Lelaki tampan itu langsung bergidik. Dia merasakan bulu kuduknya berdiri dan sangat merinding.
"Aku kali ini benar-benar merinding Satriyo ...."
Suara Lazuarrdi terdengar lirih dan serak.
"Memangnya yang Mas Ardi lihat apa?"
"Sosok wanita itu ikut mobil kita. Apa dia terbawa oleh pedang samurai itu?"
"Bisa saja, Mas."
Tampak Lazuarrdi berpikir keras. Dia harus bisa segera sampai ke rumah sang kakek. Tak peduli sosok wanita itu mengikuti atau tidak.
"Kita jalan lagi!"
"Ja-jalan, Mas?"
"Iya. Jangan kalah dengan keberadaan wanita itu!"
"Ta-tapi, Mas?"
Dia menoleh ke arah Satryo. Menatap tajam tanpa jeda sedetik pun. Membuat Satriyo tak berani membalas tatapannya.
"Kenapa? Masih takut juga?"
"Ehhh ... enggak, Mas."
"Ya, sudah kalau gitu. Kita berangkat sekarang!"
"Baik, Mas."
Mobil pun segera meluncur kembali. Malam ini memang benar-benar lengang. Sesekali Satriyo membunyikan klaksonnya. Apalagi kalau sedang berada di tikungan atau jalan lurus tanpa batas.
Tak lama kemudian. Mobil mereka mulai memasuki gapura sebuah kecamatan. Jalan beraspal yang cukup lebar, masih terlihat sama. Sepi dan sunyi.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam satu, Mas."
Dari kota kecamatan mobil terus melaju lurus menuju sebuah desa Gandu. Yang berada di dekat sebuah air terjun. Perjalanan mulai sedikit menanjak. Dengan jalan yang berkelok walau tak terlalu tajam.
Penerangan jalan semakin menghilang. Tak ada satu penerangan pun yang terlihat.
"Apa benar ini desanya, Mas?"
Lazuarrdi menoleh pada Satriyo, dengan kesal. Raut wajahnya terlihat berang. Salah satu alisnya sampai terangkat ke atas.
"Bukannya kamu sudah berulang kali ke sini?!" sentak Lazuarrdi.
"Ehhh ... ehhh, iya Mas. Sangking sepinya saya takut kalau ini jalan yang salah."
"Ikuti jalan yang lurus!"
"Ba-baik, Mas. Maafkan saya."
Suasana kanan kiri jalan hanya terlihat pepohonan. Saat jalan menikung cukup tajam. Tiba-tiba Lazuarrdi terhenyak. Dia seperti melihat sosok wanita yang berpakaian hijau.
"Hijau ...?"
Seketika lelaki tampan itu, teringat wanita yang sering hadir dalam mimpi. Tak hanya dalam mimpi, terkadang dia menampakkan diri. Bahkan sampai bisa meraba dirinya.
"Haaahhh!" Lazuarrdi menghela napas panjang.
Satriyo yang takut tersesat, langsung menghentikan mobil di pertengahan pertigaan jalan.
"Kalau ada orang yang menabrak kamu, di tengah jalan ini. Jangan salah kan! Karena kamu yang salah!"
"Ma-maafkan saya, Mas. Kepala saya jadi pusing. Saya sampai lupa jalannya."
"Parah kamu, Sat! Coba ambil jalan naik ke atas itu!"
"Ba-baik, Mas. Enggak tau kenapa saya kok jadi gini."
Semakin jalan bertambah naik. Mereka hanya menemukan perkebunan dan pepohonan hutan yang lebat. Sesekali tercium aroma rebusan singkong dan sayur yang terhembus. Hingga memenuhi mobil.
"Kita ini di mana, Satriyo?"
"Saya juga enggak tahu. Sepertinya kita tersesat."
"Ahhh! Payah kau!"
Satriyo menghentikan mobil mereka. Aroma rebusan itu semakin melesak tajam. Tercium kuat di hidung mereka.
"Bau ini--"
Sengaja Lazuarrdi tak meneruskan perkataannya.
"Sebaiknya kamu putar balik. Sangat jelas kita tersesat."
Satriyo hanya mengangguk. Dia merasa bersalah. Jalan ini benar-benar menjadi asing baginya.
Saat mobil dalam posisi menghalangi jalan. Mereka seperti melihat sekelabat bayangan hitam yang melintas di atas mobil mereka.
"Apa tadi? Apa kamu melihatnya Sat?"
Hening tak ada jawaban.
"Satriyo!" bentak Lazuarrdi.
Dia langsung menoleh pada sopirnya. Yang terpaku dengan pandangan lurus ke depan. Membuat Lazuarrdi heran dan aneh. Perlahan dia menyentuh lengan Satriyo.
