Share

Pesta

Alena membuka sebuah laci di dalam lemari dan mengeluarkan sebuah box berisi perhiasan, kemudian memilih mana yang akan dia pakai. 

Rasanya dia ingin menghindar, tapi semua karyawan diwajibkan datang. Pak Dirut ingin menjamu semua karyawan sekaligus meresmikan pertunangan putrinya.

Tangan mungil itu mengambil sebuah kalung bermata berlian lalu memakainya. Terlalu penuh dan tidak cocok dengan gaun yang akan dia pakai nanti, lalu dia meletakannya kembali. 

Kemarin sore, Alena pergi ke butik langganan di salah satu mall. Hampir satu jam melihat, akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah dress berwarna biru selutut dengan lengan panjang. Bordiran cantik di bagian leher itu yang membuatnya jatuh hati.

Alena tak mau berpenampilan seksi kali ini. Bahaya kalau sampai Adam menggodanya di depan orang banyak. Di kantor saja laki-laki itu tak tahu malu. 

Temannya juga batal pergi bersama karena akan pergi bersama orang lain. Sehingga Alena akan datang sendirian. Tak mengapa, sesampai di sana dia akan menyetor muka, bersalaman, mengucapkan selamat, setelah itu kabur.

"Kayaknya yang ini aja cocok." 

Wanita itu mengambil sebuah anting putih dan gelang berlian dengan warna senada dan memakainya. Pas sekali. Lalu setelah itu, dia memakai gaun dan mulai berdandan. 

Tidak perlu ke salon, Alena akan berpenampilan sederhana dan natural. Hanya saja, rambut yang biasa digelung saat berangkat bekerja akan digerainya. 

Setelah menyemprotkan parfum di beberapa bagian tubuh, dia mematut diri di depan cermin. Perfect. Dia memang cantik!

Alena keluar kamar dengan sedikit terburu-buru karena takut terlambat, dan kembali lagi mengambil cluth berwarna silver karena lupa. Aduh, mengapa dia jadi gugup begini?

"Mau kemana Mbak Alen?" tanya Yoga, penghuni sebelah apartemennya yang masih bujangan dan tidak ganteng-ganteng banget. Kebetulan sekali mereka keluar bersamaan, seperti di adegan film atau sinetron. 

"Kondangan. Ada teman mau tunangan," jawabnya.

"Loh, kok sama?" tanya laki-laki itu heran.

"Memangnya Mas Yoga dimana tempatnya?" tanya Alena penasaran.

Laki-laki itu mengambil sebuah undangan dari balik saku jas dan menyebutkan nama sebuah hotel. Alena menutup mulut tak percaya. 

"Kenapa?"

"Sama. Saya juga mau pergi ke sini. Semua karyawan wajib datang. Pak Dirut punya gawean buat anaknya," kata Alena menunjuk sebuah nama di yang tertera di undangan itu. 

"Oh, Mbak Alen kerja di situ?" 

"Baru satu bulan ini. Sebagai karyawan baru saya harus datang, dong," jawabnya. 

"Kalau gitu bareng saya mau gak?" tawar Yoga. 

Sejak awal pindah setahun yang lalu, dia memang sudah naksir dengan wanita yang satu ini. Hanya saja Alena begitu sibuk sehingga susah didekati. Mungkin hari ini memang rezeki sehingga mereka bisa betemu dan berbincang. 

Alena menimbang sebentar lalu menjawab, "Boleh, deh."

Mereka berdua berjalan bersisian menuju lift. 

"Adam itu salah satu kenalan saya. Pernah kerja bareng satu proyek," jelas Yoga. Ketika lift terbuka, mereka segara masuk. 

"Oh, ya?" Alena terkejut mendengarnya. 

"Dengar-dengar dulu pernah nikah tapi gagal. Orangnya baik, suka bercanda. Cuma agak tertutup soal pribadi. Jadi kami gak berani tanya," lanjut Yoga. 

"Oh begitu," Alena berpura-pura tidak tahu.

"Kata teman-teman sih dia patah hati berat pas dicerai istri pertama. Sayang banget kayaknya. Sampai dikenalin sama banyak cewek tapi gak mau. Nah baru setahun ini kenalan sama Cintia terus cocok dan mereka mau nikah."

