagi.

“Tidak! Berhenti kataku!” bentak Gavin, menarik lagi gelas yang dipakai Luna. Gadis itu menarik balik. Gavin menghempaskannya.

“Apa maumu?!” teriak Luna. Mukanya merah padam. Suatu kontras warna dari wajah aslinya yang memiliki pipi kemerahan, ditambah dengan mabuk dan kemarahan yang tak terkendali di dirinya.

“Oh kau kacau sekali,” Gavin mengeluh. Dengan terpaksa, ia mendekap Luna yang sempoyongan. Gadis itu meronta-ronta, tapi mabuk telah membuat segala kekuatannya lemah tak berdaya. Gavin mengangkatnya paksa, membopong tubuhnya ke dalam kamar. Luna menjejak-jejakkan kakinya ke udara, mencoba melawan dengan kesadarannya yang setengah tersisa.

“Apa yang kau lakukan!” bentaknya.

“Diam dan tidurlah, Lady Luna!” jawab Gavin, agak keras. Ia meletakkan gadis berambut merah itu di kasur dan menyelimutinya.

Malam semakin lisut, Luna terlelap di pelukan Gavin, persis saat kecil dulu. Gavin meletakannya di kasur dan menyelimutinya. Ia mendekap sang gadis erat sembari meredakan teriakan dan geliat tubuhnya yang meronta-ronta. Setelah agak lama berlalu, akhirnya Luna tertidur.

*****

Gavin beranjak ke sofa berwarna merah yang lebarnya tak kurang dari dua meter, di dekat sebuah cermin berukir emas dan meja rias yang harum peliturnya masih sangat kuat, tak jauh dari ranjang Lady Luna. Bahkan sofa kerajaan pun terasa lebih nyaman daripada tempat tidur orang awam. Gavin menyelimuti dirinya sendiri.

Dari sisi sini, Gavin dapat melihat teduh jelita wajah Luna yang terpejam. Garis wajahnya yang halus mampu membuat semua orang menerka bahwa gadis cantik itu tentulah berhati lembut, bahkan sangat lembut. Rambut merahnya yang panjang, terurai berantakan menelusuri lekuk wajahnya. Bibir tipis semerah delima. Seluruh detail di tubuhnya memiliki aura kecantikan sendiri yang sangat natural. Meski saat ini ia terlihat begitu lelah dan ada lebam di kantung matanya akibat air mata yang senantiasa merembes sangat lama, Luna tetap mempesona.

Gadis ini, pikir Gavin, usianya tak lebih dari dua puluh tahun. Namun apa yang mesti dihadapinya sebagai seorang Putri jauh melampaui gadis seusianya. Gavin sendiri sudah berusia sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, kira-kira apakah yang ia lakukan waktu usianya dua puluh? Gavin mengenang masa-masa itu dan betapa waktu telah bergulir sangat cepat. Ia tersenyum sendiri. Ia tak pernah sekuat Luna, gumamnya. Pernyataan itu, entah bagaimana, membuat dirinya lega.

Menjelang pagi, langit mulai menyiratkan warna kebiru-biruan tua meski gelapnya masih tertahan oleh sebagian semburat hitam. Subuh yang sempurna. Hujan yang telah berhenti sejak semalam kembali berdengung dan menjatuhi bumi dengan rintik-rintik. Bau tanah menyeruak, harum tanah basah. Hawa dingin merangsek, tersambar-sambar angin pagi. Gavin menarik selimutnya lebih erat. Setelah sekian lama terjaga, akhirnya hujan membawa pikirannya hanyut, membuat matanya terasa berat. Pada suatu titik, ketika deru kendaraan mulai bersiul menyaingi suara hujan dan lonceng-lonceng gereja berdentang di ujung seberang, Gavin baru benar-benar bisa berkelana ke kelembutan angin dan lembah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status