Gerakannya begitu lambat, saat melihat pada Lazuarrdi. Tatap mata Satriyo terlihat kosong dan hampa. Begitu dingin bagai tak ada kehidupan di dalamnya.
"Ka-kamu, oke Satriyo?"
Lelaki muda yang seumuran dengan Lazuarrdi itu mengeleng lemah. Lalu tangannya bergerak ke arah jendela depan mobil. Dia melihat dengan jelas, sosok wanita berbaju kimono tanpa kepala tengah menghadang mobil mereka.
Deg!
Jantungnya serasa berhenti berdetak. Dengan kedua mata yang membulat lebar. Lazuarrdi hanya bisa terpaku mematung. Tak ada kata yang mampu terucap. Manakala dia melihat, di belakang sosok wanita yang membawa kepalanya sendiri. Ada bayangan hitam. Yang seolah tengah memeluk sosok wanita jepang itu.
"Sat ... Satriyo! Tancap gas sekarang!" Seraya memukul keras lengan sopirnya itu. Bahkan Lazuarrdi mendorong Satriyo hingga kepalanya membentur jendela.
Namun, lelaki itu hanya terdiam. Tanpa memberikan respon sama sekali pada majikannya. Lazuarrdi terlihat kebingungan. Hanya satu yang terpikirkan saat ini. Menekan klakson dengan kencang dan berulang-ulang.
Tiiin ... tiiiin .... tiiin!
Hingga sebuah cahaya yang bersinar terang membuat dirinya begitu silau. Lazuarrdi sampai mengangkat sebelah tangan. Untuk menghalangi sinar itu, sampai pada bola matanya.
Tiba-tiba ....
"Onegaishimasu! Tolong ... tolooong!"
Terdengar suara seorang wanita yang berteriak kencang. Tak jauh dari tempat dirinya saat ini. Lazuarrdi pun sungguh terkejut. Saat melihat dirinya sudah berada di sebuah hutan yang sangat lebat.
"Di mana aku ini?"
Dan ....
"Watashi o tasukete! Tolong aku!"
Suara teriakan wanita itu kembali terdengar. Membuat Lazuarrdi semakin kelabakan. Dia hanya mendengar banyak sekali suara teriakan dan jerit histeris permintaan tolong.
"Satriyo, di mana kamu?!"
Saat dia mencoba mengedarkan pandangan ke sekitar. Lazuarrdi melihat sosok wanita yang sangat cantik. Berpakaian kimono hijau dengan riasan yang cukup tebal. Tengah memandang ke arahnya.
Wanita itu tersenyum lebar. Perlahan senyuman itu menghilang dari wajah cantiknya. Jemari tangan bergerak menurunkan pakaian kimono hingga sebatas dada. Membuat desir lembut yang aneh pada Lazuarrdi.
Tiba-tiba, tanpa disadari siapa pun. Dari arah belakang. Sosok bayangan hitam seolah merangkul dan memeluknya. Jemari runcing menghitam, melukai tubuh putih mulus wanita itu.
Darah segar mengucur deras. Tak hanya itu. Lazuarrdi bagai disuguhkan pemandangan yang mengerikan. Saat kuku-kuku tajam itu, mulai melukai leher dan wajah sang wanita.
"Hentikan!" teriak Lazuarrdi.
Seketika sosok makhluk hitam, tinggi besar itu menghentikan perbuatannya. Mereka berdua menoleh pada lelaki tampan itu. Hanya sekali hentak. Sosok wanita Jepang sudah berdiri di hadapan Lazuarrdi.
Tatap matanya tajam. Hingga dia bisa merasakan aura yang sangat hitam tengah menyelimuti sosok wanita Jepang ini. Saat Lazuarrdi memberanikan diri, melihat ke arahnya.
Bola mata yang putih, berubah perlahan menghitam. Tetes air mata darah kehitaman mengalir membasahi wajahnya.
Seketika itu, dadanya terasa sesak. Lazuarrdi kehabisan oksigen untuk bernapas. Dia merasa sorot mata itu, bagai mencekik lehernya.
"Aaaahhh!"
Kedua tangan Lazuarrdi bergerak ke arah leher. Berusaha menahan sesuatu yang seperti merambat dan menekan dirinya saat ini.
"Si-siapa ... kau?" Suara Lazuarrdi terdengar lemah.
Tarikan napasnya semakin cepat. Tersengal-sengal, saat dia mulai kehabisan napas. Hingga semua menjadi gelap gulita. Sampai sebuah panggilan membangunkan dirinya.
Seperti sesuatu yang terus mengguncang tubuhnya keras.