Alena terdiam mendengar penuturan Yoga. Apa benar Adam sesayang itu kepadanya?

"Silakan, Mbak."

Yoga menyuruh Alena keluar duluan saat pintu lift terbuka. Mereka berjalan menuju parkiran. Mata wanita itu terbelalak saat melihat mobil Yoga. Sebuah Toyota Fortuner berwarna hitam terpakir di sana. 

"Silakan." Laki-laki itu membukakan pintu mobil. 

Alena yang tadinya cuek kini berubah menjadi manis. Tidak masalah kalau Yoga memiliki wajah standar, yang penting dia punya tunggangan mahal. 

"Kamu kerja di mana, sih?" tanya Alena penasaran. 

Tadinya dia tak terlalu perduli dengan tetangga yang satu ini, secara penampilan biasa saja. Beberapa kali berpapasan, Yoga hanya memakai kaus dan sandal jepit. 

"Usaha, Mbak," katanya santai.

"Usaha apa? Sembako?" tanya Alena asal. 

Yoga tergelak. Matanya mengerling wajah cantik itu, yang selama ini sudah membuat degup jantung berdetak hebat setiap kali bertemu.

"Properti, Mbak."

"Punya sendiri?"

"Kecil-kecilan," jawabnya santai.

Alena melengkungkan senyum manis. Kenapa selama ini dia tidak menyadari bahwa ada tambang emas didekatnya?

Mereka kemudian berbincang tentang banyak hal. Alena sengaja memancing dan memberikan banyak pertanyaan mengenai pasangan laki-laki itu, dan merasa lega saat tahu bahwa Yoga ternyata masih single.

Mobil Yoga berbelok ke sebuah hotel berbintang tempat acara pertunangan dilangsungkan. 

Saat hendak masuk, Alena dengan santainya menggandeng lengan Yoga. Membuat laki-laki itu terkejut dan ingin berguling di lantai atau jungkir balik karena begitu senang.  

"Kenapa?" tanya Yoga saat tiba-tiba saja Alena berhenti melangkah. Tadinya wanita itu terlihat begitu percaya diri, kenapa sekarang malah ragu-ragu. 

Alena tertegun sesaat, teringat kalau mantan mertuanya ada di sini dan mereka pasti akan bertemu.

"Mbak Alen malu ya jalan sama saya?

" tanya Yoga. 

"Gak. Bukan gitu. Anu ...."

"Ayo masuk." Yoga merangkulkan lengan di pinggang wanita itu. 

Mereka menyerahkan undangan dan duduk di tempat yang sudah ditentukan. Alrna menyapa beberapa karyawan yang dikenalnya. Menit demi menit berlalu, para undangan semakin ramai hingga hampir seluruh kursi terisi penuh. 

Tak lama, acara dimulai dipandu oleh seorang MC. Adam masuk dari sebuah ruangan, disusul dengan Cintia yang masuk dari ruangan lain dan digandeng oleh kedua kakaknya.  

Cintia tampak cantik dengan gamis payet berwarna biru navy. Begitu pula Adam yang memakai batik dengan warna senada. Saat dipertemukan, dia menatap wajah sang calon istri dengan senyum. 

Acara lamaran dimulai. Di depan semua orang, Adam meminta kepada Cintia apakah bersedia menjadi pendamping hidupnya. Tepuk tangan dan suara riuh terdengar saat wanita itu mengatakan bersedia. 

Alena meneteskan air mata saat ibu Adam memakaikan cincin ke jari manis Cintia, teringat akan momen saat pernikahan mereka dulu. Kedua orang itu saling berpekukan dengan genggaman jemari yang begitu erat. 

Alena menunduk, melirik ke arah jari dimana dulu ada sebuah cincin yang Adam sematkan setelah akad nikah. Kini benda itu sudah tidak ada. 

"Ini cincin kamu. Aku udah gak butuh!" 

Alena tersentak saat Yoga memanggil namanya. Bayangan akan hari itu, saat dia melempar cincin pernikahan kepada Adam setelah putusan perceraian, tiba-tiba menghilang. 

"Kamu kenapa, Mbak? Mau juga?" tanya laki-laki itu.

"Eh, enggak." Alena mengusap air mata. 

"Romantis banget ya, Mbak. Aku juga jadi mau kayak gitu," kata Yoga kembali menatap pasangan yang ada di depan.

"Iya. Bikin baper," kata Alena.

"Sampai Mbak nangis gitu."

Alena tersenyum malu. Suara MC terdengar kembali. Seserahan yang dibawa oleh keluarga Adam diberikan kepada keluarga Cintia. 

Setelah semuanya selesai, para undangan dipersilakan mencicipi hidangan yang sudah tersaji. Adam dan Cintia mulai menyapa satu persatu tamu yang datang. 

"Yoga ...." Dua laki-laki itu berpelukan. 

"Selamat ya, Dam. Akhirnya melepas masa kejomloan."

Mereka tergelak. Cintia hanya tersenyum melihat tingkah tunangannya.

"Kapan kamu nyusul?" tanya Adam.

"Doakan. Lagi pendekatan," jawab Yoga sembringah.

"Sama siapa? Kenalin." 

"Tuh di sana. Lagi ambil makanan."

Adam menatap wanita yang ditunjuk Yoga. Rasanya dia kenal, tapi tak terlalu jelas karena hanya terlihat dari belakang. 

Matanya terbelalak saat wanita itu berbalik dan membalas lambaian tangan Yoga. 

"Hai," sapa Alena ketika menghampiri mereka.

"Kamu kan yang waktu itu, ya?" tanya Cintia. Dia masih ingat saat masuk ke ruangan Adam dan mendapati ada orang lain. 

"Iya. Saya Alena, karyawannya Pak Adam."

Cintia menerima uluran tangan Alena. Mereka berdua lalu berbincang. Adam yang tadinya santai kini menjadi kaku kepada Yoga.

"Itu calon kamu?" tanya Adam sambil berbisik. Dia bahkan tak berani menyapa Alena di depan tunangannya. 

"Doakan. Gampang-gampang susah dapatnya," jawan Yoga. 

"Hati-hati sama wanita kayak gitu."

"Loh, bukannya karyawan kamu?" 

"Iya. Makanya aku bilang hati-hati."

"Aku udah kenal Alena setahun ini. Kami tinggal bersebelahan. Dia baik cuma sibuk. Jadi kesannya cuek," jelas Yoga.

"Ya. Pokoknya aku cuma mau bilang gitu," lanjut Adam sambil menarik Yoga agak menjauh dari dua wanita itu. 

Sementara itu, Cintia dan Alena asyik bersenda gurau.

"Kok, kayaknya wajah kamu familiar," kata Cintia. Rasanya dia teringat akan sesuatu momen tapi entah kapan. 

"Apa kita pernah ketemu selain di ruangan Adam?" tanya Alena. 

"Seingatku belum. Tapi rasanya aku pernah lihat kamu," jawab Cintia.

"Mungkin mirip."

"Bener juga."

Mereka melanjutkan perbincangan saat tiba-tiba saja seseorang menghampiri. 

"Nak. Ayo ke depan. Kita mau foto keluarga."

Alena menoleh dan mendapati ibu mertuanya menyapa Cintia.

"Eh iya. Ayo, Ma. Aku permisi dulu ya, Alen," pamit Cintia.

"Alen? Kok kamu ada di sini. Siapa yang ngundang?" Wanita paruh baya itu menoleh dan terkejut melihat siapa orang yang dimaksud Cintia tadi. 

"Ma-ma," sapa Alena gugup.

"Maaf tapi saya bukan mama kamu lagi. Ayo, Cin kita ke depan sekarang." Wanita paruh baya itu menarik lengan calon menantunya. 

Cintia terlihat kebingungan dengan situasi seperti ini. 

"Tunggu dulu, Ma. Memangnya Alena ini siapa? Kok panggil mama?" Dia bertanya karena penasaran.

"Bukan siapa-siapa, Nak. Ayo kita ke depan. Sudah ditunggu."

Alena terdiam dan hendak melangkah mendatangi Yoga saat Cintia berbalik dan berkata. 

"Aku ingat. Kamu mantan istrinya Mas Adam, ya? Aku pernah lihat foto pernikahan kalian. Kok kamu bisa kerja di kantor Adam?"

Wajah Alena memucat. Apalagi ibu mertua menatapnya dengan tajam. Dia harus jawab apa?


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status