"Mas ... Mas Ardi! Bangun, Mas!"
***
Wow! Penasaran enggak nih?
Ikuti juga cerita yang lain KUKU BU SAPTO dan ELEGI WANITA KEDUA.
"Mas ... Mas Ardi! Bangun, Mas!"Lazuarrdi mengerjapkan mata hingga beberapa kali. Penglihatannya menangkap sebuah bayangan yang masih samar. Sampai dia benar-benar tersadar dan menyadari siapa yang berada di dekatnya."Satriyo? Kamu ... Satriyo 'kan?""Iya, Mas. Ini aku Satriyo."Dia menyodorkan sebotol air mineral."Minumlah dulu, Mas!"Walau di dalam mobil memakai AC, akan tetapi wajah dan tubuh Lazuarrdi benar-benar berkeringat. Dia mencekal lengan Satriyo dan menatap tajam ke arahnya."Di mana kita sekarang?""Masih tersesat, Mas. Ini kita mau turun.""A-pa kamu lihat wanita itu lagi?"Satriyo menggeleng."Bukannya kamu tadi menunjuk arah depan dan melihat wanita itu?"Untuk yang kedua kalinya Satriyo menggeleng."Ja-jadi--""Saat mobil tadi berbelok. Mas Ardi bilang melihat bayangan hitam melintasi mobil kita. Dan setelahnya Mas Ardi diam kayak patung.""Kamu tak melihat ap
Wanita tua itu mengangguk."Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?""Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan.""A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?" Suara Sulasih terdengar lirih. Bahkan Lazuarrdi harus mendekatkan telinganya di bibir sang nenek."Baru saja Ardi melihat dia Eyang. Sewaktu perjalanan ke rumah nenek. Makanya sampai saya kemalaman.""Kamu tersesat juga?""Eyang kok bisa tahu?"Wanita tua itu, menghela napas panjang. Seperti ada beban yang ingin dia luapkan semua. Lalu Sulasih merebahkan tubuhnya."Apa pedang samurai itu ingin kamu kembalikan lagi ke sini?""Kalau Eyang memperbolehkan.""Haaaahhh! Kalau kau ingin Eyang segera mati. Taruhlah lagi di sini.""Apa maksud Eyang bicara seperti ini?""Tidurlah, Ardi! Besok pagi kita bicara lagi."Sepintas dia melihat pada tubuh sang nenek yang tidur meringkuk membelakangi. Lazuarrdi pun meny
Suara itu terus berulang di telinga."Kamu siapa? Perlihatkan dirimu sekarang?""Ikutlah aku, Kang Mas!""Haaaahhh?!"Lazuarrdi hanya bisa terpaku saat melihat seorang wanita sangat cantik. Rambutnya panjang terurai. Mengenakan kebaya hijau tua, dipadu kain jarik. Sangat serasi dan terlihat anggun menawan. Membuat Lazuarrdi semakin terpesona."Ka-kamu ini siapa? Kok bisa tiba-tiba datang ke kamar aku?""Namaku Karmila.""Nama yang indah dan sangat cantik."Wanita itu tak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia cenderung dingin dan kaku. Langkahnya bak putri keraton, gemulai dan penuh etika saat melenggok."Karmila ... maaf, siapa kamu ini sebenarnya?"Tetap saja wanita cantik itu terdiam. Dia terus menyusuri jalanan yang sepi dan lengang. Diikuti oleh Lazuarrdi."Kita ini mau ke mana Karmila?"Dia menoleh sekilas pada Lazuarrdi. Lalu mengalihkan pandangan matanya kembali lurus ke depan. L
Tepat di depan mata. Lazuarrdi menyaksikan pemandangan brutal yang dilakukan para serdadu Jepang pada Karmila. Mereka memperlakukan dengan beringas. Menggagahi tanpa ampun. Seperti mereka tak pernah melihat seorang wanita. Saat itu, ingin rasa hati Lazuarrdi membunuh mereka satu persatu. Namun apa daya. Tubuhnya bagai berada di ruang dan waktu yang berbeda. Akan tetapi, mengapa hujan yang dirasa sungguh nyata adanya. Sinar mata Karmila meredup. Hingga akhirnya dia terkulai lemas. Para prajurit Jepang itu, bagai anjing yang kelaparan. Disuguhkan daging mentah yang segar dan langsung disambar tanpa sisa. "Karmila ... Karmila!" teriak Lazuarrdi. Malam itu terdengar suara teriakan Lazuarrdi yang sangat kencang. Memecah keheningan malam. Membuat semua penghuni rumah terbangun. "Lazuarrdi ... bangun!" teriak Eyang Uti, yang sudah berdiri di ambang pintu. Tak lama, Satriyo sudah menyusul ke kamar tuannya. Begitu juga dengan pelayan Sulasi
Kedua tangan Lazuarrdi mengepal erat. Napasnya naik turun dengan cepat, menahan kemarahan. Dia mendengkus kasar. Lalu mengalihkan pandangan pada Satriyo yang hanya bisa tertegun mendengar cerita Lazuarrdi. "Jadi, wanita itu mati Mas?" "Aku enggak tau, Sat. Hanya sampai dia diperkosa, terus aku dengar suara kalian yang sudah ramai." "Bisa saja akhirnya dia mati dan penasaran. Iya kan, Mas?" "Bisa juga seperti itu, Sat. Hanya saja foto ini ...." Lazuarrdi terus memandang sosok wanita yang mirip dengan Karmila. Yang dia lihat dalam mimpi. Lalu bergegas dia keluar kamar. Meninggalkan Satriyo yang masih terpaku melihat tuannya. "Mau ke mana Mas?" "Ikutlah!" Satriyo pun mengikuti langkah Lazuarrdi. Mereka berdua menuju ruang belakang. Ruangan yang berada tepat di depan sentong tengah. Lalu Lazuarrdi berhenti tepat di depan cermin kuno yang berbentuk oval. Tepat di atasnya tempat pedang samurai itu diletakkan. La
Lazuarrdi menggeleng. Seakan tak memercayai apa yang dikatakan oleh sosok itu pada sang nenek. "Tak mungkin dia bisa membunuh Eyang!" Wanita tua itu menatap tajam dengan sorot mata yang berkilat. Seakan kesal dan geram dengan sikap Lazuarrdi. Yang menganggap ceritanya hanya kebohongan belaka. "Kamu tak percaya?" sentak sang Nenek. "Bagaimana mungkin ada seorang hantu yang mengancam untuk membunuh, Eyang? Ini buat aku terlalu janggal dan aneh." "Lalu bagaimana dengan penampakan dan gangguan yang sering menghantui kamu? Apa hanya bualan kamu saja?" Lazuarrdi langsung terdiam. Apa yang dikatakan sang nenek ada benarnya. Akan tetapi dia tak mau ambil pusing dengan pedang yang misterius itu. "Kenapa kamu diam? Pasti kamu memikirkan tentang pedang itu juga. Iya 'kan?" "Maafkan aku, Eyang. Bukannya tak mau percaya dengan apa yang dikatakan Eyang. Hanya saja, aku benar-benar tak ingin membawa lagi pedang milik Kakung ini."
Sepintas dia seperti medengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi lirih. Sontak Lazuarrdi menghentikkan aktivitas mandi yang dia lakukan."Suara ... siapa tadi?" Lazuarrdi berbisik lirih. Namun suara bersenandung itu tak lagi terdengar. buru-buru Lazuardi menyelesaikan mandinya.Saat memakai handuk. Kembali Lazuarrdi mendengar senandung yang terasa asing dan aneh di telinga. Sebuah lagu yang tak dia kenal sama sekali.Seketika itu dia merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi dengan telinga yang menempel. Dia bermaksud untuk bisa lebih jelas mendengar suara yang samar-samar.*Bekerdja! Bekerdja! Bekerdja!Tiada satoe doedoek termenoeng. Kaoem nelajan melajar laoet.Melawan badai ombak gemoroeh. Semua nelajan giat gembira.Tenaga pekerdja tegoeh bersatoe.
Terlihat kalau wanita tua itu mencoba mengingat sesuatu. Dahinya mengernyit. Dia berusaha keras untuk mengingat lagu yang seperti tak asing di telinga. "Aku seperti pernah mendengarnya. Tapi, di mana ya?" "Serius Eyang pernah mendengar?" Raut wajah Lazuarrdi tampak serius. Sampai kedua alisnya bertaut. Dengan dahi yang berkerut keras. "Iya, tapi aku lupa di mana. Apa masa kecil aku atau--" Sulasih geleng-geleng. Sulit baginya untuk bisa mengingat. Akan tetapi dia merasa pernah mendengar. "Bekerja ... bekerja?" ulang Sulasih. Tampak dahi keriputnya mengernyit. "Ini seperti lagu saat Eyang masih kecil dulu. Lagu jaman Nippon." "Jaman Nippon? Berarti waktu penjajahan Jepang dulu Eyang?" Wanita tua itu mengangguk. "I-iya, waktu itu di SR wajib bisa menyanyikan lagu ini. Dan saat itu para Nippon disambut baik oleh semua masyarakat kita. Tak tahunya mereka lebih kejam dari Belanda. Tak ada penjajah yang baik. Semua me